Mohon tunggu...
Yeni Rostikawati
Yeni Rostikawati Mohon Tunggu... -

pengajar bahasa dan sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dua Luka

23 Desember 2014   04:26 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:40 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jalanan Jakarta semakin hari semakin sesak oleh kendaraan dan orang. Sepertinya Jakarta dipandang sebagai ladang untuk menghasilkan uang oleh orang-orang yang setiap tahunnya sengaja datang dari kampung untuk mengadu nasib di Jakarta.

Rasanya tak sedikit pun tersisa lahan kosong di Jakarta, kecuali milik orang-orang berduit, dan itu juga hasil penggusuran pemukiman masyarakat kumuh. Ujung-ujungnya tanah itu dipake untuk memperkaya diri. Semakin hari rasanya hidup ini semakin tak adil, orang-orang kaya semakin berjaya sedangkan orang-orang kecil semakin sengsara. Hal ini pula yang saya lihat dan rasakan sampai saat ini.

Saat ini saya sendiri masih berstatus sebagai pengangguran, sudah setahun saya lulus dari salah satu universitas negeri di Jakarta. Saya bisa kuliah bukan berarti keluarga saya orang mampu, tapi terdorong oleh rasa ingin memperbaiki perekonomian keluarga saya yang jauh dari kecukupan, dan ini semua saya yakini sebagai anugerah Tuhan bagi saya. Sejak masuk SMA, orang tua saya tidak pernah membiayai saya malah mereka menyuruh saya untuk bekerja saja. Namun, keinginan keras saya mengalahkan semua kesulitan yang dihadapi, dan akhirnya saya dapat bantuan beasiswa prestasi di sekolah sampai akhirnya saya melanjutkan kuliah. Selain itu, yang lebih membuat saya bahagia adalah bisa membawa kedua orang tua pindah dari pemukiman kumuh di kolong jembatan ke tempat yang jauh lebih layak walaupun masih tetap dikategorikan sebagai pemukiman kumuh, tapi lingkungannya sedikit lebih nyaman dibandingkan yang dulu.

Hari ini sudah seharian saya keluar masuk perusahaan untuk melamar pekerjaan, setiap hari saya mengumpulkan koran bekas mencari lowongan kerja, tapi sampai saat ini hasilnya nihil. Saya melirik jam kulit tua di tangan, menunjukkan pukul satu siang.

“Pantas saja...” gumamku sambil mengipas-ngipas lembar surat lamaran ke muka karena kegerahan. Di depan kulihat ada penjual minuman, segera saya menghampirinya, rasanya tenggorokan ini sudah melilit minta disiram air.

“Pak, aqua dinginnya satu!”, pintaku sama penjual yang sudah renta tapi kelihatan masih semangat itu. Air dingin itu segera kuminum, terasa nyaman mengalir ke tenggorokan yang kering. Air dalam kemasan gelas itu dalam sekejap habis. Sambil terus mengipas-ngipasi tubuh dengan surat lamaran kerja, tiba-tiba terkenang masa-masa dahulu ketika saya masih duduk di bangku SMA. Dulu, karena uang beasiswa saya hanya cukup membiayai sekolah, maka saya bekerja sampingan membantu orang tua mencari sepeser uang untuk biaya hidup. Bapak saya bekerja sebagai pemulung, ibu bekerja sebagaitukang cuci, namun karena sering sakit-sakitan akhirnya hanya mengasuh kedua adik saya yang masih kecil, sekarang mereka ikut sekolah gratis yang diselenggarakan oleh salah satu lembaga sosial. Sedangkan saya sendiri bekerja sebagai penjual koran di jalanan. Setiap hari sepulang sekolah saya langsung menjajakan koran di tengah gersang dan pengapnya udara Jakarta. Malamnya pulang dan langsung membaca pelajaran yang sudah di dapat selama di sekolah. Mungkin di lingkungan tempat tinggal saya dulu hanya keluarga saya yang paling rajin dan jujur, kebanyakan orang-orang disitu bekerja menghalalkan segala cara bahkan ada orang tua yang sampai mengorbankan anaknya untuk mencari nafkah. Maklumlah, keluarga kami waktu itu masih pendatang baru dan masih menerapkan nilai-nilai moral yang dibawa dari kampung, terutama bapak saya yang selalu menanamkan kerja keras dan kejujuran pada anak-anaknya walaupun hidup susah. Sehingga tak jarang penduduk lain mengejek keluarga saya dengan cemoohan-cemoohan yang menyakitkan.

“Heh! Jangan sok-sok beradab deh lu pade. Keluarga lu sama kayak keluarga gue idup suseh!”...

“Hari gini masih jujur?! Gue jamin kagak bakalan bisa makan lu!”

Cemoohan-cemoohan seperti itu hanya dibalas senyum sama bapak saya.

