"Everyone is a genius. But if you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid." Anonymous.
Ini mungkin bisa menjadi cerminan potret pendidikan yang masih kita terus lakukan sampai saat ini. Esesensi pemahaman Pendidikan yang berkeadilan dimulai dari ratusan tahun dari negeri barat sampai ke negeri timur tak kunjung mendapatkan restorasi yang masif. Mengetahui kata adil sendiri adalah tidak cukup, mengetahui sejatinya berbeda dengan memahami begitu pula dengan memaknai. Orang yang mengetahui belum tentu ia memahami, orang  yang memahami belum tentu ia dapat memaknai. Menurut KBBI adil adalah sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak. Kata adil seharusnya tidak dapat dimaknai secara explicit ada artian yang jauh lebih mendalam dari itu, apabila kita ingin berusaha untuk memaknainya lebih lanjut.Â
Sejatinya manusia adalah mahluk individu yang unik, bahkan anak kembar sekalipun tidak akan mempunyai sifat dan karakter yang sama. Maka sesunguhnya setiap anak atau siswa harus memperoleh perlakuan yang berbeda dari gurunya. Mengapa? karena sejak dilahirkan setiap anak mempunyai perilaku, watak, karakter, bakat, minat, tingkat emosional, kecerdasan yang berbeda pula. Lalu bagaimana sebaiknya guru melaksanakan pembelajaran di kelasnya?Â
Menurut Howard Gardner (1985), bahwa hakekatnya setiap anak adalah anak yang cerdas. Kecerdasan tidak diukur dari kecerdasan intelektual saja (IQ), tetapi setiap anak mempunyai kecerdasan lainnya (Multiple Intelligences) seperti kecerdasan bahasa, kecerdasan logika, kecerdasan musik, kecerdasan kinestetik, kecerdasan visual-spasial, Â intrapersonal, interpersonal, naturalis, dan eksistensialisme. Semua kecerdasan tersebut bisa dikembangkan dengan metode penagajaran yang tepat. Banyak guru yang sudah mengetahui tentang teori ini tentunya, tetapi banyak juga yang memang sudah terlena di comfort zone nya untuk tetap menerapkan pengajaran minim inovasi dengan dukungan dari sistem yang ada.
Disinilah yang mungkin dapat kita renungkan lebih jauh. Apakah yang menjadi tujuan pendidikan sebenarnya? Secara umum, semua anak belajar hal yang sama, sedangkan pada akhirnya ia  mempunyai bakat dan minat yang berbeda serta akan menjalani kehidupan yang berbeda-beda juga nantinya. Katakan saja dari jenjang TK-SD-SMP sampai SMA kelas 10 sebelum mereka mendapatkan penjurusan, total 12 tahun dihabiskan untuk mendapatkan hal yang sama yang secara kasar bisa dibilang tidak penting. Ya, bagi kaum mampu tidak masalah untuk ini mereka bisa menerapkan sistem home schooling dengan memanggil guru yang berkualitas ke rumah.Â
Pertanyaan ini lebih ditunjukan kepada kalangan rakyat biasa. Anak-anak harus 'dipaksa' mengikuti pelajaran yang bukan menjadi minatnya sama sekali dan mungkin saja tidak ia butuhkan, test yang sama diberlakukan guna memuaskan sistem yang ada. Sebelum test anak-anak 'dipaksa' untuk belajar mati-matian agar mendapatkan nilai yang minimal harus sesuai dengan KKM. Setelah test, semua yang pernah dipelajari, dihapalkan  menguap tanpa jejak. Tidaklah heran apabila anak akan bangun jauh lebih pagi ketika liburan, tetapi akan sulit bangun ketika waktunya sekolah. Disini kita bisa ambil kesimpulan bahwa sekolah tidak menarik untuk mereka karena mereka diberikan pilihan yang minimalis. Waktu terbang melayang begitu saja, dimana seharusnya bisa dipergunakan dengan baik, diisi dengan pembelajaran yang memorable, sustainable, dan skillful tetapi harus menerima kenyataan bahwa anak berjalan membawa bekal kosong.Â
Miris! Ini terbukti dari banyaknya muda-mudi ketika mereka lulus, masih banyak pengangguran dan banyak dari mereka yang berkerja tidak sesuai dengan bidang yang dipelajarinya. Artinya apa? Pendidikan saat ini masih belum bisa menyediakan tenaga yang skillful sesuai dengan kebutuhan industri. Teknologi berkembang sedemikian pesatnya, anak-anak harus dipersiapkan untuk suatu pekerjaan atau usaha yang masih belum ada namanya, tetapi akan menjadi ironi tersendiri apabila kita para guru masih mengajarkan sesuatu berdasarkan tata cara pendidikan 20 tahun lalu  guna menyiapkan anak ke dunia 20 tahun yang akan datang....dan tidak akan heran apabila pendidikan Indonesia akan terus mendapatkan predikat terburuk berdasarkan survey PISA.Â
Hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang diterbitkan pada maret 2019 Indonesia dalam kategori kemampuan membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara. Hasil ini walaupun tidak bisa dijadikan patokan akan tetapi bisa menjadi suatu teguran kepada sistem yang ada, serta cambuk kepada para pelaku pendidikan. Dibutuhkan sinergi dari semua pihak untuk bangkit dari ketepurukan pendidikan dalam rangka membenahi pendidikan kita yang carut-marut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H