Mohon tunggu...
Yeni Rostikawati
Yeni Rostikawati Mohon Tunggu... -

pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Maaf

9 November 2014   04:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:16 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jalan takdir selalu tak terduga dan tak disangka-sangka. Seperti halnya peristiwa yang aku alami sepuluh tahun yang lalu.

Pagi, kulewati jalan yang biasanya sepi karena jarang orang beraktivitas sepagi ini. Kecuali orang-orang yang bernasib sama denganku. Nasib orang-orang yang perlu mengeluarkan tenaga lebih demi mendapatkan sesuap nasi. Aku gadis yang sepantasnya masih bersekolah di kelas tiga SMA, namun kenyataannya lain, aku sekarang sudah bekerja di sebuah salon kecantikan dan melayani tuan, nyonya, ataupun nona yang ingin memanjakan tubuhnya. Sesekali waktu aku merancangkan sketsa baju pesanan rekan-rekan kerjaku di salon, semenjak aku selalu menjahit baju hasil rancanganku sendiri dan menurut mereka bagus.

Sepanjang jalan selalu ada hal yang kupikirkan dan kuimpikan, misal impian klise yaitu bertemu pangeran tampan yang mampu mengubah hidupku menjadi lebih bahagia. Tanpa sadar, aku melewati sepasang kekasih yang sedang asyik berfoto dan aku terperangah saat sebuah kilatan cahaya membidik wajahku. Cahaya itu berasal dari kamera milik sang fotografer. Aku malu, dia hanya tersenyum penuh maklum.

Ya, ternyata lensa kamera itu menjadi awal sebuah cerita tentang takdirku.

Sejak saat itu, sejak wajahku tertangkap lensa kameramu, kau tersenyum hingga aku berlalu. Wajahku terperangkap kamera dan hatiku bisa semudah itu terperangkap olehmu. Aku menepisnya. Selalu kutanamkan dalam benakku “siapa dia? berani-beraninya mencuri perhatianku yang harusnya kucurahkan pada pekerjaan”. Namun, ternyata jejaknya begitu kuat. Aku terkesan hingga selalu berharap ada perjumpaan yang akan datang.

Senja ini begitu sepi, pengunjungpun hanya datang sesekali. Wajahku terpampang depan kaca, sambil menerka-nerka wajah ayah yang sejak usiaku 3 tahun dia telah meninggalkanku dan ibu untuk selamanya. Namun, sesaat tertegun melihat sosok bayangan di kaca, dia tepat di belakangku tapi tanpa menyadari keberadaanku. Aku gugup. Segera aku ke belakang mengambil peralatan creambath. Pelan-pelan kusiramkan air ke kepalanya, sambil mendengarkan musik dia terpejam dan masih tak menyadari keberadaanku, atau mungkin dia sudah melupakan wajahku? Aku semakin gugup, tanganku gemetar walau kucoba untuk mengendalikannya.

“aw!”, dia berteriak dan aku sontak kaget karena busa di tanganku mengenai matanya. Dia terperanjat dan berbalik menghadap. Aku minta maaf. Dugaanku, dia akan marah dan memakiku, ternyata tidak. Raut mukanya menerka-nerka dan seperti mengingat-ingat wajahku.

“ah, kamu yang waktu itu gak sengaja saya foto kan?” tanya dia.

Kubalas pertanyaannya dengan anggukan. Akhirnya, kami terhanyut dalam perbincangan hangat.

Takdir... itulah yang selalu kuyakini. Takdir yang membawamu masuk dalam kehidupanku. Setiap waktu yang kulewati tak lagi kosong, tiap langkah kakiku terasa penuh energi. Entah energi apa? yang pasti saat ini aku bahagia saat dekat denganmu. Kebahagiaan yang selalu aku bayangkan saat aku dapat menatap wajah ayah yang selama ini hanya bisa kupandangi di selembar foto. Mungkinkah dia menjadi pelarian kerinduanku pada sosok ayah? Entahlah...