Tiba-tiba lamunan saya beralih pada seseorang yang bernasib tidak jauh beda sama saya, yang membedakan adalah dia seorang perempuan, namanya Ratna. Pertemuan pertama masih teringat jelas dalam benak saya, ketika itu dia sedang dimaki-maki oleh seorang preman. Saya merasa kasihan, tapi tak bisa berbuat banyak hanya melihat dan mendengarkan dari balik pohon. Maklum waktu itu saya masih seorang anak SMA, tidak punya keberanian menantang preman-preman bengis itu. Saya hanya bisa mendengar teriakan preman-preman itu memaki Ratna.

“Heh, anak ingusan! mana duit hasil ngemis tadi?”

“Gak ada Bang...”, jawab Ratna dengan mata berkaca-kaca.

“Ga ada, ga ada, mau bohong lu ma gue! gue beri baru tahu rasa lu anak tengil!”, hardik preman itu sambil merogoh saku celana Ratna dengan kasar. Uang Ratna semuanya di ambil, lalu mereka pergi meninggalkan Ratna menangis sendirian. Saya tidak tega melihatnya, walaupun saya belum kenal dia tapi saya akhirnya memutuskan untuk menghampiri dan menghiburnya. Saat itulah awal kami berkenalan dan akhirnya menjadi teman senasib sepenanggungan. Sampai akhirnya saya dan Ratna berpisah karena saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah dan kami sekeluarga pindah. Sejak saat itu, saya dan Ratna tidak pernah bertemu karena selain sibuk kuliah saya juga tidak bekerja sebagai penjual koran lagi tapi beralih sebagai cleaning service.

“Mas, maaf ganggu. Boleh saya ikut duduk?”, suara pembeli lain membuyarkan lamunan saya. Saya hanya menjawab dengan anggukan sambil bergeser. Orang itu duduk disamping saya sambil membuka koran. Sekilas saya melihat kolom iklan dan lowongan kerja, tiba-tiba mata saya tertuju pada sebuah kolom lowongan kerja yang membutuhkan karyawan. Disana tertulis bahwa hari ini terakhir pendaftaran, tanpa pikir panjang langsung saya menuju alamat yang tertera dalam iklan tadi.

***

Seminggu sudah saya menunggu hasil interview, sekarang hari yang lumayan membuatku tegang, apakah saya bisa lulus dan punya pekerjaan tetap atau sebaliknya jadi pengangguran lagi? entahlah....hanya Tuhan yang tahu.

Pagi-pagi sekitar pukul 7.00, saya dapat surat yang isinya ternyata panggilan kerja dari perusahaan yang sudah saya nantikan, terima kasih Tuhan....

Hari demi hari yang saya lalui sekarang terasa lebih berarti, perekonomian keluarga pun sedikit demi sedikit mulai terangkat, adik-adik saya bisa sekolah dengan layak. Saya merasa kehidupan saya yang sekarang lebih dari cukup dibanding dengan kehidupan yang dulu. Saya pun teringat akan teman-teman senasib sepenanggungan dulu ketika masih hidup di jalanan, terutama pada Ratna. Rasa sayang saya sama dia sudah seperti sayang seorang kakak ke adik, bahkan akhir-akhir ini rasa sayang saya lebih dari itu, entah apa yang saya rasakan. Tapi saya janji jika suatu saat bertemu dengannya akan saya bantu semua kebutuhan hidupnya semampu saya.

“Ratna...Ratna...kamu dimana sekarang? Berapa berat beban yang kamu pikul sekarang? Kasihan kamu Rat, ayahmu sendiri menelantarkan kamu dan ibumu....”, gumamku sambil telentang di ranjang menerawang ke langit-langit kamar.

***

Kerja hari ini cukup melelahkan, saya diminta untuk lembur. Setelah selesai pekerjaan, terbersit niat saya untuk jalan-jalan ke daerah bekas tempat tinggal saya dulu, siapa tahu disana saya ketemu sama Ratna.

Selama berjalan, tak henti-hentinya mata saya mencari-cari sesuatu, dan tiba-tiba mata saya tertuju pada satu sosok perempuan yang rasanya tidak asing lagi dimata saya. Penasaran dengan perempuan itu, saya bergegas mendekatinya karena dia terlihat mau pergi dari tempat itu. Setelah yakin saya kenal dengan dia akhirnya saya memberanikan diri menyapanya.

“Ratna...?”, seruku setengah bertanya.

Dia seperti kaget dan memandang saya dalam-dalam.

“Bagus...?”, dia balik bertanya.

“Ya, ini aku Bagus. Kamu Ratna kan?”, tanyaku meyakinkan.

Oalah, Gus...Gus...!Kamu tu ya, kayak bapak bos sekarang. Coba lihat bajumu, celanamu, sepatumu, rapi banget! pake dasi segala lagi. Wong kaya lu Gus!”, lirih Ratna dengan logat Jawa-nya yang gak berubah. Hanya penampilannya yang jauh beda dengan dulu, sekarang dia kelihatan lebih modis dan bersih ditambah polesan make-up di wajahnya, memunculkan wajah aslinya yang memang ayu.

“Ah, kamu bisa saja. Kamu juga sekarang terlihat beda, biasanya penampilanmu cukup dengan kaos oblong, celana kolor dengan rambut tak terurus. Sekarang kamu jauh lebih rapih Rat, tambah cantik hehe....”.

“Kamu tu ya, pandai nyenengin hati orang...”, ucap Ratna sambil tersipu.

“Oiya, ngomong-ngomong malam-malam gini mau kemana kamu Rat, sendiri lagi?”, tanyaku.

“Ee...anu...aku mau beli obat buat ibu,” jawab Ratna agak gugup.

“Kenapa ibumu, sakit? Sakit apa, hah?” setengah kaget aku memberondong Ratna dengan pertanyaan. Ketika kudengar Ratna mau beli obat untuk ibunya, pertanyaan seputar penampilan Ratna yang berubah drastis yang tadinya mau saya sampaikan seketika hilang.

Yo wiss, akan kuceritakan kejadian yang sedang terjadi ma aku sekarang ini. Kita duduk di bangku itu saja yuk!”, ajak Ratna sambil menuntunku.

Ratna memulai kisahnya, “Gini Gus ceritanya, setelah waktu itu kita berpisah hidupku semakin tak karuan. Penghasilanku selalu dipalak oleh preman-preman yang berkeliaran di jalanan. Akibatnya, sering sekali aku dan ibuku kelaparan sampai seharian kami gak bertemu sama nasi. Akhirnya ibuku terpaksa meminjam uang kesana-kemari demi aku. Dan ujung-ujungnya, kamu juga pasti ngerti Gus dengan kehidupan kumuh yang keras gitu....mereka menagih utang dengan melipatgandakan bunganya. Ibuku tak sanggup membayarnya, kami berdua banting tulang kerja dan akhirnya ibuku sakit-sakitan sampai sekarang dia divonis punya penyakit kanker dan harus dirawat di rumah sakit. Darimana aku harus membiayainya Gus? Hmmm....nasib, nasib!”, Ratna menarik nafas berat sambil menyeka air matanya yang meleleh, kemudian ia melanjutkan ceritanya. Semuanya tentang kesusahan yang dia hadapi.

“Itulah Gus, cerita singkat kehidupan aku. Kalo aku ceritakan semua takkan habis semaleman, malah air mataku yang habis....”, Ratna mencoba mengalihkan kesedihan.

Malam itu, kami asyik bercerita pengalaman hidup yang kami tempuh selama kami berpisah. Sampai-sampai saya lupa bertanya apa dia sudah berkeluarga atau belum, dalam hati saya ada keinginan untuk memperistrinya seandainya dia belum punya suami. “Tenang Bagus...kan Ratna sudah ngasih alamat rumahnya...” bisik hati Bagus mencoba menghibur.

Hari ini saya tidak lembur, pulang kerja saya berencana mau mencari alamat rumah Ratna dan sama-sama dia membesuk ibunya di rumah sakit, sekalian ada sedikit tabungan saya buat bantu biaya perawatan ibunya.

Setelah beberapa lama saya menyusuri gang-gang sempit mencari-cari alamat rumah Ratna, akhirnya sampailah saya di depan sebuah kos-kos’an dengan kamar-kamar sempit kira-kira 3x4 meter. Untuk memastikan benar tidaknya tempat ini tempat tinggalnya Ratna saya bertanya pada orang yang lewat disitu. Ternyata benar, alamat yang dikasih sama Ratna memang itulah tempatnya, lengkap dengan nomor kamarnya. Kamar Ratna bersebelahan dengan mpunya kos-kos’an tersebut. Beberapa kali saya ketuk pintu kamarnya, tapi kamar Ratna terkunci rapat.

Seorang perempuan tua bertubuh tambun keluar dengan langkah terseok-seok, memandang saya secara sambil lalu. Dengan logat Betawinya yang medok ia bertanya keras, “Cari siape, Pak”

“Ratna ada?”

“Pergi tuh, ama lakinye.”

“Maksud ibu....suaminya?”

“Suami? Nggak tahu dah, suaminye ape bukan. Bapak dari mane?”

“Saya teman lama Ratna. Sebetulnya saya kepingin pergi sama-sama dia membesuk ibunya.”

“Emang Ratna Bilang ibunya sakit ape?”

“kanker.”

“Kanker??Bulan lalu paru-paru. Yang dulu lagi dia bilang patah kaki kesodok bus kota. Bulan depan tahu deh. Kelindes kereta ‘kali.”

Saya tak punya cukup perbendaharaan kata untuk menjelaskan secara tepat perasaan saya. Tiba-tiba saja tangan saya tergerak untuk merogoh saku celana, menggenggam erat amplop berisi belasan lembar puluhan ribu, yang semula akan saya sumbangkan pada Ratna.

Dua luka yang Kau torehkan, Ratna... luka dari kebohongan dan kehormatanmu yang Kau jual murah. Kau bukan Ratna yang kukagumi.

***

Sweet Home, Desember 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun