Maba atau biasanya dikenal sebagai mahasiswa baru, tapi menurut penulis, maba itu bisa dijenjangkan dengan usia penulis dahulu, yaitu mahasiswa basi. Mahasiswa Basi atau biasanya disebut maba ini biasa nongol dan entah hadir seperti hantu di kampus-kampus yang banyak penghuni barunya. Datang membayar spp, keluar membayar banyak spp. Nasib naas dialami oleh maba ini merupakan suatu keniscayaan dan juga, bisa jadi kemungkinan. Itu merupakan salah satu prinsip ketuhanan Thomas Aquinas, seorang teolog Kristen, diantara 5: motion, efeciency cause, keniscayaan dan kemungkinan, gradasi, dan juga, tata aturan.
Penulis yang merasa sebagai maba merasakan juga yang namanya gradasi. Keteraturan antara junior dan senior, dosen dan mahasiswa, dekan dan wakil dekan, maba dan semua mahasiswa. Maba mempunyai dedikasi tertinggi di kampus yang merupakan juga sebuah keniscayaan. Tapi tak usah berbasa-basi. Mereka punya kelemahan. Dan kelemahan itu merupakan pertanyaan ala Socrates sang filsuf kondang sejagat Yunani, yang mempertanyakan apa yang ideal dan apa yang dipercayai atau suatu persetujuan yang dibuat oleh masayarakat.
Yang pertama, "Apa kita kerja di kampus,kak?"
'Kak' merupakan kata yang sangat sopan, yang merujuk pada orang yang lebih tua. Di Makassar, kata 'kita' setara dengan kata 'anda' yang juga merupakan kata sopan. Dari segi aksiologi, pertanyaan ini sangat kritis yang diutarakan oleh junior sang maba. Mengapa demikian? Karena pertanyaan itu sangat radikal yang bisa membuat sang maba berpikir lebih rasional. Kepercayaannya akan sifat ketuhanannya membuat dia bisa menangkis. Biasanya maba akan menjawab, "lagi mau ketemu dosen, dek." Jika ada pertanyaan follow-up, maka maba biasanya maba berusaha menghindar dengan jawaban yang sangat buru-buru, "Maaf, dek, sy harus ke sana dulu."
Yang kedua, "Kak, sudah ujian mejanya ya?"
Mungkin pertanyaan pertama masih lebih ringan jika dikaji dari segi ontologis. Keberadaan sang maba sudah terasa bagi para penghuni kampus lainnya, jadi sangat sulit mengelak dengan pertanyaan yang begitu ontologis itu. Ujian meja merupakan istilah yang sangat unik di Makassar. Ujian meja seharusnya ujiang sidang atau hasil, tapi ini kok ujian meja? Ada apa dengan meja? Apakah maba ada kaitannya dengan meja? Ya sudahlah, tak perlu dikritisi. Mangkanya, pertanyaan ini harus dibalas dengan pertanyaan, agar menjadi kabur.
Yang ketiga, "Cie, cie yang sudah sarjana."
Ini bukanlah pertanyaan, tapi lebih kepada sebuah pernyataan. Pernyataan ini sangat khas ala Deskartes sang filsuf asal prancis ini, “cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada”. Pernyataan yang diutarakan junior merupakan doa yang sangat khas akan eksistensi maba. Kamu mengklaim, maka aku ada. Khas sekali akan deskartes. Jika maba mengakui, maka dia bisa dibilang narsis dan maka dia ada. Pastinya sang maba tidak akan menghindar, malah menyukainya.
Mudah-mudahan ketiga pertanyaan ini bisa dikatakan sulit untuk dielak oleh sang maba. Sang penulis pasti merasakan hal yang sama ketika masih maba. Dia ingin tahu kalau statusnya masih bisa dibilang muda, karena masih maba, mahasiswa baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H