Berwisata ke luar negeri mungkin hal yang lumrah bagi banyak orang. Tapi bagi saya dan teman-teman saya yang jam kerjanya tinggi (alias sibuk terus – entah sibuk ngerjain apa), kesempatan itu ibarat berlian. Tidak mudah didapatkan bila tidak dirancang jauh-jauh hari. Bermodal semangat haus liburan dan harapan ditugaskan di luar negeri yang tidak kunjung datang dari kantor kepada kami, saya dan teman-teman pun akhirnya merencanakan liburan ke luar negeri tahun 2014 lalu. Destinasinya bisa dibilang standar “pelancong Indonesia yang baru pertama kali ke luar negeri”: Singapura. Tapi karena para pelancong ini mayoritas berambisi besar menodai passport yang sudah setahun lebih mereka buat tapi tak kunjung digunakan dengan sebanyak mungkin cap stempel, jadilah destinasi mereka bertambah: Singapura, Malaysia, dan Thailand. Jatah liburan mereka yang hanya 10 hari membuat kuantitas destinasi itu dikurangi. Hanya Singapura dan Malaysia.
Belum berangkat saja kami sudah “rempong” memilih penerbangan yang termurah di antara yang murah. Itu sebabnya kami menamai kelompok ini “Pelampong Rempong” yang terdiri dari Arien, Arief, Aris, dan saya sendiri – satu-satunya peserta yang namanya tidak diawali huruf “A”.
Saat membuat rencana perjalanan pun tak kalah rempong. Karena sudah terlalu sering menikmati paket perjalanan mewah selama berwisata di Indonesia (ini sih pencitraan) maka kami pun membuat rencana perjalanan seefisien (alias seirit mungkin).
NOTE: Beberapa tindakan yang kami lakukan tidak patut untuk ditiru demi kesehatan jasmani dan rohani Anda. Semua semata-mata kami lakukan karena pembatasan budget yang berlebihan.
Bermalam di Changi
Dari hasil riset yang panjang, kami mendapati bahwa penerbangan paling murah dari Soekarno Hatta ke Bandara Changi, Singapura adalah penerbangan malam. Keputusan para pelancong rempong memilih penerbangan termalam dan termurah mengantarkan kami mendarat di Changi pukul 21.00 waktu setempat. Masih berdasarkan hasil riset bersama Mbah Google, kami mengetahui bahwa penumpang di Changi bisa bermalam di bandara yang konon merupakan bandara terbaik di Asia Pasifik ini. Ternyata bermalam di Changi sebenarnya diperbolehkan, asal kita bermalam di hotel transit di dalam Changi.
Yah.. namanya juga pelancong kere, eh, rempong. Kalau bisa bermalam gratis, mengapa harus bayar? Akhirnya kami pun bermalam di Changi – dalam arti sebenarnya, di ruang tunggu bandara (Ini lah salah satu tindakan yang sebaiknya tidak Anda lakukan bila berencana ke Singapura).
Bandara di negara kota ini telah meraih lusinan penghargaan. Salah satunya sebagai Best Airport in Asia Pasific tahun 2014 versi DestinAsian. Saat menginjakkan kaki pertama kainya di Changi langsung terasa kesan modern yang sangat kuat. Bagi Anda yang sering bepergian ke Singapura, mungkin sudah terbiasa melihat kecanggihan Changi. Tapi bagi pelancong amatir seperti kami hal ini merupakan pengalaman tak terlupakan. Setiap pengalaman pertama selalu tak terlupakan memang, termasuk pengalaman pertama kali ke luar negeri bagi kami.
Di Changi, perut kami sudah keroncongan karena belum sempat makan malam sebelum berangkat. Harapan kami sih bisa mencicipi masakan khas Singapura di Changi. Kenyataannya, toko-toko makanan yang masih buka di Changi malam itu kebanyakan western food yang harganya tidak jelas. Pilihan kami pun akhirnya jatuh pada McD*nalds yang (kami pikir) rasanya bisa diterima di lidah. Tanpa diduga, rasa saus sambal di McD jauh berbeda dengan di Indonesia. Agak asam seperti dicampur banyak cuka. Menunya pun sangat berbeda. Kami gak nemuin tuh Panas Spesial di sana. Susah sekali menemukan nasi.
