Bogor, sekitar tahun 1997 atau 1998...
Panasnya matahari yang terik kala itu, tidak menyurutkan tawaku bersama Nia dan Dek Nana, teman berjalanku saat pulang sekolah.
Kebetulan, sekolahku dan tempat tinggalku saat itu berada dalam satu komplek, sehingga tidak perlu repot harus menggunakan kendaraan untuk pulang pergi ke sekolah.
Siang itu, nampak seperti siang-siang biasanya. Terik.
Kami mengobrol ngalor-ngidul, menceritakan keseruan ataupun peristiwa menyebalkan yang kami lalui sepanjanh hari tadi di sekolah. Aku suka sekali pergi ke sekolah, walau aku termasuk bukan siswi yang dibanggakan guru dan dikultuskan oleh teman-temanku yang juga tinggal pada komplek tersebut.
"Eh, kok ada rame-rame ya disana?"
Dek Nana menunjuk sebuah kerumunan orang pada jalan buntu yang berada diperbatasan antara komplek dengan kampung sekitar.
"Ada apa ya? Kita lihat yuk!"Â
Nia mengajak kami berdua untuk menyeruak kedepan sendiri. Tentu saja mudah bagi kami menyelinap melewati 'barisan acak' orang-orang dewasa yang tengah mengerumun. Selayaknya anak SD kelas 2 dan 3 kala itu, badan kami yang mungil bisa mencari celah-celah antara untuk laju kedepan.
"E-a...."Â
Tenggorokanku tercekat melihat apa yang ada dihadapanku. Seorang laki-lakiyang nyaris botak, hanya memakai celana dalam merah, sudah babak belur sajah dan badannya. Darah yang menggumpal sekitar mulut dan hidungnya, juga mata yang sudah bengkak entah dihajar berapa kali dan memar berwarna biru keunguan menghiasi sekujur tubuhnya yang juga dihiasi banyak darah. Aku lihat juga beberapa pria dewasa berada disekitar orang tersebut, masih sesekali menendang, menginjak dan bahka  menghajar orang tersebut.
"...amp-.. ampu..n" dengan terbata, orang tersebut memohon kepada para pria dewasa tersebut.
Aku tidak bergeming.
Aku bingung.
Aku takut.
Aku sangat ketakutan.
Mengapa semua orang dewasa disini diam saja dan menonton?
Orang ini siapa? Orang ini kenapa diperlakukan seperti itu?
Siapapun, tolong orang itu!
Bapak, Bapak lari saja Pak!!! LARI!!!!
Banyak sekali pertanyaan, seruan dan perkataan yang muncul dalam otakku.
Aku takut sekali dengan orang disekitarku.
"BAKAR AJA! BAKAAAAARRR!!!"
Aku terhenyak.
Aku mengenal pria dewasa yang berteriak memprovokasi untuk membakar orang yang sudah tidak berdaya tersebut.
Dia suami dari guru TK ku, guru yang amat aku idolakan dan sangat baik padaku. Suami yang selalu mengantar dan menjemput guruku tersebut, yang membuat aku juga mengidolakan beliau setelah Bapakku yang keren.
Pria itu, suami guru TK ku...
Sesak sekali dadaku. Rasanya susah bernafas dan tenggorokanku sakit sekali.
Kepalaku panas sekali, mataku juga.
Badanku bergetar hebat. Seiring sorak sorai yang ada disekitarku dari banyak pria-pria dewasa dan juga beberapa anak muda yang seperti menyetujui ucapan suami guru TK ku tersebut.
Tiba-tiba, ada cairan yang dilemparkan pada orang malang tersebut.
Tiba-tiba, dengan korek kayu apii dinyalakan dan langsung membesar.
Tiba-tiba orang yang malang tersebut mengerang kepanasan sambil meminta tolong; mungkin panasnya begitu hebat dan menyakitkan.
Aku menyaksikan semua hal tersebut dengan mata terbuka lebar, gemuruh dalam dadaku terasa ikut panas terbakar.
Aku takut.
Aku sedih.
Aku sakit hati.
Aku marah.
Tapi aku, seorang anak kecil.
Bisa apa aku?
Bahkan ketika orang yang malang tersebut mengulurkan tangan tepat dihadapanku yang hanya berjarak 1-2 meter saja, sambil menggeliat dengan kobaran api yang semakin besar. Aku hanya bisa diam dan gemetar hebat.
Aku tidak bisa menangis.
Aku tidak bisa apapun.
Yang bisa aku lakukan, hanya melihat hingga adegan itu selesai.
Selesai dengan orang yang malang itu tercipta menjadi arang...
Menjadi arang dengan posisi tubuh meringkuk dan satu tangan menjulur kedepan seolah meminta kepadaku yang tepat lurus dihadapannya,
"Nak, tolong saya, nak..."
***
Jaman itu, polisi seperti kalah kekuatan daripada warga-warga yang nekat main hakim sendiri. Banyak kasus warga lebih suka menghajar dan menghakimu sendiri para pelaku kriminalitas, daripada menyerahkannya pada aparat, khususnya kepolisian untuk menindak dengan hukum. Seluruh masyarakat sedang tidak terlalu percaya pada hukum yang  erlaku dan pemerintah, dampak dari krisis moneter yang berlangsung dan kekerasan dimana-mana saat itu. Bahkan, ada kasus polisi jadi korban dibakar hidup-hidup oleh warga yang gelap mata mau dibasut oleh salah satu target operasi judi. Orang tersebut berteriak sambil lari dari kejadan polisi yang menyamar tersebut, bahwa polisi tersebut adalah perampok. Sontak saja, warga yang sedang panas masalah perekonomian tersulut dan memburu polisi-polisi tersebut.
