Tentu saja, penanganan korban oplosan tak cukup dengan rehabilitasi saja. Tanpa adanya edukasi yang memadai, maka korban akan terus berjatuhan dan tempat rehabilitasi akan dipenuhi oleh korban oplosan.Â
Sejak tahun 2014, Rudhy bersama rekan-rekannya pun membuat edukasi mengenai alkohol melalui sebuah blog. Rudhy mengatakan ia memilih blog dibandingkan website karena keterbatasan dana. Blog yang ia kelola murni dari swadaya rekan-rekannya. Mereka yang bergabung dalam pendidikan itu justru bukan mereka yang mengkonsumsi minuman beralkohol.Â
“Semangat saya ialah pendidikan yang berkarakter dan dibutuhkan oleh masyarakat, bukan atas tekanan politik maupun kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Tetapi bersumber pada suara publik yang selama ini tidak pernah di dengar oleh pemerintah dan DPR, “ kata Rudhy.
Saat ini, DPR sedang menggodog Rancangan Undang-Undang Minuman Beralkohol. Orang yang menjual dan mengkonsumsi minuman beralkohol bakal di kriminalkan. Sementara, pemerintah daerah membuat regulasi yang melarang dan membatasi penjualan minuman beralkohol dengan dalih mendidik moral bangsa. Ada juga yang memperbolehkan penjualan minuman beralkohol di tempat khusus dengan segala aturan, seperti membayarkan retribusi dalam jumlah tinggi.
Pertanyaannya; apakah regulasi pelarangan dan pembatasan minuman beralkohol mampu menurunkan korban meninggal akibat oplosan dan perilaku anak muda untuk berkreasi mengoplos bahan berbahaya untuk mendapatkan efek mabuk ?
Kemudian apakah penarikan retribusi tinggi pada minuman beralkohol mampu menekan peredaran minuman beralkohol illegal termasuk oplosan ?
Barusan saja, anak saya, yang duduk di Taman kanak-kanak curhat sebelum pergi sekolah.  “Sekolah itu lebih suka menghukum. Tidak boleh terlambat sekolah, harus mengerjakan pekerjaan rumah dan tidak boleh nakal,“
Di hari yang sama juga,anak saya yang duduk di sekolah dasar bercerita “Temen saya tidak boleh ikut ujian karena belum membayar uang sekolah, “ Â
Saya berkeyakinan, pendidikan alkohol yang dijalankan Rudhy bersama rekan-rekannya tidak mungkin diajarkan dalam pendidikan formal. Setidaknya apa yang dilakukan Rudhy dan kawan-kawan menunjukkan bahwa semangat sinoman di Surabaya masih ada ; jujur untuk mengatakan sesuatu tanpa kepentingan dan berbuat untuk cinta akan lingkungannya. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H