Tentang Garam
Pada abad pertengahan, garam adalah komoditas penting. Di wilayah Mediterania dan Laut Merah hingga Mesopotamia, Afrika Utara, India dan China garam lebih mahal daripada emas. Harga yang mahal membuat garam dijuluki "emas putih".
Garam memang fenomenal, memasuki tahun 1800-an harga "emas putih" itu masih empat kali lebih mahal dari harga daging sapi. Bahkan menjelang abad ke-20, cetakan garam masih digunakan di Abyssinia (sekarang Etiopia) sebagai alat transaksi di pasar tradisional.
Garam memberikan banyak manfaat bagi manusia. Sewaktu berselancar di Google, saya menemukan beberapa tulisan tentang manfaat garam. Ada 14.000 lebih manfaat garam dalam kehidupan manusia. Selain melesatkan atau menyedapkan makanan, garam lazim digunakan untuk mengawetkan makanan, mencegah pembusukan. Garam juga dapat digunakan sebagai bahan alternatif yang lebih ramah lingkungan daripada bahan kimia sintetis, seperti untuk menghilangkan kuman dan bau tak sedap pada pipa saluran pembuangan, membersihkan noda teh atau kopi pada gelas, sampai untuk mencegah infeksi karena gigitan serangga.
Garam itu multiguna, bisa digunakan untuk memadamkan api, juga bisa untuk mencairkan timbunan salju pada musim dingin. Di Blora, garam digunakan oleh penggali sumur tradisional untuk menemukan sumber air. Segenggam garam diletakkan di beberapa area tanah lalu ditutup dengan tempurung kelapa. Setelah berselang satu hari satu malam, akan diketahui garam mana yang paling banyak mencair, di situlah sumber air terbaik yang ditemukan. Sederhana dan cerdas, sekaligus bukti bahwa garam juga bisa digunakan untuk menemukan sumber air yang tersembunyi.
Sebutir garam adalah pembawa rasa dalam kehidupan manusia, dan siapapun bisa menjadi "sebutir garam" yang penting dan berharga bagi orang lain.
Pemimpin yang Menjadi "Sebutir Garam"
Pemimpin yang menjadi "sebutir garam" akan menunaikan kehendak baik, bukan hanya bagi orang-orang yang berpihak kepadanya, melainkan juga kepada setiap orang yang berada di bawah kepemimpinannya. Ia memimpin dan melayani konstituen tanpa diskriminasi.
Pemimpin yang menjadi "sebutir garam" adalah pemimpin yang cinta damai, tidak menebarkan hasrat jahat ataupun menghalalkan jurus-jurus fasik demi membidik kekuasaan semata. Pemimpin yang menjadi "sebutir garam" bukan berarti berkuasa dengan melaknatkan harga diri atau memberangus hak hidup para kawula alit, wong cilik, rakyat biasa yang lemah.
Pemimpin yang menjadi "sebutir garam" yang cinta damai, dan tentu tidak mudah menjadi pemimpim yang cinta damai. Ada harga yang harus dibayar di muka, dan yang termahal adalah kesediaan berdamai dengan diri sendiri untuk senantiasa hidup damai dengan orang lain. Dan untuk menjadi "sebutir garam" Anda harus memiliki karakter sebagai garam yang asin, artinya terlebih dahulu menggarami diri sendiri - tidak tawar tanpa rasa. http://www.budayapemimpin.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H