Victoria Park di pukul sepuluh pagi. Sudah mulai banyak orang yang berdatangan.Ada yang langsung menggelar tikar sambil membuka bekal. Ada yang duduk di bangku-bangku taman sambilbernyanyi diiringi gitar akustik.Ada pula yang tengah serius berdiskusi. Berbagai aktivitas terjadi di taman ini dan hampir semua pelakunya berjenis kelamin perempuan.
Victoria Park di hari Minggu memang dikuasai oleh para Buruh Migran asal Indonesia. Suasana di sana tidak ubahnya suasana di sebuah taman di Indonesia. Percakapan dengan Bahasa Indonesia dialek Jawa, dialek Sunda, maupun dialek-dialek khas daerah lain berseliweran begitu saja di telinga orang yang berada di situ.
Di salah satu suduttaman itu, seorang gadis muda duduk sendirian. Dia terus asyik menekan tombol-tombol telepon genggamnya. Sesekali terdengar dia menghela nafas dalam yang kemudian dia hembuskan dengan keras, terutama saat telepon genggamnya mengeluarkan suara yang menandakan dia kalah dalam sebuah permainan. Setelah memandang sekeliling, mencoba menemukan seseorang yang tengah ditunggunya. lalu kembali sibuk dengan permainan pada telepon genggamnya itu.
Gadis muda itu mengubah posisi duduknya. Jika tadi kakinya terjuntai ke bawah kini dia duduk mengangkat kedua kakinya ke atas bangku dan duduk dengan bersila.
“Kamu orang Indonesia?” Sebuah suara tepat disampingnya.
“Eh, iya…iya…Embak…Embak Indonesia juga?” Sumi yang awalnya sempat terkejut dengan pertanyaan tiba-tiba itu, segera bisa menguasai diri. Seseorang yang tadi menyapanya, tersenyum sekilas lalu dengan anggukan kecil meminta persetujuan Sumi untuk duduk di sampingnya. Sumi juga menjawab hanya dengan anggukan kecil sambil menggeser duduknya memberi ruang yang cukup bagi teman barunya itu.
“Kamu hanya sendirian? Oh, ya. Saya Anes. Saya berasal dari Bandung” Gadis itu memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Sumi segera menjabat tangan yang terulur itu sambil menyebutkan namanya.
Tidak perlu waktu terlalu lama bagi keduanya untuk saling membuang rasa canggung karena setelah sedikit berbasa-basimereka mulai berbincang dengan akrab.
“Kamu turis atau BMI?” Tanya Anes kemudian.
“Saya bekerja.”
“Di keluarga Hongkong?”
“Bukan, saya bekerja di keluarga Indonesia. masih saudara jauh.”
“Sebagai PRT?” tanya Anes lagi.
“Iya, seperti itulah. Tapi, tepatnya saya menjaga anak bayi mereka”
“Ngurus bayi? kamu bisa?” Anes memperhatikan Sumi dengan seksama. Sumi memang masih sangat muda. Usianya yang baru 18 tahun tentu kurang meyakinkan jika harus bekerja sebagai pengurus bayi. Sumi hanya tersenyum melihat gaya Anes yang bergaya tidak percaya itu. Tawa mereka berderai.
Sudah hampir setengah tahun Sumi berada di Hongkong. Dia tidak memiliki terlalu banyak teman. Selain Anes, teman yang dikenalnya hanya beberapa BMI lain yang sering dijumpainya di Victoria Park, itu pun tidak terlalu akrab.
Sumi memang berbeda dengan para pekerja lain. Umumnya para BMI itu terikat kontrak dengan majikannya. Mereka harus bekerja dari senin hingga sabtu sore. Di hari sabtu sore hingga Minggu sore, itu adalah hari libur. Hari yang menjadikan mereka manusia bebas.
Sumi datang ke Hongkong, tidak sebagai TKW. Dia diakui sebagai keluarga oleh yang membawanya dari Indonesia. Mereka yang mengurus passport dan segala persiapan keberangkatannya. Sebagai orang yang diakui sebagai keluarga, Sumi tidak bisa menuntut terlalu banyak. Tidak ada kontrak jam kerja. Tidak ada kontrak besaran gaji yang akan diterimanya setiap bulan.
Sumi memang tidak menuntut banyak. Dia sudah bersyukur karena bisa mengirimi Ibu dan adiknya biaya hidup plus tabungan untuk persiapan biaya kuliah adiknya. Sumi bahkan tidak meminta hari minggu sebagai hari liburnya.
“Sumi, kalau kamu kangen sama Indonesia, coba sekali-sekali kamu jalan-jalan ke Victoria Park” Suatu hari dia justru ditawari untuk berlibur. Mulanya Sumi enggan untuk pergi. Dia merasa lebih tenang berada di rumah. Bermain-main dengan bayi kecil yang diasuhnya. Bersama bayi itu dia mengobati rasa rindu kepada anaknya sendiri.
Kedatangan Sumi ke taman, saat dia akhirnya bertemu dengan Anes, setelah Ibu Widi mengajaknya jalan-jalan dan memintanya menunggu karena dia harus menemui seseorang di suatu tempat. Pada akhirnya Sumi tahu, itu hanya cara Ibu Widi memberinya kesempatan untuk bersosialisasi dengan orang lain. Hal inilah yang membuat Sumi tidak ingin menuntut lebih banyak lagi dari keluarga yang baik itu.
Sumi sangat jarang datang ke taman. Dia tidak kehilangan rasa Indonesianya di rumah Ibu Widi. Mereka sehari-hari berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia. Ibu Widi juga selalu masak masakan Indonesia. Bagi Sumi pergi ke taman hanya membuang-buang waktu saja. terlebih lagi setelah dia melihat pemandangan yang sangat tidak mengenakkan. Dua orang perempuan yang saling bercumbu. Mereka orang Indonesia. Sejak saat itu, bila ingin melepas lelah dan ngobrol dengan teman, Sumi dan Anes memilih bertemu di tempat lain.
bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H