Kami tak pernah tahu dari mana ia berasal, kapan ia dilahirkan, dan di mana ia dibesarkan. Yang kami tahu hanyalah ia datang kemari membawa anaknya sekitar dua tahun silam. Kala itu ia memusuhi kami semua. Tatapan matanya begitu tajam. Perilakunya begitu bengal. Ia pun kerap mencuri makanan di rumah kami dan penduduk sekitar.Â
Bahkan, pernah ada kabar bahwasanya ia memakan ayam. Bukan, bukan ayam goreng krispy seperti yang baru saja kumakan. Ayam yang dimakannya ialah ayam hidup sungguhan. Itu sih yang tetanggaku bilang. Namun yang jelas, sebelumnya ia pasti hidup di jalanan dan selalu kelaparan. Ya, mengingat tindak-tanduknya yang liar.
Mula-mula, ibuku mengusir kehadirannya manakala ia berusaha memasuki rumah kami lewat pintu belakang. Namun lambat laun kami membiarkannya masuk rumah sebab ia mempunyai anak yang masih berusia dua bulan. Anaknya yang masih kecil tampak menggemaskan. Jadi, kami tak tega bilamana ia harus diusir dan hidup lagi di jalanan. Kendati demikian, ia tetap belum bisa menunjukkan keramahan. Tiap kali kami mendekatinya, ia selalu mendesis dan mencoba melukai kami dengan kuku-kukunya yang tajam.
Ia tak pernah mencoba berkomunikasi dengan kami. Jangankan berbicara kepada kami, ia tak pernah punya intensi untuk bersosialisasi. Â Yang ia butuhkan hanyalah menyantap makanan di rumah kami setiap pagi dan mencari tempat untuk berlindung dari terik matahari.
Hari silih berganti. Dua tahun pun berlalu pergi. Ia masih tinggal di rumah kami meskipun keluargaku tak pernah menganggapnya sebagai family. Yup, sebab ia dulunya hidup di jalanan, dan walaupun ia akhirnya bisa tinggal di rumah orang, tetap saja masih ada sisa-sisa "perilaku jalanan" yang melekat dalam dirinya.
Tak pernah sekalipun keluargaku menyentuh tangannya, untuk berjabatan tangan misalnya?
Hanya aku yang cukup dekat dengannya lantaran akulah yang memberinya makan bersama anak-anaknya setiap pagi dan menjelang malam.
Beberapa waktu lalu kucoba menyentuh sisi lengannya. Ia bergeming di tempatnya, membolehkanku dekat-dekat dengannya. Â Berarti ia sudah mulai terbiasa dengan kehadiran manusia.
Namun beberapa hari terakhir ini, ia tiba-tiba pergi tanpa mengabari kami. Keluargaku memang tak peduli. Aku yang cukup peduli. Meskipun ia dan aku tidak pernah akrab, tetap saja kami bertemu setiap hari. Tentunya ada rasa kehilangan ketika aku tak melihat batang hidungnya sama sekali.
Aku bertanya kepada ibu, "Ke mana ya dia pergi? Sudah empat hari tidak kembali. Ibu tak khawatir?"
"Nggak khawatir sama sekali. Malah ibu senang. Tidak akan ada lagi yang mencuri makanan di meja makan," jawabnya.
Keesokan harinya, aku mendapat kabar bahwasanya Mak Nah, tetangga kami yang tinggal di dekat belakang rumah, memberitahu ibuku bahwa beliau melihat sosok yang berjalan tertatih-tatih. Napasnya tersengal-sengal. Badannya tampak kurus kering dan hanya menyisakan kulit tipis yang membungkus tulang. Ia terlihat tak bertenaga, rapuh, dan seperti akan ambruk.