Mohon tunggu...
Yekti Sulistiyo
Yekti Sulistiyo Mohon Tunggu... Administrasi - Simpel saja, ya....

Tinggal di http://www.yekti-sulistiyo.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Hanya Sebuah Komparasi, namun Banyak

27 Mei 2011   07:37 Diperbarui: 8 November 2015   13:29 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bukan pecinta negeri orang. Saya sangat mencintai Indonesia. Bila orang lain memandang indah dan hebat negeri lain, hal itu tidak berlaku bagi saya. Memang, saat ini, saya selalu membandingkan negeri saya dengan Jepang, dimana orang lain pun mungkin akan melakukan yang hal yang sama jika berada pada posisi saya. Namun, bila Jepang lebih baik, saya pasti akan sedih, mengapa negeri saya tidak bisa seperti ini. Namun bila negeri saya lebih baik, saya pasti berteriak, memang begitulah negeriku. Indah dan kaya raya. Tak ada bandingnya.

Rata-rata, semua pertanyaan hampir sama yang disampaiakan pada saya. Bagaimana Jepang? Kerasan? Apa yang murah? Mahal? Harga komputer mahal? Orangnya bagaimana? Makanannya bagaimana? Begitulah pertanyaan-pertanyaan yang kerap dilontarkan. Dan tak jemu-jemunya, saya selalu mengulang-ulang jawaban kepada mereka. Pasti, akan saya mulai dengan statemen. Entahlah, mengapa Jepang bisa semaju ini. Sebuah jawaban yang datar. Memang betul. Jepang tak punya apa-apa untuk kaya. Tanah tandus, jauh bila dibandingkan negeriku.

Tetapi mengapa beras disini enak? Mengapa? Bukankah seharusnya beras di negeri ku harus berlipat-lipat kali enaknya? Tanah nan subur dan luas membentang, sarjana dan professor-profesor pertanian banyak tersebar seantero negeri. Bukankah seharusnya bisa dihasilkan beras Indonesia, kualitas nomer satu di dunia, bukan? Mobil-mobil disini kecil-kecil. Hanya sekitar 500-600 cc. Semacam karimun begitulah. Tapi jauh lebih kecil. Mobil 1000 cc sudah dikatakan mobil besar disini. Berarti, karimun adalah mobil kecil di Indonesia, tetapi mobil yang sudah termasuk kategori boros disini. Namun, mengapa di negeriku tercinta penduduknya lebih bangga menggunakan mobil besar, boros bahan bakar, berharga mahal, dimana produk itu sendiri sangat dihindari oleh Negara pembuatnya. Mengapa? Innova dan sejenisnya hanya digunakan oleh kantor-kantor dan keluarga-keluarga berjumlah lebih dari 4.

Mengapa di negeriku orang sangat bermimpi untuk membeli mercy, innova, grand livina, dan sejenisnya. Mengapa saudaraku dapat diperalat mereka? Hanya demi sebuah gengsi dan pengakuan kedudukan sosial, mobilku hebat, nyaman, dsb. Dimana hatimu wahai orang-orang kaya? Itu mobil, belum motornya. Motor disini kecil-kecil pula. Hanya 50 cc, semacam Kasea begitulah. Jelas sangat tidak laku di negeriku. Memandang sebelah mata pun tidak. Motor 100 cc sudah termasuk motor ber-cc besar. Tak ada itu sepeda motor Honda dan Yamaha sebagus motor Honda dan Yamaha di Indonesia. Bahkan, motor Honda tahun 70 masih diproduksi hingga saat ini! Gila. Benar-benar bangsa yang hemat, efisien, kalau tidak bisa dijuluki bangsa yang pelit. Entahlah. Pelit atau memang harus seperti ini.

Saya selalu menjuluki mereka dengan sebutan pedagang sayur sejati. Sayur yang baru dan segar akan mereka jual, tetapi sayur yang sudah tidak segar dan tidak bagus dikonsumsi sendiri. Politik mlijo, kubilang. Belum lagi, mereka sangat mencintai milik mereka sendiri. Pernah saya berlibur ke Kyoto bersama rombongan universitas. Kyoto adalah salah satu kota tua di Jepang. Kalau di Indonesia semacam Jogyakarta begitulah. Saat sampai disana, begitu terkejutnya saya, bayangan sebuah kota tua yang cantik, pudar di kepala saya. Pendapat saya, jauh lebih cantik Borobudur, Prambanan, Malioboro, dan sekitarnya. Tapi, mengapa mereka sangat membanggakan budaya mereka. Mereka pandai dalam mengemas budaya. Kalau kecantikan tempat-tempat wisatanya, jauh lebih cantik Indonesia.

Sampailah pada kesimpulan saya, bahwa saya kurang menghargai kebudayaan saya sendiri. Memandang remeh, Borobudur lagi, Borobudur lagi. Bosan Ah. Kok Jogja melulu. Baru saya tersadar kali ini. Negeriku ternyata cantik sekali. Tak ada bandingnya. Makanan? Entahlah. Hingga bulan ke-8 saya tinggal disini, lidah rasanya tak segera bisa menyesuaikan diri. Soysouce atau apalah namanya sauce Jepang tidak cocok di indra perasa saya.

Akhirnya, restoran-restoran waralaba yang saya datangi. Kali ini, juga keheranan yang amat sangat. Mengapa restoran sejenis KFC dan Mc D berukuran sangat kecil dan hampir jarang dikunjungi? Tetapi, mengapa restoran local yang menyajikan hidangan lokal, seperti udon, soba, sushi, dll ramai sekali penikmatnya? Sekali lagi. Mereka sangat mencintai semua miliknya, termasuk makanannya. Bukankah di negeriku, KFC, Mc D, Hoka-Hoka Bento, ramai sekali? Bahkan, bisa dikatakan sangat kuperlah kalau belum pernah kesana. O lala.Malu aku pada negeriku.