Sebenarnya, salah polisi tersebut sempat berlindung dirumah Pak RT sekitsr yang ternyata mengenal polisi tersebut. Tentu saja, karena Pak RT tersebut adalah salah satu informan polisi tersebut terkait kasus perjudian yang ada diwilayah tersebut. Namun, warga sudah gelap mata dan emosi, hingga mengancam untuk membakar rumah Pak RT jika tak menyerahkan polisi tersebut.
Baik Pak RT dan polisi tersebut pasrah. Akhirnya sudah bisa ditebak seperti apa. Sama seperti orang yang malang tersebut, walau polisi itu tidak berbuat kesalahan yang merugikan siapapun. Polisi tersebut menjadi korban untuk menegakkan keadilan.Â
Mungkin juga, orang yang malang tersebut bertindak atas nama keadilan.
Keadilan untuk mengepulkan dapur dan bertahan hidup setiap harinya pada masa yang sulit itu. Namun gagal dan malah meregang nyawa ditengah gelapnya banyak mata yang merah dan marah...
***
Semenjak kejadian itu, aku terus dikunjungi oleh orang yang malang itu setiap kali hendak tidur; entah tidur siang maupun tidur malam. Aku pun tahu bahwa orang yang malang itu merupakan salah satu komplotan perampok yang pada hari itu tertangkap warga dan gagal diamankan polisi terlebih dahulu. Semula aku tahu hanya dari kabar burung yang beredar dari segala penjuru komplek dan sampai ditelinga kami anak-anak SD di komplek yang sama, namun lebih lengkap lagi karena beritanya sampai masuk ke acara televisi dengan tajuk "PATROLI".
Orang yang malang itu selalu datang.
Tiap aku membaringkan diri diatas kasur spring bed, ada yang merangkak dari bawah tempat tidur dan naik kasur disekitar kakiku. Terasa sekali ada yang menjejak kasurku, dan tiap melihat kearah kakiku pasti ada orang yang malang itu dengan penampakan wujud terakhir hidupnya. Hitam gosong dan berbau hangus.
Awalnya aku selalu menangis melihatnya, tapi aku sembunyikan dari siapapun termasuk Bapak dan Ibuku.
Ibuku sedang sakit dan Bapakku sibuk mengurus Ibu, aku harus menjaga diri sendiri dan tidak boleh membuat beliau berdua khawatir akan semua ketakutanku.
"Pak, maafin aku ya enggak bisa nolongin Bapak..."
Tiap kali orang yang malang itu muncul, aku selalu meminta maaf. Tapi selalu saja, dia datang lagi dan lagi. Setiap hari dan setiap waktu aku mau tidur.
Aku yang semula bukan penakut, menjadi paranoid dan terganggu. Aku jadi kurang fokus karena kurang istirahat dan khawatir tiap merasa ngantuk.
Bau dan wujudnya, selalu membuatku merasa bersalah dan takut pada orang-orang dewasa.
"Orang dewasa itu menakutkan, orang dewasa bisa saling menyakiti dan menghakimi dengan kejam tanpa merasa kasihan."Â
Begitu pikirku. Aku takut menjadi dewasa, aku takut menjadi orang kejam dan tidak memiliki rasa peri kemanusiaan.
Tahun demi tahun aku lalui dengan 'kehadiran' orang yang malang itu.
Hingga aku sendiri lupa, kapan tepatnya aku tidak pernah terganggu kehadirannya lagi.
Mungkin akhirnya dia tenang.
Mungkin akhirnya dia bisa berpulang dengan tenang.
Sudah menerima kepergiannya yanv tidak adil, karena menyadari bahwa semua terjadi karena pilihannya yang kurang tepat untuk menjadi salah satu perampok pada hari itu.
Atau, sebenarnya dia masih ada disekitarku namun aku yang sudah 'mampet' kepekaannya?
Entahlah, yang jelas aku berusaha tiap mengingatnya dan momen menyedihkan itu, aku berdoa untuk ketenangannya dan juga keluarganya.
Bahkan untuk tiap luka orang-orang yang juga terkejut karena terpaksa menjadi saksi mata kematiannya yang tragis.
Untuk suami guru TK ku, para pria dewasa yang menyetujui eksekusi orang yang malang itu, agar disadarkan perbuatan dan perkataannya yang mematikan.
Juga untuk temanku, Nia dan Dek Nana yang menyaksikan kekejaman orang dewasa itu bersamaku, yang semoat membuat kami enggan melewati jalan itu untuk beberapa waktu karena trauma.
Hanya berharap, semua orang yang berada ditempat kejadian perkara saat itu, baik yang masih hidup maupun yang sudah tidak, diberikan ketenangan menjalani perjalanannya.
Hari ini, aku sudah tidak takut menjadi dewasa dan aku tahu, aku tidak akan menjadi orang dewasa yang menakutkan atau kejam kepada sesamaku.
Semua hidup berharga, semua orang berusaha.
Mari hidup menjadi versi terbaik kita masing-masing, dan saling memberi makna dengan baik.
Terima kasih sudah hidup dan berjuang, semoga kita semua selalu dilimpahi berkah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H