Sampeu atau singkong adalah sebutan dalam bahasa sunda untuk tanaman ubi yang kaya akan karbohidrat. Di Indonesia, ada beberapa daerah telah menjadikan singkong sebagai makanan pokok seperti Kasuami dan Kabuto dari Sulawesi Tenggara, Enbal dari Maluku, Jepa dari Sulawesi Barat,dan Kalimantan Selatan, serta Beras Aruk dari Bangka. Fakta ini mendukung bagaimana sebagian besar wilayah di Indonesia memiliki kondisi tanah yang subur dan cocok untuk pertumbuhan tanaman singkong. Keunggulan ini harus dimanfaatkan dengan baik yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia tahun 2030. Saat ini, Ketahanan pangan menjadi salah satu isu global yang tercantum dalam agenda Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yaitu untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan nutrisi yang lebih baik serta mendukung pertanian berkelanjutan. Hal ini juga masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi Indonesia. Kondisi ini dipengaruhi berbagai faktor salah  satunya tak lain faktor alam yaitu  perubahan iklim.Â
Untuk Membangun Ketahanan Pangan Indonesia 2030 | WRI Indonesia terdapat 4 pilar transformasi sistem pangan di Indonesia yaitu pola makan yang sehat, produksi pangan berkelanjutan, susut dan limbah pangan, dan kolaborasi multipihak. Pilar-pilar tersebut dapat dicapai dengan sebuah gerakan yang melibatkan kontribusi pemerintah dan masyarakat. Salah satu pilar yaitu produksi pangan yang berkelanjutan dapat kita upayakan dengan sebuah gerakan diversifikasi pangan.Â
Berdasarkan data dari narasumber Forum Bumi yang diselenggarakan Yayasan KEHATI dan National Geographic Indonesia, Puji Sumedi Hanggarawati menerangkan bahwa nilai komoditas singkong per kilogram seharga Rp.6000,00 yang setara dengan satu porsi nasi yaitu 100 gram. 1 potong singkong bisa mencapai sekitar 120 gram. Yang artinya, produksi tanaman singkong di Indonesia melimpah. Namun akibat ketergantungan terhadap beras dan gandum, konsumsi pangan lokal ini menjadi kurang terperhatikan. Padahal di pasar barat, singkong mulai menarik perhatian negara seperti di Eropa.Â
 Di era society 5.0, inovasi dan transformasi digital menawarkan banyak manfaat bagi masyarakat, khususnya untuk menciptakan ekonomi yang inovatif dan berkelanjutan dapat diatasi dengan teknologi. Tidak luput juga harus diimbangi dengan pengetahuan dan keterampilan sumber daya  manusia. Pengetahuan dan keterampilan ini, dasar dan potensinya bisa kita temukan di Gen Z yang lahir antara tahun 1996 - 2000. Generasi yang lahir dengan kecanggihan teknologi. Selain paham akan teknologi, Gen Z adalah kunci masa depan cerah Indonesia karena sebagian besar Gen Z melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu Perguruan Tinggi. Pastinya memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni karena sudah terdidik selama beberapa tahun yang ditujukan untuk mengimplementasikannya dan menciptakan solusi inovatif untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat. Kembali ke peran sentral dari segala  penggerak bidang yaitu pendidikan.Â
Selain teknologi, untuk bisa bersaing dalam pemasaran global membutuhkan keahlian riset pasar global yang baik. Dengan melihat dan memahami karakteristik, kebutuhan, perilaku, dan kepuasan pelanggan serta mengidentifikasi peluang, ancaman, kekuatan, dan kelemahan yang ada di pasar global. Misalnya sistem dan desain produk yang menarik, efisien, praktis, dan inovatif.Â
Dilansir dari BaliNesia.id, pada tahun 2023, produksi singkong di Indonesia mencapai 18,3 juta ton, menjadikan Indonesia salah satu negara penghasil singkong terbesar di dunia. Daerah produksi dengan lima provinsi penghasil singkong terbesar yaitu Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan DI Yogyakarta. Namun meskipun memiliki potensi besar di pasar global, persaingan masih ketat dari segi produksi jika dibandingkan dengan negara Nigeria. Pada tahun 2020, Nigeria mampu memproduksi sekitar 60 juta ton yang dinobatkan sebagai produsen singkong di dunia. Dalam hal ini bisa dilihat bagaimana keterlibatan yang intensif pemerintah dalam mendukung produksi yang baik.Â
Meskipun masih menjadi konsumsi pangan lokal, singkong dapat ditarik ke pasar global dengan berbagai produk olahan yang dapat dinikmati lintas kelas. Sama seperti jagung dan kentang, singkong juga dapat memiliki peluang besar menjadi komoditas global. Peluang ini ditinjau dari nilai gizi dan manfaat yang baik bagi kesehatan. Tanaman singkong mengandung serat yang menjadikan sebagai sumber energi yang rendah lemak dan bebas kolesterol, kaya akan vitamin K, vitamin B, kalori sebesar 160 kkal, magnesium, zat besi, dan tembaga yang bermanfaat pada kesehatan tulang, fungsi otak, dan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, singkong juga dapat meminimalisir risiko penyakit jantung dan mencegah kanker karena mengandung sejumlah senyawa antioksidan. Di pasar Eropa, minat terhadap singkong sangat tinggi akibat tren makanan sehat seperti bebas dari gluten. Misalnya, tepung singkong yang digunakan sebagai alternatif tepung terigu.
