Bahasa merupakan kapasitas khusus yang ada pada manusia untuk memperoleh dan menggunakan sistem komunikasi yang kompleks, dan sebuah bahasa adalah contoh spesifik dari sistem tersebut. Dalam Chaer (2010: 14) bahasa didefinisikan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan manusia sebagai alat komunikasi atau alat interaksi sosial. Jika dalam pernyataan Chaer bahasa digunakan sebagai alat kmunikasi atau alat interaksi sosial, maka kedudukan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki kedudukan yang sangat vital.
Kehidupan senantiasa bergerak dan terus-menerus terjadi interaksi antarindividu sehingga dari waktu ke waktu senantiasa mengalami perubahan dalam kehidupan. contoh, saya akan menyoroti lingkup yang terdekat yaitu pasar. Dalam pasar pasti terjadi interaksi antara penjual dan pembeli, terjadi tawar-menawar hingga akhirnya ada proses jual-beli. Semakin lama barang-barang di pasar semakin habis karena proses interaksi jual-beli berlangsung lancar. Dalam proses jual beli tersebut tentunya tidak dapat dipisahkan dari komunikasi, dan proses komunikasi menggunakan bahasa. Dapat dibayangkan, jika dalam proses jual-beli tidak ada komunikasi, apa yang terjadi?
Mengingat sangat berpengaruhnya bahasa dalam kehidupan, maka cara penggunaan berbahasa pun seyogyanya menjadi perhatian penting. Penggunaan bahasa yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi akan menciptakan interaksi sosial yang kondusif, menurut saya. Jika seperti itu, apakah penting adanya pengajaran bahasa? Pada dasarnya, setiap manusia memiliki kemampuan berbahasa semenjak dilahirkan. Namun, mampu berbahasa bukan berarti mahir berbahasa, karena tingkat mahir sudah berhubungan dengan penggunaan bahasa secara proporsional dan “elegan”. Oleh karena itu, sangat penting adanya pengajaran serius bahasa dalam dunia pendidikan formal. Saya katakan “pengajaran serius” karena selama ini yang saya lihat dan rasakan, pengajaran bahasa selalu dipandang sebelah mata, apalagi bahasa Indonesia. Berikut adalah alasan sederhana tentang pentingnya berbahasa, namun seringnya luput dari perhatian.
Ilmu ditransfer melalui bahasa. Ilmu sehebat apapun, jika tidak ada bahasa sebagai pengantar untuk menyampaikan ilmu tersebut, maka tidak akan pernah menjadi hebat karena informasinya tidak akan sampai pada akal manusia. Sedangkan akal hanya mampu menerima informasi dari apa yang dilihat dan didengar melalui bahasa tulis dan lisan.
Ilmu disimpan dengan bahasa. Buku-buku mengandung ilmu dan ilmu-ilmu tersebut tersembunyi di balik lambang-lambang bahasa berupa tulisan.
Ilmu diolah dengan bahasa. Serumit apapun ilmu jika disampaikan dengan bahasa yang baik maka akan mudah dipahami.
Dunia digerakkan bahasa. Para proklamator, pemimpin, ustad, guru, dan lainnya, dapat menggerakkan massa, membakar semangat, menggugah nurani hingga melahirkan pergerakan dan revolusi, menggunakan bahasa.
Sekarang adalah zamannya bahasa. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa ketika masa nabi Musa, Allah menganugerahkan mu’jizatberupa tongkat yang bisa mengalahkan semua magic; diberikan pula mu’jizat pada nabi Sulaimanmengendalikan jin, binatang dan lainnya untuk mengalahkan magic; zaman nabi Isa zaman pengobatan, diberikan pula mu’jizatpengobatan yang paling canggih; pada zaman ini, zaman nabi terakhir Muhammad saw diberikan mu’jizat bahasayaitu Al-Qur’an.
Bahasa mampu menafsirkan ide-ide brilian, melalui bahasa pula manusia dapat melatih berpikir kritis. Berpikir kritis diawali dengan membaca (bahasa tulis) kemudian menuliskannya sehingga muncul karya tulis yang nantinya karya tulis kita akan melahirkan pemikiran baru pula bagi pembacanya, begitu seterusnya. Seperti yang diungkapkan Alwasilah () dalam salah satu judul esai yang berjudul “Language Education Builds Critical Thinking” (Pendidikan bahasa Membangun Pemikiran Kritis).
Jika pendidikan bahasa memiliki tujuan utama yaitu untuk membangun pemikiran kritis, maka harus ada yang dibenahi mengenai orientasi belajar bahasa itu sendiri. Orientasi belajar bahasa harus melahirkan generasi yang literat, generasi yang mampu menggunakan bahasa santun sesuai konteks kebahasaan. Banyak saya temukan di dunia pendidikan, pengajaran bahasa hanya berorientasi pada penguasaan teori, sehingga pengajaran bahasa akan terasa sangat menjenuhkan, imbasnya kurang diminati. Jika diminati saja sudah susah, bagaimana akan melahirkan generasi yang mampu berpikir kritis?
Ada pula alasan klise yang menyatakan bahwa belajar bahasa, khususnya bahasa Indonesia, tidak terlalu penting karena tidak dipelajari pun mampu berbahasa Indonesia. Mungkin memang ada benarnya pernyataan tersebut jika ditinjau dengan perspektif yang dangkal, namun jika berhubungan dengan kecerdasan, kesantunan, atau penguasaan retorika bahasa, tentunya harus melalui pengajaran. Akan sangat berbeda kemampuan bahasa orang yang hidup sehari-harinya di terminal tanpa mengenyam pendidikan dengan orang yang lingkungan kehidupannya kondusif ditambah berpendidikan. Secara umum, kedua orang tersebut mampu berbahasa, namun tingkat kesantunan, kecerdasan, dan retorika bahasanya akan jauh berbeda.
Alasan klise tersebut diperkuat dengan sifat suka meremehkan mutu, seperti yang diungkapkan Chaer (2010: 8) bahwa sifat ini tampak pada perilaku berbahasa yang “pokoknya mengerti”. Sikap ini menyebabkan bahasa yang digunakan menjadi asal saja. Mereka tidak mempedulikan bahasa Indonesia yang digunakan itu benar atau salah. Sifat seperti ini pula yang akan menghentikan kemauan untuk mencari ilmu lebih banyak atau belajar berbahasa lebih giat, tidak bersemangat untuk melahirkan pemikiran-pemikiran kritis atau ide-ide brilian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H