"Bahkan kata persamaan pun memiliki makna yang berbeda-beda, apalagi kata perbedaan. Â Jadi bagaimana sih perbedaan menurut Derrida ?"
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh beragam perbedaan suku, agama dan ras serta golongan. Keberagaman yang ada telah menjadi simbol persatuan dan dikemas dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Oleh karena itu, kita harus menjaganya agar tetap utuh dan harmonis.
Namun, belakangan ini Indonesia kerap mengalami krisis toleransi. Perbedaan yang ada justru menimbulkan perpecahan. Padahal, perbedaan itu sendirilah yang seharusnya membuat Indonesia menjadi indah karena lebih "berwarna".
Sebenarnya apa sih makna dari teks "perbedaan" itu ? Apakah makna teks "perbedaan" yang Anda pikirkan sama dengan makna yang saya pikirkan ? Untuk itu, Â saya akan mengajak Anda memahami teks "perbedaan" dengan menggunakan kacamata seorang filsuf Perancis, Jacques Derrida.
Tentang Derrida
Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tangggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia berpindah ke Perancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker (Hardiman, 2015).
Derrida mengajar di cole Normale Suprieure di Paris. Â Sejak tahun 1774 Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan perkumpulan dosen filsafat. Ia banyak menulis artikel dimana karya-karyanya hampir semuanya merupakan komentar atas pengarang-pengarang lain: filsuf-filsuf, ilmuan-ilmuan, seperti S. Freud, F. de Saussure, dan Cl. Lvi-Strauss. Namun demikian, komentar yang disampaikan menggunakan cara yang khusus, sehingga dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah.
Ia tidak memberi penafsiran begitu saja. Dengan mengomentari teks-teks itu ia menyajikan suatu teks baru. Ia menyusun teksnya sendiri dengan "membongkar" teks-teks lain dan dengan demikian ia mampu melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks itu sendiri. Prosedur ini yang oleh Derida disebut Dekonstruksi.
Tentang Dekonstruksi
Menurut Derrida adalah tidak tepat dan tidak menggambarkan keadaan sesungguhnya, apabila  makna diciptakan melalui struktur yang stabil dan konsep oposisi biner. Contoh oposisi biner maksudnya seperti hitam dan putih, kurus dan gemuk, mancung dan pesek,  pria dan wanita dan  seterusnya. Coba Anda bayangkan atas pertentangan pada teks-teks tersebut,  Apakah Anda dapat merasakan bahwa oposisi biner membentuk hegemoni dan hirarki atas teks-teks tersebut ? Rasanya begitu yah
Coba Anda bayangkan  kembali, bukankah putih tidak selalu lebih baik dari hitam , sebut saja ban mobil dan motor, bukankah ban hitam  lebih disukai dari putih ? Lalu siapa bilang pria selalu lebih berkuasa dari wanita, bukankah Indonesia pernah dipimpin oleh seorang presiden wanita ? Hmm Anda mulai melakukan dekonstruksi !