gambar minjem dari radenbeletz.blogdetik.com
Aku harus hentikan air mata ini, tak pantas aku menumpahkan semuanya hanya untuk sepotong hati yang tak dapat aku genggam secara utuh. Apa yang diucapkan mas Hans benar-benar melemahkan keyakinanku akan cinta yang ada di hatinya, terlebih bagi sejuta harap yang ada di hatiku selama ini, semuanya telah kerontang dan tumbang.
Bahkan kata-kata mengambang yang diucapkannya menjelang kepergianya ke luar kota, ternyata seharusnya membuat aku sadar bahwa kalimat itu mengandung unsure ketidak pastian.
Bagaimana mungkin selama ini aku menjadi buta, begitu percaya akan semua kata-kata indah yang selalu terangkai bersama harap yang dijanjikannya, padahal hatinya tetap terpaut pada cinta lamanya, Natasya.
Alangkah bodohnya aku yang selama initelah menyediakan tahta terindah dalam hatiku, padahal hanya untuk istirahat singkat yang bahkan tak perlu menyisakan kesan.
Kalaupun malam ini masih ada air mata yang tersisa di kelopak mataku, itu tidak boleh lagi untuk harapan yang harus aku akhiri.
Bagaimana mungkin aku harus lanjutkan cinta, bila ternyata dia tak punya nyali untuk mempertahankan cinta ini. Baginya aku bukan siapa-siapa, bukan cinta yag harusdiperjuangkan. Jika memang ada cinta tulus dihatinya, mengapa dia begitu mudahnya menyerah? Seakan tak ada jalan lain yang ada diantara dua jalan yang ditawarkan mama?. Semuanya sudah terlihat jelas di mataku.
“Ranti, sudah jam tiga nih, yuk bantu mama menyiapkan saur” Suara mama di depan pintu kamarku.
Kulirik jam kecil yang terletak di atas meja riasku, kutatap wajah kuyu yang ada di balik cermin, mataku masih merah sisa tangis semalaman, “Mama tidak boleh tahu, aku tak mau dia kembali merasa bersalah atas semua yang terjadi ini”. Kuambil bedak dari meja riasku, kutaburi wajahku dengan bedak untuk menutupi sembabnya mataku..
“Ranti, bangun nak…!” kembali suara mama
“Ya..ma, sebentar” Setelah yakin mama tidak akan menemukan sisa tangis di mataku, aku beranjak ke luar kamar. Saat berpapasan dengan mama di depan pintu kamarku, aku sembunyikan mataku dari tatapannya, aku langsung menuju ke dapur.
“Ranti…” Mama menyusulku ke dapur “Ranti, maafkan mama” reflek aku berpaling ke arahnya.
“Ada apa, ma?”`
“Jangan sembunyikan kesakitanmu dari mama, itu artinya kau mengabaikan keberadaan mama sebagai orang yang paling mencintaimu, curahkan seluruh rasa sakit yang kau rasakan kepada mama, karena hanya mamamulah tempat terbaik bagimu untuk berbagi”
“Ma, aku tidak apa-apa” Aku mencoba meyakinkan mama. Aku tak ingin mama terus menerus didera rasa bersalah.
“Ranti, seharusnya mama tidak usah memaksa Hans untuk menikahimu segera, karena hal itu justru membuatnya merasa tak punya pilihan, lalu menyerah”
“Ma, tidak ada yang salah dengan apa yang mama lakukan. Jika tidak kemarin, suatu ketikapun Mas Hans akan mengatakan hal yang sama kepadaku ma”
“Mengapa kau berpikir seperti itu, nak, bukankah itu menunjukkan kau masih menyimpan kemarahanmu?”
“Bukan, ma. Aku tidak marah kepada siapapu, aku hanya menyesali kebodohanku. Begitu lama waktu yang telah aku korbankan, untuk seorang laki-laki yang ternyata telah mengikat hidupnya dengan masa lalu”
“Mama belum mengerti yang kau maksudkan, nak”
“Ma, apa yang terjadi pada beberapa hari ini, membuat aku berpikir lagi tentang siapa laki-laki yang selama ini aku cintai, laki-laki itu ternyata tidak jujur dengan hatinya, ma. Jika dia sungguh-sungguh mencintaiku, maka dia akan sambut tantangan mama dengan sikap jantan. Dia akan membela aku, ma. Dia akan mempertahankan aku, tapi kenyataannya dia merelakan aku, ini sama dengan yang telah dilakukannya terhadap kekasih masa lalunya, apa artinya ini, ma?. Artinya Dia tidak ingin menyakiti hati kekasih lamanya, jika mengambil sikap yang berbeda” akhirnya tuntaslah semuanya aku ungkapkan kepada mama,dadaku yang sejak semalam terasa sesak tiba-tiba menjadilega. Mama hanya membisu, aku tidak mengerti apakah mama mengerti dengan semua yang aku sampaikan atau malah membuatnya bingung. Walau akhirnya kulihat dia menghela nafas dan berkata
“Alhamdulillah, jika memang demikian yang terjadi, mama bangga kepadamu,karena kau telah mampu menemukan hikmah atas apa yang terjadi”
Mama membelai rambutku dengan senyuman tulus yang menyejukkan yang selalu diberikannya kepada kami anak-anaknya.
“Aku kuat. Karena aku anak mama” bisikku kepadanya sambil kukecup kedua pipinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H