Selanjutnya, Pasal 2 ayat (2) mengatur: "Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Pasal ini menegaskan pentingnya kesesuaian antara perkawinan dengan hukum agama atau kepercayaan yang dianut oleh pasangan. Dengan demikian, negara Indonesia yang pluralis menyerahkan otoritas pengesahan perkawinan kepada agama, yang secara eksplisit menunjukkan peran besar agama dalam kehidupan hukum di Indonesia. Sah tidaknya sebuah perkawinan pertama kali ditentukan oleh norma-norma agama, dan negara tidak dapat mengesahkan perkawinan yang bertentangan dengan prinsip agama.
3.Syarat Materiil dan Formil Perkawinan
Selain sah menurut hukum agama, Undang-Undang Perkawinan juga mengatur syarat-syarat materiil dan formil perkawinan. Syarat materiil berkaitan dengan persyaratan pribadi yang harus dipenuhi oleh calon suami dan istri sebelum mereka dapat menikah. Beberapa syarat materiil yang diatur dalam Pasal 6-9 meliputi:
i.Persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat 1). Perkawinan hanya dapat dilangsungkan atas dasar persetujuan kedua calon mempelai.
ii.Batas usia. Pasal 7 ayat (1) menetapkan bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Namun, dalam perkembangan terakhir, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 mengubah batas minimal usia menikah bagi perempuan menjadi 19 tahun, sama dengan pria.
iii.Persetujuan orang tua atau wali untuk calon mempelai yang belum mencapai usia 21 tahun (Pasal 6 ayat 2).
Syarat formil perkawinan meliputi aspek administratif yang harus dipenuhi untuk mencatatkan perkawinan di kantor catatan sipil atau KUA. Tanpa pencatatan ini, meskipun perkawinan sah secara agama, status perkawinan tidak diakui oleh negara, yang dapat menimbulkan masalah dalam hal administrasi kependudukan dan hak-hak perdata.
4.Argumentasi apat Pro Terhadap Hukum Tentang Sahnya Perkawinan Menurut Undang -- Undang Perkawinan.
Menurut tim pro dalam pasal 2 ayat (1), dan Pasal 2 ayat (2), aturan ini sangat relevan karena menghargai keberagaman dan kebebasan beragama di Indonesia. Dengan memberikan otoritas kepada agama untuk mengesahkan perkawinan, negara memfasilitasi keberadaan pluralitas dalam masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan beragama, serta menciptakan perlindungan bagi individu untuk menjalankan keyakinan agamanya, termasuk dalam memilih pasangan hidup. Selain itu, dengan meletakkan keabsahan pada hukum agama, negara turut menghormati hak asasi manusia, khususnya hak individu untuk menjalankan keyakinan agamanya dalam institusi pernikahan. Peraturan ini juga menghindari konflik antara aturan negara dan ajaran agama, yang dapat merugikan pasangan. Pencatatan ini bukan hanya formalitas, tetapi merupakan syarat administratif yang penting untuk mengakui perkawinan secara sah di mata negara. Pencatatan perkawinan memastikan bahwa negara memberikan pengakuan resmi terhadap status hukum suami istri dan melindungi hak-hak mereka dalam berbagai aspek, termasuk hak waris, hak atas harta bersama, serta perlindungan hukum bagi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut.
Menurut tim pro, ada beberapa hal pentingnya jika syarat sahnya suatu perkawinan dilakukan menurut Undang -- Undang Perkawinan, yaitu :