Menciptakan peluang yang signifikan baik bagi ketahanan pangan maupun perekonomian Indonesia. Singkong harus mendapatkan sorotan lebih, mengingat Indonesia telah dicap dan dikenal sebagai salah satu negara penghasil singkong, ini menjadi motivasi yang tinggi untuk siap bersaing di kancah internasional. Transformasi sistem pangan di Indonesia dapat diwujudkan dengan membentuk komunitas - komunitas lokal dengan sumber daya manusia yang produktif yaitu Gen Z yang mampu membangun menjadi komoditas global.Â
Strategi yang bisa dilakukan untuk membangun komoditas singkong secara global sebagai bentuk mendorong ketahanan pangan Indonesia 2030 adalah dengan diversifikasi pangan. Diversifikasi pangan adalah cara mengurangi ketergantungan pada beras dan gandum dengan mempromosikan konsumsi pangan lokal seperti singkong. Dengan tantangan seperti perubahan iklim, tanaman singkong bisa dijadikan alternatif untuk tetap stabil ketahanan pangan Indonesia. Bentuk promosi ini dapat dilakukan dengan membentuk komunitas - komunitas lokal dari desa ke desa. Mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kandungan pangan lokal yang sehat dan bergizi. Tentu saja strategi ini harus didukung dengan kontribusi intensif pemerintah seperti dalam menanggulangi alih fungsi lahan, seperti membuat kebijakan ketat agar pemanfaatan lahan secara optimal, meningkatkan infrastruktur distribusi pangan seperti membangun jaringan distribusi yang luas, intensifikasi pertanian seperti penggunaan teknologi, bibit yang unggul dan pupuk organik, lalu mengubah pola konsumsi pangan dan meningkatkan keterampilan petani, misal dengan memberikan pelatihan terkait teknik budidaya yang berkelanjutan. Strategi ini juga secara tidak langsung meningkatkan konsumsi pangan lokal yang berdampak baik pada penguatan ekonomi dan mengurangi ketergantungan impor.
Komunitas lokal tersebut dapat dibentuk secara bertahap dari desa ke desa. Komunitas yang dapat dibentuk misalnya komunitas bernama Sampeuzill, yang memadukan kata 'Sampeu' artinya singkong dalam bahasa sunda dan Zil, penggalan dari kata 'Zillennial' menunjukkan Gen Z. Komunitas ini merancang edukasi tentang diversifikasi pangan dan produksi singkong yang sehat dan menarik yang nantinya  dikelola atau dikoordinasikan oleh Gen Z. Pemasaran dengan melibatkan Gen Z dapat melebarkan sayap berbagai produk olahan singkong ke lintas negara melalui pengetahuan mereka akan teknologi. Membuktikan bagaimana kunonya di Indonesia yang mengidentikkan singkong sebagai makanan rakyat jelata, menjadikan sebutan pembeda strata sosial masyarakat. Dapat dibantah dengan menjadikan singkong sebagai makanan dan cemilan berkelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H