Mohon tunggu...
Yety Ursel
Yety Ursel Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu merasa kurang banyak tau

Menulis untuk menyalurkan energi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Takdir untuk Sumi #17

15 Maret 2015   17:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:37 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambaronline.com

sebelumnya

Pukul 12 .30 Suasana Bandara Soekarno Hatta, seperti biasanya ramai. Serombongan penumpang pesawat baru saja melintasi pintu keluar. Doni ada di antara mereka.Dia berjalan cepat. Tak tergambar rasa lelah pada dirinya walau dia baru saja menempuh perjalanan kurang lebih lima jam dari Bandara Sentani menuju Jakarta. Laki-laki empat puluh tahunan itu masih terlihat energic.

Dia langsung menaiki taksi pertama yang menghampirinya. Keinginan besarnya saat ini segera tiba di rumah Dion. Dia ingin menjawab semua pertanyaan yang berputar-putar di kepalanya. Pertanyaan-pertanyaan yang membuat kepalanya sakit.

Taksi bergerak lambat. Mereka terjebak kemacetan Jakarta yang semakin hari semakin parah. Doni berusaha menghilangkan rasa bosannya dengan membaca koran yang dibelinya dari pedagang asongan yang menawarkan dagangannya di tengah kemacetan.

Hanya sebentar saja dia bertahan dengan koran itu, mulutnya mulai menguap. Rasa kantuk kini menyerangnya. Dipejamkannya matanya. Sejenak kemudian dia telah lelap dengan koran yang masih membentang di tangannya.

Doni kembali tersadar saat supir taksi membangunkannya.

“Pak, Pak, kita sudah di Jalan Prapanca. Kita akan ke arah mana?”

“Oh, di mana kita?” Doni memandang sekelilingnya, sejenak terpaku kemudian setelah seluruh kesadarannya kembali dengan utuh,  dia  meraih telepon genggamnya.  Doni mengetikkan alamat rumah yang akan dituju pada aplikasi GPS di telepon genggamnya “Terus saja! Di perempatan itu belok kanan, rumah nomor 5” lanjutnya.

Di depan rumah berlantai dua yang dindingnya berwarna putih, taksi berhenti.

“Ini rumah no 5. Yang ini, Pak?”  Doni mengamati rumah nomor lima yang ditunjukkan supir taksi.

“Sebentar…” Doni menekan beberapa tombol pada telepon genggamnya kemudian berbicara dengan seseorang.

“Ya, ini rumahnya.” Doni melihat angka pada argometer kemudian mengeluarkan dua lembar uang seratus ribuan dan menyerahkannya kepada supir taksi. “Ambil saja kembaliannya.”

Doni melangkah memasuki gerbang rumah nomor lima sementara taksi melaju meninggalkannya. Wajah Aliya berkelebat-kelebat di kepalanya bergantian dengan wajah Sumi yang tak pernah hilang dari pikirannya. Jantung Doni berdetak semakin cepat.

Doni bermaksud mengetuk pintu rumah, saat tiba-tiba pintu itu terbuka. Seorang perempuan muda cantik telah berada di depan matanya. Doni terpaku. Semua kosa kata yang dipunyainya menghilang. Perempuan muda itu sangat mirip dengan Sumi yang selama ini dicarinya. Jantungnya seolah berhenti bekerja.

@@@

Hari ketiga kunjungan Doni di rumah Dion. Belum seucap pun dia berbicara mengenai niatnya datang ke Jakarta. Ada banyak hal yang mencegahnya melakukan itu. Terutama ketakutannya akan reaksi Dion maupun Aliya, setelah mereka tahu apa yang terjadi di masa lalunya.

“Dion, kamu bisa temani Om ke Bandung?”

“Boleh, kebetulan aku juga sudah lama tidak menjenguk makam Mama, kamu mau ikut juga, Ay?” Dion memalingkan wajahnya ke arah Aliya.

