Dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi,memang dirasa berat bagi hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Namun seperti kita ketahui,pemerintah Jokowi-JK memutuskan untuk memberikan dana kompensasi bagi masyarakat miskin terutama bagi Rumah Tangga Sasaran (RTS). Pengertian Rumah Tangga Sasaran yang akan menerima dana berupa Program Simpanan Keluarga Sejahtera (PSKS),menurut pemerintah adalah rumah tangga miskin yang terkena dampak paling parah karena kenaikan harga BBM bersubsidi. Artinya,keluarga jenis ini,benar-benar kesulitan dalam memenuhi kebutuhan primer mereka,terutama kebutuhan pokok/pangan mereka. Bukan pemenuhan kebutuhan pamer tentunya.
Namun program kompensasi yang  juga diadopsi dari pemerintah SBY ini,seperti kita ketahui memiliki banyak kelemahan. Mulai dari antrian pencairan dana yang beberapa kali menelan korban,hingga carut marut data masyarakat penerima program PSKS. Karena data keluarga penerima masih mengacu pada data pemerintahan SBY hingga akhir tahun ini,maka tidak bisa kita serta merta menyalahkan pemerintahan yang baru. Di lingkungan sekitar tempat saya tinggal misalnya,ada pendataan ulang warga penerima PSKS. Kabarnya,pendataan ulang itu dimaksudkan untuk pembaruan data masyarakat miskin yang berhak menerima 3 kartu sakti yakni Kartu Indonesia Sehat,Kartu Indonesia Pintar dan Kartu Keluarga Sejahtera.
Sayangnya dilingkungan tempat tinggal saya tidak semua aparatnya melakukan pendataan ulang door to door. Memang dilingkungan saya ini terjadi perpecahan internal,sebab musababnya tentu saja ketidakadilan aparat setempat dalam mendata masyarakat ketika ada bantuan-bantuan tunai. Sudah jadi rahasia umum jika aparat setempat hanya membagikan bantuan tunai berdasarkan hubungan kekerabatan alias Nepotisme. Sehingga penerima bantuan justru kebanyakan kalangan mampu,sedang yang benar-benar miskin hanya bisa gigit jari.
Kondisi ini diperparah dengan sikap warga mampu yang egois,dan tidak  mau mengalah dengan warga yang lebih miskin yang seharusnya menerima dana PSKS. Keluarga-keluarga mampu ini justru paling garang menuntut aparat setempat agar dimasukkan sebagai keluarga penerima PSKS. Bahkan saya melihat beberapa warga yang punya rumah permanen bagus,dengan perabotan lux,juga kendaraan bermotor yang mahal ngotot minta diberikan bantuan. Ironisnya janda-janda tua,tanpa penghasilan dan hidup sebatang kara,juga warga miskin lainnya hanya bisa diam  ketakutan melihat haknya dirampas begitu saja. Mungkin para lansia dan orang-orang miskin dengan pendidikan rendah atau bahkan tak sekolah ini,takut dengan ocehan-ocehan garang dari masyarakat mampu yang merasa berkuasa dikampung saya. Tidakkah terpikir oleh para keluarga mampu itu jika mereka mungkin saja telah merampas satu-satunya harapan para keluarga miskin untuk membuat dapur mereka tetap ngebul.
Revolusi mental,mungkin itulah PR terberat pemerintahan Jokowi-JK. Sebagus apapun program yang dicanangkan oleh pemerintahan Jokowi-JK tidak mungkin akan berjalan lancar tanpa perbaikan mental aparat-aparat dibawahnya. Berbicara tentang penyakit kronis bangsa ini yaitu Korupsi,Kolusi dan Nepotisme,tidak bisa hanya dilihat dan diukur dari kelakuan para anggota dewan dan pejabat teras negeri ini saja,karena faktanya KKN memang sudah membudaya mulai dari gedung parlemen hingga ke desa-desa. Wajar saja,jika konser "Gropyokan Korupsi" yang diselenggarakan di stadion Kridosono,Yogyakarta  pada tanggal 9 Desember kemarin mengambil tagline "Korupsi adalah Kita''. Karena untuk memberantas KKN memang harus dimulai dari diri sendiri dan keluarga.Setiap keluarga wajib memproduksi manusia-manusia jujur dan berintegritas juga tidak bermental miskin. Sehingga kita tidak mudah merasa miskin dan berhak rebutan sepotong kue dengan orang-orang yang lebih miskin dari keluarga kita.
Salam "Revolusi Mental" bagi kita semua...!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H