Mohon tunggu...
Yeni Yuliati
Yeni Yuliati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Buruh tulis mahasiswa rakyat miskin kota

Menulis untuk dibaca, setidaknya saya.

Selanjutnya

Tutup

Gadget

Pengaruh Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap Perubahan Kelembagaan Sosial Pertanian di Indonesia

24 Februari 2022   23:23 Diperbarui: 24 Februari 2022   23:33 1616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tempus mutantur, et nos mutamur in illis 

Waktu berubah dan kita ikut berubah juga di dalamnya. Itulah pepatah Latin yang menunjukkan bahwa seiring perkembangan zaman orang- orang dengan alam pikir, rasa, karsa, cipta, kebutuhan, dan tantangan akan mengalami perubahan. Termasuk juga segala perubahan yang terjadi pada lembaga masyarakat yang kemudian dapat mempengaruhi suatu sistem sosial. 

Menurut Bapak Sosiologi Indonesia, Selo Soemardjan, perubahan sosial merujuk pada perubahan lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang berpengaruh pada sistem sosialnya. Perubahan ini mencakup nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku. Perubahan merupakan hal wajar dan memang harus terjadi pada setiap kelompok masyarakat yang berisikan kumpulan individu dan hidup bersama dalam suatu wilayah. Sebagai suatu kumpulan individu yang berbeda-beda sifat dan kemampuannya, perubahan pada masyarakat ada yang berlangsung lambat (evolusi) ada juga yang berlangsung sangat cepat (revolusi). Maka dari itu, tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya. Lebih lanjut, perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti dengan perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya karena proses yang terjadi merupakan suatu mata rantai yang saling terhubung dan berikatan.

Lembaga dan pranata sosial adalah himpunan norma-norma dari segala tingkat yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat (Soekanto, 1982).  Lembaga sosial dan pranata sosial dapat diartikan sebagai wadah dan isi suatu sistem sosial. Kelembagaan sosial dibentuk oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang mencakup keseluruhan unsur-unsur sosial dalam kehidupan kelompok, sistem norma dan nilai, sarana dan prasarana, serta aktivitas-aktivitas dalam pemenuhan kebutuhan hidup bersama. Kelembagaan sosial akan hidup selama dibutuhkan oleh masyarakat. Begitu juga dengan masyarakat tani, yang juga membutuhkan suatu sistem kelembagaan sosial sebagai wadah proses pembelajaran, wahana kerja sama, unit penyedia sarana dan prasarana produksi, unit produksi, unit pengolahan dan pemasaran, serta unit jasa penunjang. Dalam kehidupan masyarakat tani, kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam suatu komunitas. Kelembagaan pertanian juga sangat strategis dalam menggerakkan sistem agribisnis di pedesaan.

Di Indonesia, kelembagaan sosial petani sudah mulai dikenal sejak zaman kolonialisme Hindia-Belanda bersamaan dengan diterapkannya sistem tanam paksa, pajak tanah, dan lain-lain. Kemudian pasca kemerdekaan kelembagaan sosial petani di Indonesia sangat menonjol dalam program intensifikasi dan peningkatan produksi pangan. Kegiatan pembangunan pertanian dituangkan dalam bentuk program dan proyek dengan membangun kelembagaan koersif seperti Padi Sentra, Demonstrasi Massal (Demas), Bimbingan Massal (Bimas), Bimas Gotong Royong, Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Koperasi Unit Desa (KUD), Insus, dan Supra Insus. Dari banyaknya program pembangunan pertanian tersebut, kelembagaan sosial petani terlihat sangat kuat dengan adanya koperasi. Pada saat orde baru, keberadaan koperasi dilembagakan melalui Badan Usaha Unit Desa (BUUD) yang kemudian berubah menjadi Koperasi Unit Desa (KUD) (Nasrul, 2012). Keberadaan KUD tersebut diatur melalui Instruksi Presiden No. 4 tahun 1973, Inpres No. 2/1978 dan Instruksi Presiden No. 4 tahun 1984.

