Pasola adalah ritual dan atraksi budaya yang digelar di Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pasola berasal dari kata “sola” dan “hola” yang berarti lembing kayu dengan ujung tumpul. Pasola bukan adu tangkas biasa. Pasola merupakan upacara tradisional bagi warga Sumba yang memeluk kepercayaan lokal bernama Marapu.
Sebagian penganut Marapu meyakini, prosesi Pasola harus digelar tiap tahun untuk menghindari musibah. Bila sampai terlewat dalam 12 bulan, maka bencana bisa datang menerjang. Sebut saja tsunami, gempa bumi, angin ribut, atau kematian dalam wujud apa pun. Desa Wainyapu hanya salah satu lokasi tempat Pasola dihelat. Wainyapu jadi wilayah terakhir yang menggelar Pasola setiap tahun, dengan peserta dari dua kecamatan di Sumba Barat Daya, yakni Kodi dan Kodi Balaghar.
Meski menegangkan, Pasola selalu jadi atraksi budaya menarik bagi warga lokal maupun wisatawan domestik dan mancanegara. Tak kurang dari 200 orang—yang dijaga ratusan polisi—memenuhi pinggir lapangan tempat Pasola berlangsung, walau harus menantang ganas panas matahari. Saking membeludaknya penonton, di antara mereka ada yang rela berdiri di atas motor supaya bisa menyaksikan permainan dengan jelas. Ada pula yang naik ke atas kuburan batu karena tidak kebagian tempat di pinggir lapangan.
Pasola diselenggarakan oleh orang Sumba untuk merayakan musim tanam padi. Pasola merupakan bentuk ritual untuk menghormati tradisi nenek moyang (Marapu), mohon pengampunan, kemakmuran dan untuk hasil panen yang melimpah.Pasola biasa dilaksanakan setiap bulan Februari hingga Maret di sejumlah kampung di Sumba. Kampung yang menyelenggarakan tradisi ini antara lain Kodi, Lamboya, Wanokaka, dan Gaura. Tradisi ini digelar berdasarkan penanggalan yang ditentukan oleh para pemuka adat atau rato. Rato menentukan penanggalan melalui perhitungan bulan gelap dan bulan terang serta tanda-tanda alam.
Salah satu prosesi untuk menentukan tanggal Pasola adalah dengan melakukan tradisi nyale. Nyale artinya adalah cacing laut, tradisi nyale adalah upacara mencari cacing laut yang dilaksanakan pada sore hari di pinggiran pantai yang di pimpin oleh rato. Upacara nyale dilaksanakan pada bulan purnama, saat itu cacing laut akan keluar ke pinggir pantai. Para rato akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, sekitar jam 07.00 WITA.
Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan, dan dianggap sebagai sebuah kesialan. Selain memprediksi kapan Pasola dapat dilaksanakan, Nyale juga diyakini dapat memprediksi hasil panen masyarakat setempat. Sebelum mengadakan upacara adat Pasola, warga setempat perlu mengikuti sejumlah pantangan. Pantangan tersebut antara lain dilarang mengadakan pesta dan membangun rumah.
Pasola digelar secara berurutan di dua tempat berbeda. Pertama di pantai Wanokaka setelah Madidi Nyale. Dilanjutkan di arena Kedua atau di arena utama yakni Kamaradena dari pukul 09.00 hingga menjelang siang. Pasola adalah petarungan antara dua kubu dengan menunggangi kuda. Masing-masing kubu menggunakan taktik tersendiri dan berusaha keras untuk menjatuhkan pihak lawan dengan cara melempar lembing dan dengan kepiawaian berkuda.
Pertarungan ini sering memakan korban luka bahkan ada juga yang meninggal dunia. Namun, sportivitas tetap harus dijunjung tinggi. Aturan tak tertulis yang harus dipatuhi adalah saat nanti usai pertandingan, dendam tidak boleh keluar dari arena. Jika pun ingin membalas harus menunggu Pasola berikutnya.
Setiap tetes darah binatang atau manusia yang tumpah saat pertarungan Pasola dianggap sebagai pertanda baik bahwa hasil panen akan melimpah dan akan membawa kemakmuran di masa yang akan datang. Pasola dimulai dengan upacara adat nyale yang merupakan ungkapan syukur atas anugerah musim panen dan kelimpahan cacing laut di tepi pantai saat bulan purnama. Para pemuka suku memprediksi kedatangan cacing laut, dan jika cacing tersebut gemuk dan sehat, dipercayai sebagai pertanda kebaikan dan kesuksesan panen.
Pasola hanya dapat dilaksanakan setelah mendapat cacing nyale tersebut. Permainan ini melibatkan dua kelompok ksatria Sumba bersenjatakan tombak kayu berdiameter 1,5 cm dan terdiri lebih dari 100 pemuda. Meskipun tombak kayu yang digunakan berujung tumpul, permainan ini bisa berakibat fatal hingga dapat memakan korban jiwa.