“Sebaiknya kalian berdua saja. Aku juga sudah kangen nginep di rumah Tante Hani.”

“Oh, kalau begitu kita bisa berangkat sama-sama. Aku antar kamu dulu ke rumah Tante Hani, baru kemudian ke Bandung. Tidak apa-apa kan, Om?” Dion beralih ke Doni.

“Terserah kalian saja, Om manut.” Ada kelegaan dalam suara Doni. Ada kesempatan baginya untuk berbicara berdua saja dengan Dion.

***

Honda Citty berwarna hitam melaju tenang di jalan tol Cipularang. Baru saja Dion menurunkan Aliya di rumah Tante Hani. Kini hanya dia dan Doni dalam kendaraan itu.

“Tadi itu rumah siapa? Bukan ibunya, kan? Soalnya yang Om dengar, istrimu menyebutnya dengan Tante. Tante Hani.”

“Iya, Tante Hani,” jawab Dion singkat. Ada yang ingin dia sembunyikan dari Doni. Dia masih teringat pesan Doni dalam salah satu email yang diterimanya: Jangan menikah dengan perempuan yang tidak jelas asal usulnya.

“Lalu, di mana ibunya?” Dion tersentak, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang Sesungguhnya pertanyaan Doni ini sangat tidak diingininya.

“Terlalu banyak kendaraan, di Indonesia ini, ya Om? Macet di mana-mana. Jalan tol saja macetnya seperti ini”  Dia mencoba mengalihkan topik.

“Ibunya?” Doni mengulangi pertanyaannya.

“Oh, ibunya? Ada…” Jawaban Dion mengambang.

“Maksud Om. Ibunya siapa? Dan di mana?” Doni masih memburunya.

Dion tidak segera  menemukan kata-kata yang tepat sebagai jawaban atas pertanyaan Doni.

Tiba-tiba saja mereka berdua bungkam. Untuk beberapa saat suasana dalam kendaraan itu menjadi kaku. Mereka berdua seperti dua orang asing yang tidak saling mengenal

“Apa yang kamu sembunyikan, Dion? Om sangat mengenal kamu. Kamu tidak perlu menutupi semuanya dengan kebohongan.” Doni berinisiatif memecah kebisuan.

“Maaf, Om. Aku hanya kurang enak karena tidak terlalu mengindahkan pesan Om. Sampai saat ini…” Dion ragu untuk meneruskan kata-katanya, “Sejak kecil Aliya tinggal di rumah keluarga Tante Hani,” lanjutnya.

“Maksudmu?”

“Ibunya menitipkannya pada Bunda Hesti, Kakak Tante Hani.”

“Lalu, Ibunya kemana?”

“Itu yang menjadi masalah kami selama ini, Aliya masih diliputi kemarahan yang datang karena rasa kecewanya. Dia belum bisa menerima kenyataan bahwa ibunya telah meninggalkannya dan menitipkannya ke orang lain.”

“Apa yang terjadi dengan ibunya?”

“Entahlah, tapi, saat pernikahan kami dia muncul.”

“Maksudmu, Ibunya datang menemuinya. Bagaimana reaksi istrimu?”

“Saat itu kami tidak tahu bahwa dia adalah ibu kandung Aliya. Dia tidak mengatakannya. Kami baru tahu setelah lewat beberapa hari.”

“Kamu tahu siapa nama ibu istrimu itu?”

“Sumi…, ya, namanya Sumi. Itu yang dikatakan Tante Hani.”

Telinga Doni seperti mendengar seribu dentuman meriam. Bagaimana dia harus menjelaskan semua ini kepada Dion, kepada Aliya bahwa sesungguhnya dialah laki-laki yang menjadi sumber dari semua bencana ini. Doni terdiam, degup jantungnya terlalu keras sehingga membuat dadanya tiba-tiba sesak. Dion yang berkonsentrasi menatap jalanan  yang ada di hadapannya tidak memperhatikan hal itu

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun