Ketika mengunjungi Pulau Osi yang terletak di Provinsi Maluku pada September 2016 silam, saya mendapati panel surya di pulau terpencil ini. Bukan hal yang mengherankan karena wilayah timur Indonesia dianugerahi sumber daya alam maupun sinar matahari serta gelombang laut yang melimpah ruah. Hal ini lantas dapat menjadi peluang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang menjanjikan di masa depan.
Tapi, kira-kira sebenarnya sudah sejauh mana sih pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di Indonesia?
Pertama-tama penting untuk diketahui bahwa potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) berupa panas bumi Indonesia merupakan kedua yang tertinggi di dunia! Amerika Serikat masih menempati posisi pertama sebagai Negara dengan potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) geothermal terbesar di dunia.Â
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mencapai 23 persen pada tahun 2025 mendatang. Untuk pembangunan pembangkit tenaga surya sendiri sudah ada penambahan Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 9,45 MW menjadi 282,55 MW. Pembangunan tenaga surya ini ditargetkan tumbuh 10 MW setiap tahunnya. Setidaknya hal ini menjadi kabar bahagia tersendiri khususnya bagi teman-teman kita yang berada di wilayah Kepulauan.
Outlook Energi Indonesia tahun 2016 menyebutkan bahwa kebutuhan energi nasional pada tahun 2025 diprediksi akan mencapai sekitar 238,8 juta ton dimana Energi Baru Terbarukan (EBT) akan mencapai 48 juta TOE. Perhitungan kebutuhan energi tersebut menggunakan asumsi bahwa pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) moderat 5,6 persen sepanjang 2015-2050 dan pertumbuhan penduduk rata-rata sebesar 0,8 persen per tahun.
Di tengah segala keterbatasan dan daya upaya yang dilakukan oleh multi pihak, lantas bermunculan lah ide-ide segar terkait dengan Energi Baru Terbarukan (EBT). Tentu tidak ada salahnya kita meniru salah satu pemikiran sang Inventor, Saul Griffith yang telah memberikan pencerahan melalui ulasannya tentang Energi Baru Terbarukan (EBT) yang murah meriah (low-cost) dan memberikan hasil yang maksimal berupa energi angin dengan high-altitude yaitu melalui: Layang-layang!
Mungkin sebagian besar dari kita sebatas mengetahui bahwa layang-layang hanyalah sekedar mainan, tapi tidak untuk seorang Saul. Baginya, layang-layang dapat mengatasi krisis energi dan menghasilkan energi yang lebih besar. Saul telah berhasil menciptakan hydrofoil bertenaga layang-layang yang dapat mencapai kecepatan lebih dari 30 knots. Saul menempatkan peranan layang-layang sebagai sistem kendali. Saul seakan menciptakan era baru bagi sebuah layang-layang.