Belum lama ini, pada Rabu 13 April 2016 masyarakat dihebohkan kasus pembunuhan dan mutilasi yang dilakukan Kusmayadi alias Agus terhadap Nur Atikah. Peristiwa tersebut dilakukan Agus di tempat kos milik Atikah, di Cikupa, Tangerang. Agus membunuh dan memutilasi Atikah, kekasihnya, karena dikatai “monyet” oleh Atikah. Peristiwa terjadi lantaran Atikah hamil di luar nikah. Ia meminta pertanggungjawaban Agus segera melamar kepada kedua orang tuanya. Namun, permintaan tersebut ditundanya. Sampai akhirnya Atikah kesal, mendorong Agus hingga terjatuh dan mengatai “monyet”. Agus emosi. Ia memiting leher Atikah sampai akhirnya tewas. Kemudian ia panik dan memutilasi Atikah untuk menghilangkan jejak.
Agus melarikan diri. Polisi berhasil menangkapnya di Surabaya pada Rabu 20 April 2016. Saat ditangkap Agus menangis dan menyesali perbuatannya. Selama buron, Agus ketakutan setiap melihat berita di televisi mengenai perbuatan dirinya terhadap Atikah. (sumber: detik.com)
Jelas sekali, Agus tidak bisa mengontrol emosi. Ia luapkan kekesalannya dengan cara yang tidak elegan. Penyesalan Agus kini tak ada artinya lagi. Ia menanggung segala perbuatan yang dilakukannya terhadap Atikah. Berdiam di balik jeruji untuk menunggu hukuman yang setimpal. Pekerjaan untuk menghidupi keluarganya, berkumpul bersama teman-teman tidak bisa ia nikmati lagi. Sebuah kerugian besar bagi Agus sebagai makhluk Tuhan yang diciptakan untuk menikmati hidup, mencapai kebahagiaan.
Peristiwa yang sama mengerikan juga terjadi di Brooklyn, New York, Amerika Serikat. Contoh peristiwa pembunuhan seperti yang dilakukan Agus terhadap Atikah, penulis kutip dari buku karyanya Daniel Goleman yang berjudul “Emotional Intelligence”. Goleman (1998:327) bercerita bahwa semuanya berawal dari perang mulut kecil-kecilan, namun kemudian memanas. Ian Moore, siswa kelas terakhir di Thomas Jefferson High School di Brooklyn, dan Tyrone Sinkler, siswa kelas dua, pernah berselisih dengan Khalil Sumter, sobat mereka yang berusia lima belas tahun. Sejak itu mereka mulai menjahili Khalil dan mengancamnya. Akhirnya pertengakaran itu meledak.
Pada suatu pagi, karena khawatir Ian Moore dan Tyrone akan memukulinya, Khalil membawa sepucuk pistol kaliber 0.38 ke sekolah dan, lima meter dari seorang penjaga sekolah, ia menembak kedua anak itu hingga tewas dari jarak dekat di lorong sekolah.
Kerugian buta emosi
Goleman (1998:327) mengatakan bahwa peristiwa yang betul-betul mengerikan itu dapat dibaca sebagai pertanda amat dibutuhkannya pelajaran dalam menangani emosi, menyelesaikan pertengkaran secara damai, dan bergaul biasa. Para pendidik, yang biasanya mencemaskan nilai buruk anak-anak dalam bidang matematika dan membaca, mulai menyadari bahwa ada kekurangan lain yang lebih mencemaskan: buta emosi.
Seperti yang dikatakan Goleman, para pendidik, baik guru maupun dosen, memerhatikan juga pentingnya emosi anak didiknya. Boleh jadi guru yang kasar dan pemarah menyebabkan murid menjadi takut sekaligus benci. Guru yang penyayang dan memotivasi menyebabkan muridnya merasa dihargai dan didukung. Sebab, murid belajar dari gurunya. Bukan hanya ilmu matematika, sejarah, tapi juga belajar dari perilakunya.
Kerugian buta emosi pada seseorang akan berdampak setelah ia melakukan kekerasan. Pada kasus Agus, ia merugi setelah melakukan pembunuhan dan mutilasi, yaitu mendapatkan sanksi hukum, sosial, dan agama. Sanksi hukum diberikan kepada Agus berupa hukuman penjara. Sanksi sosial, ia mendapatkan kritik, kecaman, hujatan dari masyarakat. Sanksi agama, ia mendapatkan dosa atas perbuatan yang dilakukannya.
Buta emosi pada seseorang merupakan penyakit mental. Penyakit mental salah satu pemicunya adalah pergaulan sosial. Pergaulan sosial terjadi di lingkungan keluarga, pertemanan maupun organisasi. Penyakit mental yang dimaksud muncul dari pergaulan sosial yang negatif. Misalnya, seseorang mendapatkan tindak kekerasan verbal, seperti dihina dan dilecehkan.
Untuk melukiskan bagaimana seseorang itu tumbuh percaya diri atau menjadi bengis karena faktor pergaulan sosial, penulis mengutip potongan sajak dari Koesdarini yang diambil dari buku karya Jalaluddin Rakhmat, berjudul “Psikologi Komunikasi”. Sajak tersebut berjudul “Anak Belajar dari Kehidupannya”. Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.