Mohon tunggu...
Humaniora

Pendidikan Kita, Seperti Inikah?

23 Januari 2016   23:54 Diperbarui: 24 Januari 2016   00:17 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

[caption caption="pendidikan"]
[/caption]

Teringat masa sekolah. Ketika itu, membaca menjadi ajang bergengsi bagi pada orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak. Ternyata, sampai saat inipun, ajang ini masih menjadi sangat bergengsi. Dengan mengatakan bahwa anak saya sudah bisa membaca, bisa menulis ataupun bisa berhitung merupakan sebuah kebanggaan untuk mereka.

Setelah banyak belajar dalam dunia pendidikan, ternyata tidak semua anak memiliki kemampuan yang sama. Mereka memiliki kemampuannya masing-masing untuk memahami dan mengerti kata, berhitung maupun menulis. Namun, bagi orang tua yang tidak memahaminya, anak yang belum bisa membaca, menulis maupun berhitung ketika lulus TK akan dicap sebagai anak yang BODOH. Bahkan banyak sekolah di sini, yang menyeleksi siswanya untuk masuk SD dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitungnya. Untuk yang tidak bisa membaca atau menulis maka mungkin akan tidak diterima di sekolah itu atau akan ditempatkan di satu kelas bersama anak lainnya yang sama-sama belum bisa membaca, menulis maupun berhitung.

Ketika masa SD, banyak hal yang terjadi. Seingatku, ketika dulu aku belajar di SD, guruku menjelaskan dengan sabar dan ramah bagaimana menulis dan membaca. Meskipun banyak temanku yang belum juga bisa menulis dan membaca ataupun berhitung, namun tidak begitu menjadi masalah. Namun sekarang, dunia membaca, menulis dan berhitung WAJIB bagi mereka untuk bisa menguasai. Sepanjang harinya di sekolah, dipenuhi dengan dunia berhitung. Berhitung ANGKA-ANGKA tanpa memegang apapun kecuali pensil. Bagi mereka yang tidak mampu berhitung, lagi-lagi mendapat gelar BODOH.

Sedikit besar, saat itu kelas 5, aku merasa materi belajar begitu luar biasa. Banyak hal yang harus kuhafalkan. Dan ternyata, sekarangpun jauh lebih luar biasa. Bukan hanya kelas 5, kelas 4 saja sudah harus menghafalkan fungsi semua lembaga negara, sejarah semua kerajaan, belum lagi mengingat rumusan matematika yang banyak dan dengan modifikasi soal yang dipenuhi dengan angka-angka yang selalu lebih dari ribuan, ditambah dengan beban lainnya. Seingatku, ketika itu Ibuku tidak pernah menyuruhku belajar, namun karena itulah kesadaran belajar itu muncul dengan sendirinya. Namun sekarang, banyak orang tua yang menuntut anaknya untuk menjadi jaura 1, tanpa memahami bahwa tidak semua anak unggul disemua bidang pelajaran. Merekapun semakin tertekan, dengan tugas yang begitu berat, tuntutan orang tua yang tidak mau mengerti keadaan, akhirnya, mereka memilih jalan pintas. MENCONTOH.

Mungkin inilah awal budaya belajar MENCONTOH kita. Ketika kelas 6, tuntutan ujian nasionalpun menjadi tuntutan yang berat untuk siswa maupun orang tua. Sekolah di tempat faforit SEOLAH-OLAH menjadi jembata untuk membuat putra-putri mereka sukses. Akhrinya, berjuang keraslah si anak, saking kerasnya sampai akhirnya dia menempuh berbagai cara. Ujian Nasional bukan lagi menjadi ajang ujian yang sebenarnya, namun ajang MENCONTEK MASSAL. Apalagi, ada pihak sekolah yang menjadikan Ujian Nasional sebagai JATI DIRI sekolah, maka merekapun sekuat tenaga memperjuangkan nilai siswanya (DENGAN SEGALA CARA). Meskipun tidak semua sekolah menjalani hal tersebut.

Masa SMP MENCONTOH bukan lagi hal baru. Bahkan, kemajuan teknologi sekarang, mencontoh adalah hal yang sangat mudah. Cukup buka GRUP BBM, GRUP WA, mereka sudah mendapatkan jawaban FULL VERSION. Mencontoh adalah budaya yang terlahir dengan indah, dan kini masa SMP saatnya tiba masa baru yaitu NGREPEK. Ngrepek istilah yang digunakan pada masaku, nama lainnya mungkin mencontek. Meletakkan buku di dalam laci, dan membukanya saat ujian berlangsung.

Masa SMP terlalui dengan sangat membahagiakan. Bahkan, ketika seorang anak yang mendapat nilai 100 pada pelajaran Bahasa Inggrisnya, belum tentu dapat diajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Atau mereka yang mendapat nilai 100 pada matematikanya, mungkin masih akan mengalami kesulitan untuk menghitung nilai belanjanya di warung.

SMA/K kini mengajarkan hal baru untuk mereka. Asalkan mereka lulus, maka mereka akan bahagia. Meskipun tidak semua SMA/K seperti itu. Namun banyak diantara mereka yang seperti itu. Tidur di dalam kelas, sambil bermain media sosial akan menjadi lebih menyenangkan dari pada mendengarkan ocehan guru di depan kelas. Ups, belum tentu juga guru sekarang mau memberikan ocehan, banyak diantara mereka yang jauh lebih eksis daripada muridnya, dan menikmati keindahan media sosial di dalam kelas dari pada mengajar muridnya.

Banyak pertanyaan yang mengganjal di fikiran ini, mungkin akan ada jawaban yang akan meringankannya

- mengapa tidak setiap anak mendapatkan haknya untuk dihargai? padalah semua anak memiliki kemampuannya masing-masing. tidak semua yang pintar matematika dapat berpidato dengan baik. namun selalu dianggap bodoh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun