"Tak ada yang lebih tahu kita ketimbang plasenta. Tak ada rumah yang lebih aman dibanding rahim Ibu"
Dee menuliskan kalimat indah ini pada novelnya berjudul Supernova Episode: Partikel. Saking indahnya, saya mengamini tiap untaian kata yang tercipta. Sebelum terlahir ke dunia, kita hanya berkawan dengan plasenta dan rahim. Setelah terlahir, mereka berdua menjadi kawan lama dan karib yang sayangnya tidak akan pernah mampu kita temui lagi. Pun, ketika kita rindu.
28 Februari 2020, adalah turning point dalam hidup saya. Siapa yang akan menyangka di tanggal inilah saya ditakdirkan Tuhan untuk menyandang gelar sebagai seorang Ibu. Gelar ini sungguh menandingi kehormatan beragam gelar akademik yang saya peroleh susah payah selama ini. Gelar Ibu saya peroleh setelah 9 bulan mengandung dalam kepayahan yang dibarengi rasa antusias yang tinggi dan penuh cinta kasih. Saya benar-benar mencurahkan energi dan doa yang ekstra untuk janin yang bertumbuh dalam rahim.
Tentu ini yang Ibu saya alami dan lakukan ketika mengandung saya 31 tahun silam. Beliau mengandung dan melahirkan saya ke dunia. Menanggalkan semua ego dan kepentingan pribadi, kemudian berfokus pada kepentingan dan keberlangsungan hidup saya kedepan. Buktinya, dengan bermodalkan Ijazah tamatan SMA, beliau mewujudkan mimpi saya meraih jenjang pendidikan tertinggi yaitu S3 (Doktoral) pada usia 28 tahun. Alhamdulillah! Tiada mampu saya membayar semua yang telah beliau berikan, bahkan untuk setetes air susu.
Kerap kali Ibu bercerita mengulang kisah yang sama, seputar kenangan masa kecil. Memang ceritanya itu-itu saja tapi saya tak pernah jenuh. Ceritanya memang samar karena saya tak ingat betul kejadian masa lalu seperti apa. Tapi, bagi Ibu ingatan tentang masa kecil saya seolah baru kemarin terjadi, padahal sudah 3 dekade berlalu.
Diawali dengan cerita tentang bagaimana beliau mengajarkan saya berjalan. Ada satu alat yang beliau rakit sendiri Namanya "Letter A" karena alat tersebut berbahan kayu yang dirangkai menyerupai huruf A. Saban hari tiap pagi dan petang saya belajar berjalan menggunakan alat tersebut. Beliau dengan sabarnya memegang kayu tersebut dan menariknya perlahan sembari mengawasi saya yang berpegang erat pada kayu tersebut. Berkat Ibu saya bisa berjalan, meski tertatih tapi Ibu semangat melatih.
Selanjutnya, saya ingat bagaimana Ibu mengajarkan saya agar gemar menabung. Suatu waktu beliau pulang membawa sebuah buku tabungan dan buku tulis serta payung (saya masih ingat betul payungnya berwarna hijau). Kata beliau "Ibu sudah bukakan rekening tabungan untukmu, sisihkan uang jajan dan ditabung ya. Nanti kamu dapat hadiah buku tulis dan payung dari Bank".Â
Saat itu usia saya masih 8 tahun, anak kelas 2 SD mana yang tidak senang bila diberi hadiah? Semenjak itu saya rajin sekali menyisihkan uang jajan (bukan menyisakan, ya!) untuk ditabung, demi mendapatkan hadiah buku tulis dan payung. Saya rasa cara tersebut cukup efektif untuk menanamkan budaya menabung semenjak dini kepada anak-anak.
Cerita berikutnya adalah ketika Ibu mengajari saya membaca. Beliau sabar dan telaten sekali, dibacakannya buku tulis bergambar dengan ejaan huruf yang merangkai kata.Â
Saya yang terbiasa membaca gambar terkadang tidak sinkron dan konsisten dalam menyebutkan bacaan kata tersebut setelah dieja per huruf, alhasil beliau tertawa dan dengan sabarnya mengulang terus kata yang sama. Semisal, gambar naga dengan huruf dibawahnya bertuliskan n-a-g-a. Saya cukup piawai mengeja per huruf, tapi ketika merangkai dalam satu kata bukan kata naga yang terucap melainkan ular, karena berfokus pada gambar naga yang menurut saya lebih mirip ular.