[caption id="attachment_382920" align="aligncenter" width="300" caption="Jauh-jauh ke Singapura makannya fast food juga"][/caption]
Setelah perut agak kenyang (karena “hanya” diisi kentang dan ayam) kami pun berusaha menjelajahi beberapa arena di bandara ini. Dimulai dari Koi Pond yang terkenal karena konon bisa meredakan stress. Di dasar kolam kami melihat ada banyak koin. Mungkin ada banyak pengunjung yang percaya kolam ini punya kekuatan magis seperti di Trevi Fountain, Roma. Atau mungkin juga koin-koin itu hanya “pancingan” dari pengelola kolam supaya banyak yang melempar koin ke sana. Atau mungkin memang sekadar buat seru-seruan saja. Entahlah. Untuk apa juga dipikirkan? Hahaha.
[caption id="attachment_382917" align="aligncenter" width="300" caption="Kolam ikan koi yang katanya bisa bikin adem hati"]
Wajar saja kalau Changi dinobatkan sebagai yang terbaik di Asia Pasifik (bahkan di dunia versi Conde Nast Traveler), karena memang bandara rasa mall ini menawarkan banyak hal, bahkan hingga di penghujung hari. Selain Koi Pond yang tertata indah, pengunjung pun bisa membuat memento sendiri di arena Woodblock Rubbing Station. Katanya sih, Woodblock Rubbing ini adalah suatu bentuk seni lukis yang pernah populer di tahun 1950-an sampai 1960-an di Singapura. Cara membuatnya mudah sekali. Anak kecil pun bisa menghasilkan karya bagus di sini. Menggunakan krayon warna-warni dan beberapa meja berpola, voila! Jadilah karya seni yang bisa jadi kenang-kenangan untuk kami bawa pulang. Menggambar di atas Woodblock Rubbing mengingatkan kami pada permainan masa kecil. Membuat koin dari kertas dengan cara menggosok-gosok pensil ke atas kertas yang dibawahnya terdapat koin logam.
[caption id="attachment_382921" align="aligncenter" width="300" caption="Woodblock Rubbing - mainan anak jadul di Singapura"]
[caption id="attachment_382922" align="aligncenter" width="300" caption="Setelah digosok dengan krayon jadi begini deh hasilnya"]
Kami lihat banyak orang bersantai-santai di Xperience Zone. Tapi tunggu. Mereka bukan bersantai-santai melainkan TIDUR! Kami pun berspekulasi. Jangan-jangan yang dimaksud tempat tidur di beberapa blog “bandel” yang kami baca adalah di zona ini. Di Xperience Zone memang terdapat sebuah layar raksasa yang sepertinya khusus untuk menonton pertandindan bola. Kami lihat hanya 2-3 orang saja yang duduk manis sambil menonton pertandingan yang sedang disiarkan. Sisanya sudah mendengkur di atas tempat duduk yang mirip tempat duduk di bioskop (tapi sedikit lebih empuk).
[caption id="attachment_382924" align="aligncenter" width="300" caption="Sepertinya hanya 2-3 orang yang benar-benar niat nonton bola. Sisanya cuma mau numpang tidur. ^^"]
Kursi-kursi di depan layar pertandingan bola sudah penuh terisi orang-orang mengantuk. Tidak jauh dari arena menonton itu, di Xperience Zone masih ada beberapa titik zona hiburan berupa televisi-televisi kecil yang lebih personal. Satu televisi bisa ditonton oleh dua orang. Untungnya masih ada tempat duduk kosong di sana. Saya dan Arien pun memutuskan tidur sambil duduk di atas kursi itu. Sementara Arief dan Aris terpaksa harus tidur di atas kursi besi ruang tunggu, tidak jauh dari tempat saya dan Arien tidur. Konon kabarnya sih di Changi ada napping area yang lebih nyaman. Tapi karena beberapa terminal terlihat sudah sangat sepi, kami pun tidak berani berpindah dari Terminal 2 tempat kami tiba di Changi malam itu. Sebenarnya kami sangat sangat ingin mengelilingi Changi malam itu, tapi kedua kelopak mata kami lebih sangat sangat ingin untuk dipejamkan. Jadilah malam itu kami resmi bermalam di Changi.