Pada era tersebut, KUD menjadi satu-satunya kelembagaan sosial sekaligus ekonomi di lingkungan petani desa. Hampir seluruh kegiatan petani mulai dari penyediaan bibit, pupuk, pemasaran, pinjaman modal semuanya melalui KUD. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan domestik keluarga seperti pembayaran listrik, air, dan sembako pun juga melalui KUD. Salah satu bukti kesuksesannya yaitu KUD Bhumikarta di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta yang memiliki pelanggan mencapai 13.000 nama. Setelah mengalami masa kejayaan pada tahun 80-an hingga pertengahan tahun 90-an marwah kelembagaan KUD tersebut mulai memudar. Kejayaan yang diraih seakan runtuh setelah krisis ekonomi dan reformasi pada tahun 1998. Daya beli masyarakat menurun, usaha bangkrut sehingga berdampak buruk pada operasional KUD. Satu per satu bidang usaha KUD pun mulai berguguran sampai saat ini tinggal tersisa pelayanan jasa pembayaran listrik saja. Kemunduran fungsi kelembagaan KUD tersebut semakin nyata terlihat ketika perannya tergantikan oleh  kehadiran toko waralaba modern dan transaksi pembayaran secara online. Dengan basis sistem teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang lebih cepat, akurat, dan mudah dijangkau menjadikan masyarakat lambat laun mulai meninggalkan kelembagaan KUD. Tidak hanya tergantikan oleh waralaba dan transaksi online saja, kelembagaan sosial pertanian juga terdisrupsi oleh modernisasi berbasis TIK yang hadir lebih dahulu seperti jaringan komunikasi televisi, radio, dan program cyber extension yang dicanangkan oleh pemerintah.

Studi kasus di Provinsi Jawa Barat menunjukkan bahwa pada umumnya petani mengembangkan diri dalam kelompok tani (Poktan) dan atau gabungan kelompok tani (Gapoktan). Kelembagaan lainnya seperti koperasi petani tidak berkembang di kalangan petani. Demikian halnya dengan nelayan, lebih banyak mengembangkan diri pada kelompok-kelompok nelayan baik yang bersifat tradisional dan non-formal maupun kelembagaan nelayan yang bersifat formal dan berskala nasional. Dalam kasus pemberdayaan pemanfaatan TIK bagi petani dan nelayan maka kelembagaan tersebut dapat menjadi jembatan penghubung dalam memberdayakan petani dan nelayan agar lebih maksimal memanfaatkan TIK guna kepentingan pengembangan usahanya.

Sementara itu, pada tahun 2014 pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi meluncurkan program pemanfaatan TIK dalam memberdayakan kelompok nelayan pengolah dan pemasar hasil perikanan. Program tersebut dilakukan melalui dua kegiatan yakni: (i) kegiatan hibah seperangkat teknologi informasi berupa laptop dan perangkat modem. Perangkat tersebut diharapkan dapat digunakan oleh kelompok nelayan pengolah dan pemasar hasil perikanan di Kabupaten Sukabumi untuk mencari informasi-informasi penting tentang teknik pengolahan hasil perikanan, teknik pengemasan, teknik, pemasaran, pengecekan harga produk, serta mencari informasi pasar dari produk-produk olahan yang dihasilkan; (ii) kegiatan berikutnya adalah melakukan pelatihan dan praktek lapangan bagi nelayan terkait teknik pemanfaatan teknologi informasi yang akan digunakan. Meskipun masih berupa program baru dan belum dievaluasi oleh pihak dinas, namun program di atas sangat bermanfaat bagi kelompok nelayan dalam mengatasi kesenjangan informasi pasar.

Model pemanfaatan aplikasi TIK lainnya yang turut mendukung pembangunan pertanian dan perikanan adalah aplikasi TIK yang mendorong terjadinya knowledge sharing untuk meningkatkan fungsi sistem pengetahuan dan informasi pertanian. Dengan demikian, aplikasi TIK tersebut dapat berperan dalam membantu petani dan nelayan dengan melibatkannya secara langsung pada sejumlah kesempatan besar, sehingga mampu memilih kesempatan yang sesuai dengan situasi dan kondisi faktual di lapangan. Peningkatan efektivitas jejaring pertukaran informasi antar pelaku agribisnis terkait merupakan aspek penting untuk mewujudkan sistem pengetahuan dan informasi pertanian dan perikanan. Dengan dukungan TIK serta peran aktif berbagai kelembagaan pengetahuan terkait pertanian dan kelembagaan-kelembagaan pendukung lainnya yang berpotensi untuk bersinergi, upaya untuk mewujudkan jaringan informasi bidang pertanian dan perikanan sampai di tingkat kelompok petani dan nelayan dapat diwujudkan.

