Tragedy of the common (tragedi kepemilikan bersama) menggunakan kata tragedi sebagai pandangan para filosofi yang sering menggunakannya. “Inti dari drama tragedi ini adalah ketidakbahagian. Ketidakbahagiaannya terletak pada kekejaman dalam bekerja untuk merebut sesuatu. Tragedi Kepemilikan Bersama timbul saat setiap manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Oleh karena itu, Tragedi Kepemilikan Bersama ini umumnya terjadi pada sumber daya yang merupakan milik umum.
Tragedi Kepemilikan Bersama adalah suatu pandangan tentang keinginan untuk meraih untung yang banyak untuk kepentingan pribadi daripada membagi-bagikannya kepada manusia lain dan masing-masing mendapat jatah sedikit. Pandangan seperti ini awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumber daya alam, namun pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam akan habis dan justru berdampak negatif bagi pihak yang memakai dan bagi manusia lain.
Tragedy of the common dapat digambarkan sebagai sebuah padang rumput yang terbuka untuk semua. Tanpa pengecualian setiap pengembala dapat menjaga beberapa lembunya pada wilayah yang dianggap milik bersama itu. Seperti pekerjaan yang dilakukan atas alasan memenuhi kepuasan yang tertunda selama berabad-abad karena perang suku, perburuan liar dan penyakit bagi manusia serta hewan liar yang sangat tergantung pada daya dukung-ketersediaan lahan.
Akhirnya, bagaimanapun, tiba saatnya perhitungan-perhitungan dengan tujuan memenuhi nafsu untuk keutuhan sosial menjadi kenyataan. Pada poin ini, logika yang melekat pada “milik bersama” adalah kekejaman, kerakusan yang menghasilkan sebuah tragedi. Secara rasional, setiap penggembala akan mencari keuntungan yang maksimal. Secara eksplisit atau implisit, sadar atau tidak, ia berkata, “Apa manfaatnya untuk saya jika menambah satu atau lebih penggembalaan saya?” Anggapan ini mempunyai hal yang positif dan negatif.
Di awal tragedy of the common menjelaskan tentang dua pandangan yang berbeda terhadap langkah penyelesaian suatu permasalahan. Pandangan yang pertama, bahwa suatu permasalahan hanya bisa diselesaikan dengan cara teknis, dan pandangan kedua suatu permasalahan tidak selalu bisa diselesaikan dengan cara teknis bahkan hasilnya justru akan lebih memperburuk situasi, untuk itu cara-cara non teknis akan menjadi langkah penyelesaian yang lebih baik.
Yang dimaksud dengan penyelesaian secara teknis yaitu suatu permasalahan yang hanya membutuhkan langkah penyelesaian secara teknis dan ilmu pengetahuan murni, tanpa cenderung atau tidak sama sekali memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan atau ide-ide secara moralitas. Untuk itu, penyelesaian secara non teknis adalah langkah penyelesaian yang paling tepat karena pelaku perang adalah manusia yang perlu pendekatan secara manusiawi dengan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan dan ide-ide secara moralitas.
Contoh sederhana yang diberikan oleh Garret Hardin (1968) yaitu permainan tick-tack toe. Yaitu bagaimana kita dapat memenangkan, jika lawan kita memang adalah lawan yang tangguh, secara teknis kita tidak mungkin menang. Hal ini adalah sebuah permasalahan dan permasalahan ini tidak bisa diselesaikan dengan cara teknis, tetapi bisa diselesaikan dengan masalah non teknis, artinya bahwa kita dapat memenangkan permainan dengan melibatkan semangat, tanpa beban, dan akhirnya mungkin kita dapat memenangkan permainan.
Pada prinsipnya tragedy of the commons ini menganut paham : KALAU SAYA TIDAK MEMANFAATKAN SEKARANG, PASTI ADA ORANG LAIN JUGA AKAN MENFAATKANNYA. Inilah hal yang sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dimana kita saling berlomba-lomba dalam mengumpulkan sesuatu sedangkan daya dukung sumber daya alam kita terbatas. Dalam paham ekonomi bahwa kebutuhan manusia itu tidak terbatas, oleh karena itu kebutuhan harus ditingkatkan demi taraf hidupnya.
Hubungan dengan Polusi
Tragedi of the Commons muncul kembali di masalah polusi. Pembuangan limbah ke air seperti kimia, radioaktif, sampah rumah tangga, dan ke udara seperti sisa pembakaran, aerosol, dan lain-lain dapat menyebabkan polusi pada lingkungan. Manusia berpikir bahwa limbah yang mereka buang hanya sedikit dibandingkan luas alam yang mereka tempati dan nantinya limbah tersebut akan hilang dengan sendirinya. Pemikiran semacam ini akan menyebabkan penumpukan limbah yang akan menyebabkan polusi.
Polusi akan menyebabkan kerugian pada populasi. Populasi pun juga terkait dengan polusi yang dihasilkan. Semakin padat populasi maka limbah buangan yang dihasilkan akan semakin banyak.