Tiap hari selalu saja ada waktu untuk kami bercengkrama, berfoto, atau sekedar makan bersama. Kami akrab dan akumengaguminya, tapi tak pernah sekalipun terucap dari mulutnya rayuan-rayuan, bahkan kata-kata cinta pun tak pernah dia ucapkan. Ada pertanyaan sebenarnya dalam kepalaku tentang sikap dia yang perhatian tapi aku tak tahu bagaimana dia menganggapku.

Sudahlah... aku selalu menepis perasaan yang terlalu berkepanjangan, aku tak mau dilemahkan oleh perasaan-perasaan semacam itu. Saat ini aku berteman baik dengannya dan aku bahagia, itu cukup rasanya.

Pagi ini aku libur kerja, aku pikir ada baiknya kalau pagi ini berkunjung ke studio foto miliknya. Tepat di depan pintu studio, kuketuk-ketuk pintu tak ada yang menyahut, tapi pintu terbuka sedikit dan aku masuk saja. Aku pikir dia sedang keluar sebentar atau sedang di kamar kecil. Pertama kali masuk, pandanganku tertuju pada meja kerja dan seperangkat pernak-perniknya, cukup rapi untuk ukuran meja kerja laki-laki. Ruangan yang tak terlalu luas itu ternyata memiliki ruang belakang, aku masuk ke belakang dan disana berserakan foto-foto dalam proses pencetakan. Diantara deretan foto itu ternyata wajahku paling banyak terpampang, aku tersipu-sipu sendiri melihat ekspresi wajahku dalam foto-foto itu dan banyak ekspresi yang tak kusadari. Terlintas kembali dalam benakku, apa maksud kamu mengambil ekspresi wajahku sebanyak itu?

Perhatianku teralihkan pada fotonya, aku ambil foto itu tanpa sepengetahuannya, mumpung dia gak ada, pikirku. Kucari-cari gunting untuk memotong foto itu supaya dapat kumasukkan ke dompet. Ternyata gunting ada di atas lemari. Lemari itu terlalu tinggi untukku hingga kakiku berjinjit, dan akhirnya gunting dapat kuraih. Namun, tak kusangka berawal dari sebuah gunting... takdirku berputar kembali, takdir yang membawaku pada kepedihan, sebotol cairan kimia tersenggol tanganku saat mengambil gunting di atas lemari dan tumpah ke muka. Saat itu pandanganku gelap seketika, perih tak terkira. Sesaat setelah itu, hanya dapat kudengar suaramu yang memanggil-manggilku hingga sedikit demi sedikit suarapun hilang. Gelap dan sunyi.

Pertama kali kudengar hanya suara tik tok jam dinding, penglihatanku masih gelap. Suara pintu terbuka, aku berharap ada suara seseorang yang aku nantikan disaat seperti ini.

“Nona, sudah baikan?”

Ternyata yang membuka pintu, dokter.

“hari ini siap-siap dibuka perbannya ya, Nona. Selalu gembira dan optimis hasil operasinya berhasil.”

Aku hanya menjawab dengan senyuman, senyuman yang mungkin tak ada pancaran kegembiraan atau keoptimisan. Perasaan gembira dan optimisku direnggut olehnya yang tak kunjung datang. Aku membencinya.

Perlahan-lahan dokter dan suster membuka perban yang membalut mataku, aku gugup saat itu. Gugup membayangkan dan menerka-nerka saat kubuka mata ternyata dia tersenyum di hadapanku. Perlahan mataku terbuka, remang-remang. Ada sosok pria dan beberapa orang lainnya di hadapanku, membawa kue berhiaskan coklat dan lilin. Aku terburu-buru ingin memastikan, sosok siapa dia? Perlahan semakin jelas, dia ternyata sahabat terbaikku di tempat kerja, bersama tiga rekanku yang lain. Aku terharu dan meneteskan air mata. Namun, dibalik tetesan air mata itu ada perasaan kuat yang kusembunyikan, bahwa aku semakin membencinya.