Pada prosesnya, knowledge sharing inovasi pertanian sangat bergantung pada peran aktif dari berbagai institusi yang memiliki fungsi menghasilkan inovasi pertanian dan perikanan maupun yang memiliki fungsi untuk memproses dan mengkomunikasikan inovasi pertanian dan perikanan. Perlu adanya capacity building di tingkat lokal yang dapat dijadikan sebagai  penggerak dalam proses pengembangan pemanfaatan TIK. Dalam hal ini capacity building sebagai suatu proses yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang, suatu organisasi atau suatu sistem untuk mencapai tujuan-tujuan yang dicita-citakan (Brown, 2001). Beberapa stakeholder yang perlu memiliki capacity building diantaranya yaitu, aparat desa agar mampu mendorong akses pemanfaatan TIK bagi pengembangan usaha; capacity building untuk pelopor atau relawan TIK agar menjadi agen pemberdayaan pemanfaatan TIK bagi komunitas petani dan nelayan; serta capacity building untuk perguruan tinggi guna membantu melakukan pendampingan baik perencanaan program maupun implementasi program di daerah.

Saat ini, kelembagaan sosial pertanian di Indonesia telah berubah menuju kelembagaan yang berorientasikan teknologi. Ikhtiar pemberdayaan kelembagaan petani memerlukan reorientasi pemahaman dan tindakan bagi para fasilitator selaku agen perubahan dalam pelaksanaan program pembangunan pertanian. Keterlibatan fasilitator pembangunan dengan kemampuan komunikasi yang sepadan merupakan salah satu kunci keberhasilan proses diseminasi dan alih teknologi pertanian. Proses diseminasi teknologi akan berjalan lebih mulus bila disertai dengan pemahaman dan pemanfaatan potensi elemen-elemen kelembagaan dan status petani dalam suatu proses alih teknologi atau diseminasi teknologi baru. Seringkali dalam introduksi gagasan, teknologi atau kelembagaan baru merupakan hasil dari pendekatan yang kaku dan terburu-buru sebagai akibat pola pendekatan top-down yang kurang didasarkan pada pertimbangan yang berakar pada kebutuhan masyarakat lokal. Introduksi gagasan, teknologi atau kelembagaan introduksi umumnya menerapkan strategi pengelompokan petani dalam suatu wadah bersama seperti kelompok tani, gabungan kelompok tani atau koperasi. Cara yang seperti itulah yang membuat eksistensi dan peran kelembagaan petani yang tengah berjalan terabaikan. Sebagai evaluasi, pendekatan yang diterapkan seyogyanya mempertimbangkan dan mengkaji fakta bahwa suatu norma sosial atau kelembagaan masyarakat umumnya mencerminkan dan bermula dari dinamika masyarakat dan kelembagaan lokal yang beroperasi dalam komunitas mereka  (Suradisastra, 2008).

REFERENSI

Kementerian Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia. 2015. Pemanfaatan dan Pemberdayaan Teknologi Informasi dan Komunikasi Pada Petani dan Nelayan (Survey Rumah Tanggan dan Best Practices). Pusat Penelitian dan Pengembangan Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Komunikasi dan Informatika. Jakarta.


Nasrul, W. 2012. Pengembangan Kelembagaan Pertanian Untuk Peningkatan Kapasitas Petani Terhadap Pembangunan Pertanian. Jurnal Menara Ilmu 3(29): 166-174.


Soekanto, Surjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Rajawali Press. Jakarta.


Suradisastra, K. 2008. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Petani. Forum Penelitian Agro Ekonomi 26(2): 82-91.


Yuwono, Markus. 2017. Cerita Koperasi Unit Desa yang Tergusur Toko Modern dan "Online". https://regional.kompas.com/read/2017/10/17/11571271/cerita-koperasi-unit-desa-yang-tergusur-toko-modern-dan-online?page=all


Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun