Malam itu hujan deras mengguyur seluruh penjuru kota. Suara guntur bergemuruh menggelegar disertai kilat yang tampak ganas ingin menyambar. Aku yang saat itu pulang kuliah sedang berdiri di tepi jalan, berteduh di depan toko orang menunggu redanya hujan. Sungguh, suasana begitu sunyi senyap mencekam karena tak begitu banyak orang yang berlalu-lalang.
Ku tunggu satu jam lamanya, hujan pun tak kunjung reda. Malahan, derasnya hujan semakin menajam. Angin-angin liar pun mulai meraung-raung tak karuan menemani gelapnya malam. Alhasil, ku tetap diam tak bergeming dari tempatku berdiri dan merapatkan jaket tipis yang sedikit banyak masih berperan melindungi tubuhku yang mulai menggigil karena dingin.
Dua jam sudah terlewati, namun hujan tak juga berhenti. Beberapa orang yang ada di sekitarku sudah mulai pergi satu per satu hingga akhirnya meninggalkanku sendiri melawan sepi. Ku coba dengarkan siaran radio tentang cuaca malam itu dari handphone-ku dan diramalkan bahwa hujan badai akan berlangsung sepanjang malam bahkan sepanjang hari berikutnya. Ya Tuhan, aku terjebak dalam badai dan tak bisa segera pulang ke rumah kontrakan. Lantas apa yang harus ku lakukan?
Aku bingung, resah, dan gelisah seketika. Ku pandangi jalan raya yang ada di hadapanku. Tak satu pun kendaraan yang lewat saat itu. Ku lihat arah kanan dan kiriku. Ya Tuhan, ternyata aku memang benar-benar sendirian di tempat itu; hanya lampu neon lah yang menemaniku. Dan tentu saja juga si hujan badai yang seolah-olah sedang berpesta ria bersama angin kencang. Ku coba melihat jam tangan yang ada di pergelangan tanganku. Ya Tuhan, sudah pukul sepuluh lewat dua puluh dua malam! Aku harus segera pulang!
Aku mau tak mau langsung menerjang hujan yang sangat tak bersahabat itu. Ku lari sekencang-kencangnya dan dalam beberapa detik saja aku sudah basah kuyub dan bermandikan air hujan. Mataku kabur karena banyaknya tetesan-tetesan air hujan yang masuk ke mata sehingga ku tak begitu fokus akan jalan yang ada di hadapanku. Dan entah apa yang terjadi, entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba ku menabrak sesuatu; bukan, bukan sesuatu, tapi seseorang!
“Maaf, maaf,.” Kataku pada orang itu sambil mengusap-usap mata menjernihkan pandangan mataku dari air hujan.
Orang yang tak sengaja ku tabrak adalah seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan yang berdiri membawa payung hitam dan setelah ku hayati sejenak dia juga berpakaian hitam-hitam. Dia tidak berkata apa-apa dan wajahnya tanpa ekspresi. Sekali lagi aku minta maaf kepadanya karena tak sengaja menabraknya. Dan sekali lagi pula, dia hanya menatapku tajam, serta seperti sebelumnya, tanpa ekpresi. Sungguh wanita itu begitu aneh; atau tepatnya begitu misterius; atau bisa ku katakan wanita yang aneh dan misterius.
Karena canggung dan merasa tak nyaman, akhirnya aku beranjak meninggalkan wanita misterius itu. Tepat satu detik sebelum ke langkahkan kakiku meninggalkan wanita itu, tiba-tiba dia mencengkeran lenganku; menghentikan niat ku untuk pergi. Kemudian dia menatapku kembali dengan sorot mata yang penuh misteri. Ya Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?
Lantas wanita itu memegang tangan kananku, membalik telapak tanganku dan memberikanku sebuah amplop putih; amplop putih yang tidak benar-benar putih namun tetap saja tampak putih dan yang pasti ku tak pernah melihat amplop semacam itu. Ketika ku pegang amplop itu, ada sesuatu perasaan aneh yang mengganjal dalam hatiku. Aku merasakan hal aneh yang entahlah, sulit mengungkapkannya dengan kata-kata.
“Amplop apa ini?” Tanyaku padanya.
“Mengapa Anda memberikannya kepadaku?” tanyaku lagi.