Setahun kini aku menjalani takdir baruku lagi sebagai seorang perancang busana muslimah. Ya, semenjak aku mengalami kecelakaan ditambah kebencian pada seseorang yang hingga kini tak pernah muncul kembali di hadapanku, aku memutuskan untuk menjadi seorang muslimah seutuhnya, kuikatkan kembali keyakinanku pada Sang Pencipta. Aku tak mau terlarut dalam kebencian dan air mata.Aku pun memutuskan untuk memakai pakaian ketaatan sebagai seorang muslimah, berjilbab. Namaku semakin melambung setelah foto hasil rancangan busanaku dimuat disebuah majalah terkenal dan ada seorang perancang busana kondang yang mengajakku bekerjasama.

Kebahagiaan mungkin bisa disebut menghampiriku kembali, walau masih terselip perasaan sesak dan perih saat aku berkaca dan memandangi mataku yang selalu mengingatkanku padanya. Mata yang kupandang di depan kaca, tajam tapi menenangkan, persis seperti pandanganmu. Lalu, pikiranku kembali terusik, mengapa kau meninggalkanku? Sebuah pertanyaan yang tak pernah sanggup kutemukan jawabannya. Jawaban yang menghilang bersamamu.

Minggu pagi, suasana hiruk pikuk kota membuatku penat. Aku berangkat menuju sebuah desa pinggiran kota yang jaraknya kurang lebih 100 km dari kota. Desa itu cukup damai dan nyaman sebagai pelarian dari kepenatan. Dulu, dia selalu menceritakan kondisi desa ini sebagai referensi bagus untuk jadi objek bidikan kamera kesayangannya. Sudahlah... cukup! Rasanya akhir-akhir ini aku terlalu cengeng dan selalu mengait-ngaitkan segala hal dengannya.

Sampai di sebuah bukit rumput, angin lembut kubiarkan menerpa tubuh, mengibas-ngibaskan ujung rokku.

Aku tertegun.

Seolah-olah waktu terhenti sejenak, ada seorang lelaki berpakaian hitam di depanku, sedang asyik duduk santai sambil sesekali memain-mainkan selembar kertas di tangannya. Angin tiba-tiba melepaskan kertas itu dari genggamannya, dia terlihat tak berusaha mencari kertas tersebut. Aku penasaran, aku mengenal bahunya yang lebar. Aku melangkah perlahan menghampirinya, kuambil kertas yang diterbangkan angin tanpa berkata-kata. Disana jelas terpampang wajahku. Kertas itu ternyata selembar foto, objek dalam foto itu aku. Kualihkan pandangan padanya, dan kulihat dalam-dalam wajah itu, wajah yang masih menyimpan kehangatan yang selama ini kurindukan. Matanya tertutup kacamata hitam, dan itu jelas menandakan dia tak dapat melihatku. Aku ingin marah, ingin memakinya, ingin menangis, ingin berteriak, ingin.... semuanya tercekat di kerongkongan, bisu! Hanya sanggup kuulurkan tanganku menyerahkan selembar foto itu padanya tanpa berkata-kata.

“terima kasih.” Ucapnya sambil melempar senyum datar lalu berlalu.

Aku mematung, jantungku terasa ditusuk oleh kata “terima kasih” tulus yang ia ucapkan.

Terima kasih karena kau tak tahu malu, terima kasih karena kau telah membenciku yang rela mendonorkan mataku demi kau bahagia dan kembali memandang dunia.

Pikiranku sendiri meracau mendakwaku.

“maaf...,” suaraku lirih.

Air hangat meleleh di pipiku, mengantarkan langkah-langkah kakinya yang perlahan membawanya pergi menjauh dari pandanganku... dan hilang.

(November 2014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun