Mohon tunggu...
Yen Sembiring
Yen Sembiring Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pekerja swasta

Individu yang suka mengonsumsi informasi terkait hubungan internasional

Selanjutnya

Tutup

Politik

Realisme Politik di Laut China Selatan

21 Maret 2024   09:33 Diperbarui: 21 Maret 2024   09:59 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Konflik Laut China Selatan merupakan sengketa internasional yang terjadi di wilayah perairan yang mencakup banyak negara di Asia Tenggara. Wilayah ini menyimpan cadangan perikanan, minyak, dan gas yang melimpah. Konflik klaim teritorial tersebut terkait dengan ancaman kedaulatan dan keamanan negara Indonesia. Ancaman tersebut dikarenakan Pemerintah China membuat klaim yang di dalamnya mencatut 83.000 kilometer persegi atau 30% dari luas laut Indonesia di Natuna Utara dan laut negara lain seperti Filipina dan Malaysia, berkurang 80%, Vietnam 50%, dan Brunei 90% berdasarkan data dari CNBC pada 7 Januari 2020.

China menggunakan peta sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line) untuk mengklaim seluruh wilayah Laut China Selatan, termasuk perairan Natuna Utara. Pada tahun 2013, Filipina mengajukan gugatan terhadap China ke Mahkamah Arbitrase Permanen (PCA) di Den Haag. Pada tahun 2016, PCA memutuskan bahwa klaim "Sembilan garis putus-putus" tidak memiliki dasar hukum. China tidak mengakui putusan ini. Hal ini berdasar pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982.

Pemerintah Indonesia perlu memperhatikan Kedaulatan dalam kasus Nine Dash Line, dari perspektif psikologi masyarakat. Karena psikologi masyarakat memiliki beberapa dampak positif terhadap identitas dan kesejahteraan warga negara. Kedaulatan negara dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap diri masyarakat. Sebagai contoh, negara yang memiliki kedaulatan negara yang baik akan memiliki identitas yang kuat, sehingga masyarakat akan lebih bangga dan dapat menjamin kesejahteraan rakyat Indonesia.

Masyarakat Indonesia perlu mengetahui bagaimana konflik Laut China Selatan dapat mengancam kedaulatan Indonesia. Hal ini untuk memudahkan masyarakat agar paham persoalan secara substansi dan bisa menilai perilaku dan kebijakan Pemerintah terkait konflik tersebut. Hal yang bisa dilihat secara fisik oleh masyarakat adalah klaim teritorial. Klaim teritorial China mengancam wilayah Indonesia, seperti Kepulauan Natuna, yang merupakan zona ekonomi eksklusif Indonesia. Hal tersebut akan mempengaruhi ekonomi dan keamanan negara Indonesia secara langsung.

Dengan pencatutan tersebut, maka nelayan Indonesia akan mengalami kesulitan atau bahkan kehilangan kesempatan untuk menangkap ikan di wilayah tersebut yang mungkin akan berefek pada pasokan dan harga ikan dalam negeri Indonesia. Dalam jangka panjang, akan ada masalah struktural yang muncul di daerah tersebut. Seperti kemiskinan karena nelayan kehilangan wilayah tangkap dan beberapa masalah turunan dari kemiskinan.

Masyarakat Indonesia juga akan kehilangan potensi eksplorasi energi seperti minyak dan gas serta beberapa mineral lainya yang berasal dari wilayah konflik tersebut. Hal itu karena Laut Natuna Utara sangat kaya akan endapan organik. Endapan organik inilah yang kemudian menjadi bahan bakar minyak dan gas (migas), mendukung ekosistem laut yang kaya dan beragam, dan yang tidak kalah penting adalah sebagai jalur perdagangan internasional yang vital. Dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah dan beragam, Laut China Selatan sangat penting untuk dimiliki.