[caption id="attachment_382928" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu contoh pelancong yang pura-pura nonton bola padahal sebenarnya hanya mau numpang merem"]
Penggerebekan
Layaknya orang yang tidak yakin tindakan yang mereka lakukan ilegal atau tidak, kami pun tidak dapat tidur nyenyak. Sebentar-sebentar kami terbangun. Mungkin bukan karena khawatir, tapi karena TV yang terus menyala menyiarkan pertandingan bola membuat kami susah tidur (karena memang Xperience Zone sebenarnya tidak diperuntukkan untuk area tidur – sekali lagi, mohon jangan meniru apa yang kami lakukan).
Sekitar pukul 4 pagi waktu setempat, beberapa petugas berseragam mendatangi kami di Xperience Zone. Jantung saya pun berdebar-debar seperti orang yang baru digerebek. Saya pun lalu membangukan Arien, “Rien, siap-siap. Kita mau diusir”. Beberapa petugas juga terlihat membawa senapan. Saya pun berteriak (dalam hati) “Ya Tuhan! Saya salah apa?”.
Agak berlebihan memang reaksi saya ini. Maklum, namanya juga pelancong rempong.
Salah seorang petugas perempuan mendatangi saya dan sepertinya dia langsung tahu saya orang Indonesia. Saya beranggapan demikian setelah mendengar pertanyaannya, “Boleh lihat passport dan boarding pass?”. Dia bertanya pada saya dengan dialek Indonesia, bukan dialek Melayu seperti yang biasa diucapkan orang Malaysia dan orang Singapura keturunan Melayu.
Saya pikir keren juga petugas ini bisa tahu saya orang Indonesia. Berarti jam terbang petugas ini sudah tinggi (atau memang backpaker dari Indonesia rata-rata berpenampilan kucel seperti saya? – bisa jadi).
Saya pun sudah menyiapkan 1001 alasan bila petugas itu bertanya kenapa saya tidur di Xperience Zone (Well, sebenarnya saya cuma menyiapkan 2 alasan sih tapi lebih asyik kalau saya bilang 1001. Hahaha).
Di luar dugaan, setelah melihat boarding pass kami, petugas perempuan itu langsung bilang “Kalian kemalaman ya sampai di sini?”.
Saya pun menjawab, “Iya, kami kemalaman dan takut kesulitan mencari transportasi ke hotel.”
Petugas itu lalu mengangguk-angguk sambil mengembalikan passport juga boarding pass saya dan Arien.
Huff. Akhirnya kami bisa bernapas lega. Kami pikir kami akan dibawa ke ruang interogasi dan digeledah atau diusir secara memalukan dari bandara.
Sayangnya tidak semua orang bernasib seberuntung kami. Sepasang suami istri kami lihat diberi peringatan oleh petugas karena mereka tidur di karpet. Petugas pun menyuruh mereka pindah mencari tempat duduk. Rupanya yang tidak diperbolehkan di bandara ini adalah tidur ala tunawisma di lantai atau karpet. Kalau duduk sih tidak apa-apa. Tapi seenak-enaknya tidur duduk, jauh lebih enak tidur rebahan memang.
Kami pun melanjutkan tidur kami yang jauh dari nyenyak hingga pukul 6 pagi. Kami bisa bangun tanpa kesulitan pagi itu karena pukul 6 bandara sudah dipenuhi penumpang pesawat yang baru mendarat. Kami pun segera cuci muka dan sikat gigi sambil tidak lupa mengisi botol minum kami dengan air dari keran siap minum. Maklum, selain rempong kami juga irit. Jadi sebisa mungkin tidak membeli air minum kemasan. Kalau bisa gratis untuk apa bayar? Hehe.
Walau masih ngantuk, kami punya beberapa rencana perjalanan yang harus kami datangi. No time to sleep. Kami harus check out dari Bandara menuju ke tujuan pertama kami. Apakah itu?
Silakan baca di tulisan saya selanjutnya: Pelancong Rempong – Part 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H