Konflik muncul karena perbedaan cara pandang terhadap sebuah hal. Perbedaan cara pandang terjadi karena beberapa hal, di antaranya perbedaan latar belakang pengalaman hidup, tingkat pendidikan, pengetahuan dan wawasan. Begitu pun halnya persoalan Sunni dan Syiah. Orang Sunni yang gagal memahami Syiah atau sebaliknya boleh jadi karena faktor-faktor tersebut. Mengapa hal itu bisa terjadi? Mampukah Sunni dan Syiah bisa saling memahami? Penulis memberikan pandangan mengenai persoalan tersebut. Semoga bermanfaat bagi para pembaca.
Syiah yang minoritas di Indonesia akhir-akhir ini jadi sorotan.KonflikAgustus 2012 menurut data yang dihimpun oleh kontras.org, terdapatsatuorang meninggal dunia,satuorang luka berat, 15 orang penganut Syiah belum ditemukan, bangunan terbakar di 48 lokasi yang merupakan milik 64 keluarga,satuunit motor dan beberapa hewan ternak ikut terbakar(news.detik.com). Peristiwa tersebut adalah tragedi paling besar yang dialami Muslim Syiah di Indonesia. Pasalnya, dalam peristiwa tersebut terdapat korban tewas. Bukan masalah jumlah korbannya. Tapi, menghilangkan nyawa seseorang dengan menyalahi hukum negara dan agama merupakan tindakan paling tidak manusiawi. Penulis menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan.
Diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas di Indonesia, seperti yang dialami Syiah dan Ahmadiyah harus menjadi perhatian serius. Pemerintah berkewajiban melindungi kelompok minoritas dan memberikan sanksi bagi pelaku anarkis. Pihak-pihak yang berusaha memprovokasi umat juga perlu diberikan tindakan tegas. Sebab, hal itu dapat memicu konflik yang lebih luas.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk memecah belah umat kini semakin gencar. Tidak hanya peran individu seperti ulama, ustadz, tapi peran organisasi pun memiliki kekuatan besar dalam memberikan pengaruh kepada umat yang bertujuan mengkafirkan kelompok berbeda paham. Seperti yang dilakukan Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) yang mengaku berpaham Sunni. Organisasi ini getol melakukan propaganda yang menyudutkan kelompok Syiah. Kelompok Syiah dianggap sesat dan kafir.
Kelompok Sunni lainnya justru memandang Syiah sebagai saudara seiman. Kelompok Sunni yang menyatakan bahwa Syiah tidak sesat, di antaranya dari anggota pengurus Dewan Masjid Indonesia (DMI), Daud Poliradja, Ketua PBNU, Prof. Dr. K.H. Said Aqil Siradj, Ketua MUI Pusat, Prof. Dr. Din Syamsuddin, Prof. Dr. Amien Rais, dan lain-lain. Jadi, dari pihak Sunni ada sebagian kelompok yang mengatakan Syiah sesat dan kafir, sebagian lainnya menyatakan Syiah bagian dari Islam dan tidak sesat.
Sebagian masyarakat kita nampaknya mudah percaya terhadap berita mengenai kesesatan Syiah. Mereka tidak memeriksa kebenaran berita tersebut kepada ulama, ustadz dan para jamaah Syiah. Padahal di dalam Al-Qur’an jelas disebutkan mengenai pentingnya memeriksa informasi yang belum tentu kebenarannya. Seperti yang dijelaskan dalam ayat berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah (kebenarannya) dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu” (Al-Hujurat: 6).
Untuk mengetahui hakikat Syiah memang harus mau berdiskusi dengan ulama, ustadz dan para jamaahnya. Selain itu, membaca buku yang berasal dari Syiah penting untuk mengetahui ajaran dan prinsipnya. Penulis sendiri membaca buku-buku mengenai Syiah dan terlibat langsung dalam diskusi dengan mereka. Perumpamaannya jika kita ingin mengetahui produk motor X, maka yang kita lakukan adalah menanyakan langsung kepada sales produk motor tersebut. Keliru jika kita ingin mengetahui Syiah, tapi bertanya kepada yang bukan Syiah, apalagi kepada para pembencinya.
Melalui diskusi yang dilandasi dengan hati dan pikiran jernih diharapkan kelompok Sunni dan Syiah bisa saling menghargai dan menghormati. Pendekatan antar mazhab melalui diskusi ilmiah harus terus dilakukan guna mempererat ukhuwah dan meminimalisir kesalahan persepsi terhadap Sunni maupun Syiah. Pendekatan antar mazhab melalui diskusi ilmiah yang terus dilakukan membuahkan hasil positif. Hal itu terlihat pada deklarasi ukhuwah Sunni dan Syiah yang terjadi di hotel Horison, Buah Batu, Bandung pada tahun 2011.
Penulis menyaksikan deklarasi tersebut sebagai upaya mempererat tali persaudaraan antara Sunni dan Syiah. Saat itu kelompok Sunni diwakili oleh Daud Poliradja, selaku anggota pengurus Dewan Masjid Indonesia, dan dari pihak Syiah diwakili Prof. Dr. K.H. Jalaluddin Rakhmat, selaku Ketua Dewan Syura IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia). Deklarasi tersebut melahirkan MUHSIN (Majelis Ukhuwah Sunni dan Syiah) sebagai wadah bagi Muslim Sunni dan Syiah untuk mempererat tali silaturahmi, menambah wawasan keagamaan, dan beramal kepada sesama insan.
Hal yang paling menyedihkan ketika kita melihat sebagian orang mengaku Sunni mengkafirkan Syiah atau sebaliknya. Sikap takfir tersebut hanya menambah kesombongan dalam diri. Sebab, kelompok takfir ini menganggap dirinya paling benar, sementara kelompok lain dianggap sesat. Padahal yang berhak memvonis kafir atau tidaknya hanyalah Allah Swt. Sikap takfir dan merasa diri paling benar justru tidak ada pada diri Nabi Agung Muhammad Saw.
Pernahkah kita membaca sejarah Nabi suci Muhammad Saw yang menindas, mengintimidasi atau menghilangkan nyawa seseorang hanya karena beda keyakinan? Jawabannya, pasti tidak. Kita baca sejarah Nabi Saw dengan akhlak yang indah. Kita baca sejarah Nabi Saw, ketika Beliau yang suci menjenguk seorang wanita tua yang terbaring sakit di rumahnya, padahal tiga hari sebelumnya meludahi wajah Nabi Saw yang suci. Nabi Saw membalas keburukan dengan perbuatan yang paling indah, menjenguknya dengan wajah penuh senyum. Jadi kepada siapa mereka (takfiri) mencontoh akhlak? Padahal mereka mengaku meneladani Rasulullah Saw.