Langkah Pemerintah Indonesia untuk memperkuat pengaruh dan kedaulatan dua daerah tersebut sudah sangat bijak. Mengubah nama Laut China Selatan menjadi Laut Natuna Utara adalah upaya konkret selain dengan memperkuat postur pertahanan di daerah tersebut. Kehadiran pemerintah berguna untuk memperkuat psikologis masyarakat bahwa secara nasional dan secara serius kita bisa melawan dan mempertahankan kedaulatan nasional. Hal tersebut akan meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Penting untuk diketahui oleh masyarakat apa sebenarnya yang menjadi alasan Pemerintah China mengklaim wilayah tersebut. Upaya ekspansif Pemerintah China tersebut terjadi karena banyak hal. Penduduk negara China yang tercatat sampai saat ini adalah sebanyak 1,425 miliar jiwa pada tahun 2023. Penduduk sebanyak itu harus disediakan kebutuhan pokoknya seperti energi dan kebutuhan pangan yang berasal dari laut. Kebutuhan yang banyak tersebut bisa didapatkan melalui klaim di Laut Natuna Utara. Selain itu, perdagangan China dengan negara Asia untuk pembelian migas dan dengan Eropa untuk ekspor produk dari China, hampir 80% melalui Laut China Selatan. Sehingga alasan klaim tersebut sangat masuk akan bagi Pemerintah China dan menjadi masalah bagi negara yang terkena klaim tersebut. Dalam pandangan realis, Pemerintah China tidak lebih dari sedang melakukan upaya untuk menyelamatkan negaranya.

Sikat tersebut memang terkesan tidak baik dan mengganggu perdamaian dunia. Akan tetapi upaya serupa dilakukan banyak negara yang memiliki hegemoni yang kuat. Dalam lingkup pertemanan internasional tidak ada yang bisa mengatur dan mendikte suatu negara kecuali kepentingan negara itu sendiri. Dalam kasus ini, Pemerintah China melawan semua aturan hukum internasional yang bahkan ia telah sepakati sebelumnya seperti UNCLOS dan memilih melakukan klaim untuk kepentingan nasional negaranya. Hal serupa juga seharusnya dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan negara-negara yang diklaim wilayahnya oleh Nine Dash Line. Pemerintah Indonesia harus mengajak negara-negara ASEAN bersatu untuk melawan hegemoni yang coba diperkuat oleh Pemerintah China. Hal tersebut untuk menjaga kedaulatan dan kepentingan masing-masing negara.

China bisa dipandang sebagai penjahat internasional tetapi pada dasarnya yang dilakukan China adalah bentuk mempertahankan kedaulatannya untuk masa yang akan datang. Pemimpin visioner yang dimiliki China adalah pemimpin yang kita juga harus miliki. Pemimpin yang bisa melihat dan mempertahankan kedaulatan Indonesia untuk masa yang akan datang. Gaya pemimpin yang realis tidaklah selalu buruk seperti yang tergambar dalam pikiran banyak masyarakat Indonesia. Dengan proyeksi penduduk Indonesia yang akan semakin tinggi tiap tahun dan dalam rangka menyambut bonus demografi, pemimpin Indonesia harus berani lebih realis dan ekspansif serta aktif dalam pergaulan internasional. Hal itu untuk tetap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia baik dari energi maupun pangan.

Akan tetapi, masyarakat ASEAN tidak kunjung bisa bersatu. Pemerintah China memiliki hubungan bilateral yang sangat baik dengan masing-masing negara ASEAN bahkan yang sedang berkonflik dengannya. Tidak diketahui dengan pasti apa yang menjadi penyebab tidak bersatunya negara ASEAN. Tidak ada negara ASEAN yang bisa menjadi pemimpin yang dapat menyatukan pandangan negara anggota ASEAN. Indonesia sekalipun belum bisa memimpin upaya tersebut meskipun Indonesia adalah negara terbesar di kawasan tersebut. Masing-masing negara masih fokus pada politik domestik mereka sendiri. Tidak melihat visi yang lebih besar di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun