Coronavirus disease 2019 (Covid 19) telah membawa banyak perubahan dari berbagai macam aspek. Tak urung, krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap kelangsungan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Dampak dari sulitnya berusaha mengakibatkan banyaknya tenaga kerja yang terpaksa di rumahkan. Di saat masa pandemi terjadi perubahan pola konsumsi barang dan jasa masyarakat dari offline ke online. Pelaku UMKM pasti kesulitan dalam mencapai target-target yang harus dicapai saat perekonomian terganggu. Perubahan pola tersebut, diikuti pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) agar dapat bertahan agar berkembang sehingga mampu menghadapi kondisi new normal.
Adanya Pandemi Covid 19 di akhir tahun 2019 menjadi masalah dunia internasional termasuk di Indonesia. Pandemi Covid 19 memberikan implikasi ekonomi, sosial, dan politik hampir di seluruh negara, termasuk di Indonesia. Hampir semua pelaku UMKM (terutama pelaku usaha mikro) mengalami kendala dalam melaksanakan kewajibannya terhadap perbankan. Kemampuan bertahan UMKM yang melakukan penjualan online lebih kuat dibandingkan UMKM yang hanya melakukan penjualan offline.Â
Pasca endemi Coronavirus disease 2019 (Pandemi Covid 19) UMKM mulai bangkit perlahan. Para pelaku UMKM mulai beradaptasi dengan perkembangan pasar. Para Pelaku UMKM mulai concern pada tata Kelola dan tata cara penggunaan media sosial, seperti facebook, Instagram, marketplace, dan sejenisnya. Para pelaku UMKM saat ini sudah beradaptasi dengan eksositem digital, yang membawa pengaruh signifikan dalam income mereka.
Faktor digitalisasi menjadi isu utama yang harus disikapi oleh pelaku UMKM. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa selama masa pandemi jumlah transaksi e-commerce meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dibandingkan periode sebelumnya, yaitu dari 80 juta transaksi pada tahun 2019 ke 140 juta transaksi pada bulan Agustus 2022. Kondisi ini menunjukkan adaptasi ke transaksi e-commerce yang berbasis teknologi digital menjadi keharusan bagi pelaku UMKM seiring terbukanya peluang pasar yang sangat besar.
Namun hal ini tidak sejalan dengan sektor penerimaan pajak negara. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menyebut akibat rendahnya literasi dan pemahaman perhitungan perpajakan, kontribusi pelaku UMKM terhadap penerimaan pajak masih rendah. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan pada 2019, kontribusi PPh final UMKM sebesar Rp 7,5 triliun atau hanya sekitar 1,1 persen dari total penerimaan PPh secara keseluruhan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak (DJP) Neilmaldrin Noor mengatakan pihaknya berupaya melakukan berbagai strategi dan upaya untuk meningkatkan literasi pajak bagi UMKM. Adapun upaya tersebut dilakukan antara lain melalui kolaborasi dengan tax center yang ada di perguruan tinggi di Indonesia.
Melalui perubahan pasal 32A UU HPP, dimungkinkan penunjukan marketplace untuk memungut pajak atas transaksi yang dilakukan marketplace.
Pasal UMKM sejatinya adalah PPh pasal 4 ayat (2) yang praktiknya diatur lebih  lanjut melalui peraturan pemerintah nomor 23 tahun 2018. Berdasarkan peraturan tersebut, pengusaha dengan peredaran bruto tidak melebihi 4, 8 Milyar pertahun dikenakan tarif 0,5 persen.
Riset dari DDTC FRA juga menemukan akibat dari kurangnya literasi serta pengetahuan dari UMKM, sebanyak 61 persen pelaku UMKM belum memanfaatkan fasilitas PPh final sebesar 0,5 persen. Selain itu, masih banyak juga pelaku UMKM yang hanya mengetahui. Namun, belum memahami ketentuan yang melekat dengan kewajiban pajak serta terhambat oleh kompleksitas ketentuan pajak, terutama terkait penghitungan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengilustrasikan, warung kopi dengan penghasilan bruto hanya mencapai Rp35 juta per bulan atau Rp420 juta per tahun akan terbebas dari PPh final UMKM. Sedangkan warung kopi dengan penghasilan bruto mencapai Rp 100 juta per bulan atau Rp 1,2 miliar per tahun dikenakan pajak 0,5 persen. Rinciannya, PTKP pada 5 bulan pertama, dan PKP di bulan keenam hingga bulan ke-12.
Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak dan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif tersebut merupakan imbalan atau nilai pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha, sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
Sedangkan sesuai dengan Pasal 57 beleid ini, bagi UMKM dengan penghasilan bruto lebih dari Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar salam 1 tahun pajak, dikenakan tarif PPh Final 0,5%, selama tidak dikenai PPh berdasarkan tarif Pasal 17 ayat (1( huruf a UU PPh untuk WP Orang Pribadi, atau tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b UU PPh dengan Pasal 31E untuk WP Badan. Â
Sebagian besar pemilik UMKM kurang menguasai pengetahuan akan perpajakan yang cukup dan mereka beranggapan pemilik online shop masih banyak dalam tahap percobaan dalam melakukan bisnis di dunia E-Commerce sehingga merasa belum berkewajiban membayar pajak. Beberapa pelaku UMKM tidak ingin bayar pajak dan memandang besarnya omset lantaran membayar pajak menjadi sesuatu yang merugikan bisnis mereka.
Oleh karena itu dibutuhkan sosialiasi perpajakan dan pendampingan edukasi bagi UMKM. Dengan mengikuti sosialisasi perpajakan semacam penyuluhan pajak dan seminar, wajib pajak akan bertambah kepatuhannya. Pendampingan edukasi bisa memotivasi, menambah pengetahuan dan wawasan wajib pajak untuk mematuhi kewajiban perpajakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H