Bapak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang saya hormati,
Perkenankan saya menulis surat terbuka ini kepada Bapak agar bisa juga dibaca banyak orang. Ketika bertemu Bapak di Istana Negara bersama beberapa pimpinan agama, Kamis 12 Mei 2011, saya kagum dengan kecerdasan Bapak. Pemaparan Bapak tentang situasi ekonomi global, kokohnya ekonomi Indonesia melewati krisis, visi kedepan untuk kemakmuran Indonesia, situasi keamanan dan kerukunan beragama serta hal-hal lain yang Bapak sampaikan membuat kami yang hadir waktu itu tak henti memuji kepintaran dan kebijaksanaan Bapak. Di akhir pertemuan itu, kalau Bapak masih ingat, kami menyampaikan agar Bapak bisa meninggalkan legacy, warisan yang baik buat bangsa ini.
Di akhir kepemimpinan Bapak di periode ke-dua kepresidenan RI, tantangan agar meninggalkan legacy itu makin nyata. Pilpres 9 Juli telah selesai. Aman tanpa gejolak. Jauh dari kerusuhan dan kekacauan seperti yang sempat ditakutkan banyak pihak. Pelaksanaan Pilpres yang aman ini tentu menjadi kredit point yang bagus buat Bapak sebagai Presiden.
Tapi seperti yang Bapak tahu, dua jam setelah TPS-TPS di tutup, muncul “kekacauan” yang tidak diduga banyak orang. Kekacauan hasil hitung cepat atau quick count. Hasil delapan lembaga survey yang kredibel (SMRC, Litbang Kompas, Cyrus-CSIS, Indikator Politik Indonesia, RRI, LSI, Populi Center dan Pol Tracking) yang memenangkan pasangan Jokowi JK dengan selisih rata-rata sekitar 4-5 %atas Prabowo-Hatta dikacaukan oleh empat lembaga survey (Puskaptis, LSN, JSI dan IRC) yang memenangkan Prabowo-Hatta dengan rata-rata perbedaan 3-4 % atas Jokowi-JK.
Sebagai intelektual, tentu Bapak tahu bahwa jika quick count dilakukan secara jujur dengan metodologi yang benar, hasilnya pasti tidak akan jauh berbeda antara satu lembaga survey dengan lembaga survey lainnya. Karena quick count adalah hitung cepat hasil real di TPS-TPS yang diambil secara merata dan proporsional di seluruh propinsi di Indonesia. Itulah sebabnya hasil quick count delapan lembaga survey yang kredibel itu tidak begitu berbeda satu dengan yang lainnya. Sama-sama memenangkan Jokowi-JK.
Lalu kenapa sampai 4 lembaga survey, yang ternyata tidak terdaftar di KPU itu, hasil quick count-nya jauh berbeda dengan 8 lembaga survey yang kredibel? Tak heran jika orang bertanya, apakah ke-4 lembaga survey itu sengaja “dibeli” untuk mengacaukan hasil Pilpres? Apakahini bagian dari rekayasa kecurangan Pemilu? Upaya buying time,“membeli waktu” dengan memberikan dissenting opinion, suara berbeda hasil quick count agar pihak yang kalah masih cukup waktu untuk merekayasa hasil penghitungan suara di KPU?
Publik masih ingat pada Pileg 9 April 2014 lalu, beberapa jam setelah TPS ditutup dan hasil Quick count di umumkan, Bapak sebagai Presiden langsung tampil bicara di TV dan memberi selamat kepada partai pemenang Pemilu Legislatif. Atau merujuk sedikit ke belakang pada Pilkada Gubernur DKI Jakarta 2012, dua jam setelah hasil Quick Count diumumkan, Fauzi Bowo dengan sportif langsung mengucapkan selamat kepada Jokowi yang menang sebagai Gubernur DKI menurut hasil hitung cepat.
Jika pada Pileg 9 April 2014 Bapak SBY berani memberi selamat kepada Partai Politik pemenang Pemilu berdasarkan hasil Quick Count, lalu kenapa hanya karena “kekacauan yang disengaja” oleh ke-empat lembaga survey abal-abal itu, Bapak SBY tidak berani mengucapkan selamat kepada Jokowi-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden 2014-2019?
Saya khawatir, dengan keraguan Bapak tidak memberikan selamat kepada Jokowi-JK, publik bisa saja menilai bahwa Bapak ikut terlibat dalam manipulasi kecurangan hasil Pemilu. Apalagi karena Partai yang Bapak pimpin condong berkoalisi dengan pasangan Capres-Cawapres yang kalahmenurut hasil quick count delapan lembaga survey kredibel itu. Tentu kami semua warga negara Indonesia tidak menginginkan terbentuknya opini dan stigma bahwa Bapak sebagai kepala negara membiarkan atau memberi ruang bagi terjadinya kecurangan Pemilu, apalagi kalau sampai terlibat didalam kecurangan itu.
Pak SBY yang saya hormati, tentu Bapak memantau perkembangan media pasca Pilpres 9 Juli. Mayoritas stasiun TV menayangkan keunggulan Jokowi-JK. Bahkan TVRI, TV milik pemerintah yang netral pun menampilkan Jokowi-JK sebagai pemenang Pemilu. Hanya beberapa TV saja, khususnya TV yang SATU itu, yang berbeda (sesuai dengan mottonya: Kami memang beda). Akhirnya TV yang SATU itu jadi bahan ejekan, di bully di dunia maya. Tentu Bapak tahu bahwa Jerman mengalahkan Brasil 7-1 dan Argentina mengalahkan Belanda 4-2 di semifinal Piala Dunia di Brasil. Tapi tahukah Bapak bahwa orang menjadikannya bahan candaan:di TV yang SATU itu, hasil semifinal Piala Dunia bisa diubah. Brasil mengalahkan Jerman 7-1 dan Belanda mengalahkan Argentina 4-2. Di TV yang SATU itu, kebenaran yang nyata bisa direkayasa. Apapun bisa dibuat beda. Apapun bisa dimanipulasi.
Artinya adalah telah terbentuk opini di masyarakat bahwa pemenang Pilpres 9 Juli 2014 adalah Jokowi-JK. Dan stasiun TV atau lembaga survey yang menyuarakan hasil berbeda adalah pendusta.