Di Indonesia tidak semua orang bisa merasakan pendidikan, bahkan membaca dan menulis pun masih banyak orang yang belum bisa. "Orang yang tidak bisa baca tulis, mereka itu tidak kenal pendidikan". Tentu tidak masalah jika ada yang beranggapan seperti itu, karena setiap orang punya kepala dan setiap kepala punya otak yang tentu berbeda pemikirannya. Seseorang yang bisa mengenali diri sendiri, mencintai diri sendiri, juga menghargai orang lain, bukankah mereka juga sudah berpendidikan?Â
Pendidikan pada dasarnya merawat, menjaga, melindungi, serta berkasih sayang, hingga melahirkan aksi nyata dari sebuah perilaku. Perilaku dari karakter masing-masing dengan berlandaskan nilai-nilai dan norma. Pendidikan terjadi tidak hanya di lingkungan sekolah, melainkan pendidikan di keluarga sebenarnya menjadi pondasi yang penting. Pendidikan yang terjadi antara hubungan suami dan istri, dan hubungan orang tua dan anak, serta antar  kerabat.Â
Kenyataannya tidak semua mempunyai keluarga yang sehat, ada saja masalahnya di keluarga itu, misalnya KDRT, hutang yang tidak bisa dilunasi, judi online, penipuan, dan lainnya. "Apakah pendidikan punya pengaruh kuat dengan masalah yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari?". Pikiran tersebut masuk akal saja, dan pasti berkaitan, jika seseorang tak kenal pendidikan dari orang tua, misal ajaran untuk rajin dengan pekerjaan rumah, bagaimana nanti-nantinya seorang anak itu bisa memasak, menyapu, dan mencuci pakaian. Â
"Orang berlomba-lomba untuk menempuh pendidikan sebenarnya untuk apa? jika akhirnya menghabiskan biaya, sedangkan belum tentu akan menjadi orang yang sukses". Orang tua yang mempunyai mimpi tersebut, mengharapkan anaknya lebih dari kisah hidup orang tua, misal orang tuanya tidak tamat SR (Sekolah Rakyat). Tujuan orang tua tersebut tidak lain supaya suatu saat anaknya bisa sukses.Â
Sukses dalam hal ini, misalnya anaknya bisa bekerja dengan layak, seperti seorang guru bahkan kalau bisa juga jadi PNS atau ASN. Herannya berbeda ketika para mahasiswa ditanya oleh dosennya, tujuan kalian di sini untuk apa, mereka akan menjawab menuntut ilmu. Pendidikan memang sudah terbukti, kebanyakan sudah menjadi wong, penulis juga kurang paham, dengan wong disini. Jadi wong (Indonesia: orang) kalau bisa bekerja dengan pakaian seragam, dan jelas menampilkan jenis pekerjaannya, sehingga yang apabila seseorang itu bekerja tidak menggunakan seragam, walaupun sebenarnya dia bekerja, maka tidak dianggap wong, menurut masyarakat seperti TNI & Polisi.
Pendidikan seharusnya menjadikan seseorang lebih memiliki sikap dan tata krama, yang mencerminkan nilai dan norma. Kenyataannya tidak demikian, urusan moral memang tidak mendasar dan tidak menjadi tugas utama seorang guru di sekolah, tetapi itu menjadi hal prioritas orang tua. Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, seolah pandangan ini, apabila orang tuanya bermasalah atau sikapnya buruk, maka anaknya pun demikian, padahal belum tentu, karena anak juga terbentuk dari pengaruh lingkungan. (Ista Maharsi, FPSB UII, 2019). Â
Pendidikan keluarga perlu menjadi mata pelajaran, begitupun dengan pendidikan di sekolah, dan pendidikan di masyarakat. Manfaatnya tentu sangat berpengaruh, misalnya jika mengenal pendidikan keluarga, maka tidak akan terjadi KDRT ataupun bunuh diri, paham hak dan kewajiban suami istri, paham peran perempuan dan laki-laki, sehingga tidak terjadi masalah kesetaraan gender.
Mata pelajaran pendidikan di sekolah mengajarkan seorang guru tidak pilih kasih kepada muridnya dan murid tidak membullying temannya, hingga dapat tutur kata yang sopan, dan lainnya. Pendidikan di masyarakat mengajarkan akan pentingnya anak suatu saat nanti untuk ikut bermanfaat bagi lingkungannya, selain itu mengerti akan musyawarah dan juga kehidupan bertetangga untuk saling berbagi dan menghargai. Konsep pendidikan yang membahas kehidupan sehari-hari sangatlah langka, padahal gunanya pendidikan harusnya dapat menjawab permasalah dalam hidup. Â Pendidikan padahal sangat erat kaitannya dengan segala bidang aspek kehidupan. Pendidikan seolah terlepas dari akar budaya dan nilai-nilai pancasila.
Penulis mengamati masalah pendidikan yang harus diselesaikan dari arah mana. Apakah kualitas guru yang kurang atau fasilitas dari sarana dan prasarana sekola, atau juga kurikulumnya. Masalah di keluarga diselesaikan di rumah, masalah sekolah diselesaikan melalui BK (Bimbingan Konseling) misalnya, dan masalah di masyarakat diselesaikan melalui pelaporan ke aparat desa. Bila akhirnya saling berkaitan, maka interaksi antara keluarga dan sekolah harus benar-benar terbuka. Sehingga dapat menjadi solusi masalah anak, atau guru harus tahu latar belakang anak ini, namun tidak memandang serta merta buruk, atau pilih kasih pada murid.
Masalah di masyarakat dapat dibuat wadah atau ruang, agar masyarakat dapat  berdiskusi bertukar pikiran untuk mencari pandangan orang lain dalam menyelesaikan masalahnya. Ada anak muda yang menggerakkan, misal karang taruna atau sebuah komunitas. Akan tetapi yang mendapatkan pendidikan juga belum tentu terhindar dari masalah yang riskan ini, seperti contoh penipuan. Ternyata penipuan terjadi karena faktor dari luar.Â