Akhir-akhir ini kita diramaikan oleh hadirnya perang politik yang padahal sumbunya telah lama dinyalakan, tapi toh masih berlangsung sampai sekarang. Namun, kita tak dapat menghindarinya, apalagi dengan adanya hal yang menjadi penyimpangan. Agama dan Politik, itulah tema yang sangat tren akhir-akhir ini. Tak dapat dipungkiri lagi ada yang melihat agama sebagai sebuah pesan politis, dan juga sebaliknya, sebagai sebuah pesan suci yang wajib disebarkan.Â
Akan tetapi dalam tulisan ini, penulis tak ingin membahas kedua hal tersebut melainkan hanya suara hati dan moralitas.
Menurut Aristoteles, moral bukanlah berdasarkan perintah maupun larangan tapi melainkan apa yang membut hidup ini lebih bermakna. Sedangkan Kant melihatnya dari sudut yang berbeda. Kant selama hidupnya menghabiskan waktu 10 tahun untuk membaca. Dan sisa waktu setelah satu dekade tersebut, ia habiskan untuk berkarya.Â
Karya-karyanya sarat akan kritik dan kritis. Misalnya saja ia mengkritik sebuah pengertian. Pengertian dapat disamakan sebagai sebuah gambar. Namun, pengertian, di mata kant, tidaklah sesederhana itu. Pengertian tidak murni lagi sebuah pengertian melainkan apa yang dibangun sebelumnya. Artinya realitas yang diungkapkan dalam pengertian tidak lain sebagai sebuah kontruksi. Realitas tak murni lagi dilihat apa adanya. Jadi dapat dikatakan bahwa kant mengkritik science.Â
Tapi bukan berarti science tak murni lagi. Kant ingin memperlihatkan bahwasanya science terbatas pada apa yang kita rasa melalui indrawi yang kita miliki dan inilah keterbatasan yang kita miliki dalam science. Sedangkan moralitas masih memiliki harapan. Moral terjadi walaupun kita tak melihatnya. Kita sadar walaupun kita tak melihatnya. Kepekaan yang dibawa moralitas inilah yang kant sebut sebagai sebuah etika. Etika masih memiliki kebebasan. Bahkan etika sendiri bisa sampai kepada Tuhan.
Marilah kita menggabungkan moral dan etika itu menjadi sebuah kesadaran moral. Kesadaran moral berlandaskan pada suara hati. Suara hati, menurut Franz Magnis Suseno, memiliki dua unsur. Unsur pertama yakni unsur keobjetifannya. Namun, menurut penulis, dalam unsur itu merupakan sebuah dialog dalam hati, yang tak bisa disangkut-pautkan hanya diri pribadi. Kita akan selalu mempertimbangkan suara-suara yang muncul dalam hati kita. Unsur kedua yakni suara hati itu tak bisa ditawar atau mutlak.Â
Suara hati yang satu ini bersifat absolut, yang berarti sesuatu yang sudah tak mengikuti prasangka umum. Prasangka umum ini biasanya diikuti oleh kebanyakan orang. Kita tak memerlukan persetejuan orang lain untuk mengikuti suara hati kita. Jadi suara hati kita merupakan suatu kemurnian dan tidak sekedar ikut-ikutan. Franz sendiri memberikan contoh dengan menyebutkan salah satu tokoh Kristen, Thomas Morose. Tokoh tersebut menolak raja sebagai pemimpin dalam gereja dan ia tentunya terancam hukuman mati. Sehingga, teman-temannya berusaha mengajak dia untuk menyerah.Â
Namun, Thomas Morose berkata lain. Ia mengatakan jika ajakan itu memang dari suara hati tentunya sangat baik bagi mereka karena mereka akan masuk surga. Sedangkan, Morose menolak karena ini juga berdasarkan suara hatinya. Jika mereka mengajaknya, maka ia akan masuk neraka, sedangkan mereka masuk surga.Â
Suara hati akan selalu menimbang pandangan-pandangan umum dan berikutnya, hatilah yang akan menentukan akhir keputusan. Jadi suara hati atau kesadaran moral adalah suatu kesadaran mutlak yang dimana kita harus bertindak.Dalam anatomi moral, Kant membagi dua macam moralitas. Yang pertama berkaitan dengan imperatif kategoris, dan yang kedua imperatif hipotetis. Imperatif artinya sebuah perintah. Imperatif  Kategoris disimbolkan dengan perkataan "bertindaklah secara moral".Â
Perintah ini tidaklah mengandung segala perintah (command), melainkan sebagai perwujudan adanya suatu "keharusan Objektif" untuk bertindak secara moral yang datang dari dalam diri sendiri, yang tidak bersyarat bersifat mutlak dan merupakan realisasi dari rasio (budi) praksis. Sedangkan imperatif hipotetis merupakan sebuah perintah yang berdasarkan hipotesis. Jadi ada semacam otonom moralitas itu sendiri jika kita melihat dari sudut imperatif kategoris, suatu "keharusan objektif". Otonom moralitas adalah moralitas yang kita sadari sendiri sedangkan heteronom justru sebaliknya.
Dalam pembahasan terakhir, Franz berfokus pada analisa moral ala Kant. Franz mengatakan ada kriteria tertentu untuk mengetahui apakah itu moral atau tidak. Yang pertama, perlulah kita pertanyakan apakah moral yang kita lakukan bisa diterima secara umum? artinya moral yang kita lakukan itu haruslah diunversalkan. Dan jika memang tak bisa diuniversalkan atau diterima secara umum, maka itu bukanlah moralitas karena tindakan yang bersifat moral akan selalu dapat diuniversalkan.Â
Yang kedua, Kant membedakan antara legalitas dan moralitas. Legalitas merupakan perbuatan baik yang bukan berdasarkan hukum moral tapi untuk mendapatkan keuntungan semata. Sedangkan penentu moral itu sendiri tergantung pada motivasi, kesadaran moral, sebuah suara hati. Dan yang ketiga, Franz mengingatkan agar kita tak terlalu cepat menilai moral seseorang karena ada sesuatu yang masih transendental, hati seseorang hanya bisa dinilai oleh Tuhan.