Setelah jauh merantau, barulah kutahu nikmatnya nasi rawon, nasi pecel, sambal tumpang, bahkan sayur lodeh. Alamak. Tak ada rempah-rempah disini. Karena itulah mengapa dulu dijajah negeriku. Hampir tiap bulan kami order rempah-rempah dari Indonesia. Semua hasil bumi dan kuliner negeriku teramat istimewa. Jauh amat berharga dan pantas untuk selalu dirindukan.

Selalu kuhitung hari-hariku disini. Kapan bisa pulang? Apakah saya tidak kerasan? Mengapa selalu merindukan tanah air? Kalau saya ini patriotis, tidaklah. Entahlah. Mungkin suasana tanah air tak dapat terbeli oleh apapun. Perasaan bangga pada negeri sendiri sangat terasa saat saya disini. Sekali waktu, saya diundang mengajar pada sebuah sekolah setara SMP kalau di Indonesia.

Disana, mereka ingin mengetahui dimana dan bagaimana Indonesia. Baru saya rasakan, beginilah ternyata perasaan nasioanalis itu. Dengan tegasnya, saya katakan, Indonesia sangat strategis (tidak sestrategis negerimu) lokasinya. Antara 2 benua dan 2 samudera. Selain itu kaya raya. Hasil tambang, minyak, hutan, dan pertanian, apa yang tidak kami punya. Semua kami punya. Budaya dan seni warisan leluhur kami sangat tinggi nilainya. Bandingkan dengan negeri lain. Pasti orang Jepang akan heran dan kagum.

Lalu mereka akan bertanya. Apa negerimu kaya? Orang-orangnya sangat kaya? Orang Indonesia pasti kaya ya? Nyaman ya hidup di negerimu? Wah, berarti tidak usah kerja keras seperti kami ya? Sampai disini, saya tak bisa menjawab. Ya. Indonesia lebih kaya dari Jepang. Namun, bila orang-orang Indonesia jauh lebih kaya dari Jepang, entahlah. Di satu sisi, ada beberapa orang Indonesia yang masuk urutan terkaya di sunia.

Di sisi lain, banyak orang Indonesia yang untuk makan saja tidak bisa. Kalau urusan kerja keras. Banyak orang Indonesia kaya raya tanpa usaha, banyak sekali. Tapi, tidak sedikit saudaraku yang harus bekerja sangat keras, tapi tak terbaca hasilnya. Sekali lagi, entahlah, ini salah siapa. Di Jepang atau mungkin di negara maju lainnya, perbedaan si kaya dan si miskin tidak terlalu jauh. Kapan bisa seperti ini negeriku?

Sesungguhnya, di Indonesia ada agama. Disini tidak. Mereka tidak percaya kalau Tuhan itu ada. Tetapi, sikap orang Jepang kok seperti orang yang taat beragama? Mereka sangat jujur, mereka sangat menghargai orang lain. Urusan administrasi selalu tepat waktu, tak ada pungutan liar. Bebas membawa tas dan barang-barang lain yang kita punya bila berbelanja di supermarket. Mereka sangat percaya. Hampir tidak akan ada pencuri. Tak bisa dipungkiri, pasti semua orang asing, termasuk saya sangat nyaman hidup disini. Aman, tenteram, semua bisa terbeli.

Sekali lagi, pasti saya akan bergumam, kenapa tidak bisa seperti ini, negeriku? Semboyan bekerjalah seperti engkau hidup 1000 tahun lagi benar-benar diterapkan disini. Mereka bekerja sangat keras. Semua harus tertangani secara professional. Bila jadi guru, jadilah guru tanpa tanda jasa. Bila jadi ibu rumah tangga, jadilah ibu rumah tangga sejati. Saya tidak terkecuali. Tiap hari, saya harus masuk paling tidak mulai jam 10 pagi hingga jam 6 sore. Lebih boleh. Kurang jangan.

Kadang kalau tidak ada pekerjaan, sangat bosan duduk di meja. Tapi, kata Profesor, “Saya tidak mau tahu kamu kerja apa. Pokoknya jam 10 sampai jam 6.” Yah, akhirnya, sebosan-bosannya saya di laboratorium, pasti ada sesuatu yang bisa saya kerjakan. Kadang dalam hati, mungkin Tuhan orang Jepang itu waktu. Betapa takutnya mereka pada waktu. Semua harus tepat. Gunakan waktu sebaik mungkin, karena waktu tidak bisa kembali.

Mumpung masih muda. Tidak bosan-bosannya mereka berpesan pada orang-orang muda. Disini saya sering bertemu para manula. Tiap bulan, kami, student asing, diundang acara dinner. Kumpul-kumpul orang asing dengan penduduk sekitar.

Tapi itulah, yang muda sibuk bekerja, akhirnya pesertanya adalah para manula dan kami-kami ini. Mereka sangat senang dengan kehadiran kami. Mungkin untuk menghibur kesepian mereka.

Konon, saking dekatnya, kadang mereka memberi mobil atau bahkan warisan. Lumayanlah. Ahli waris mereka tidak tahu sekarang dimana. Sudah tua, sendirian. Kabarnya, kalau perlu rawat darurat, mereka telpon RS sendiri. Kembali lagi, wah, nyaman sekali di Indonesia. Rumah jompo kadang dijadikan lambang tak tahu balas budi. Pastilah, di masa tua kita nanti, anak-anak kita pasti sangat melindungi kita.

Wah, jadi teringat ibu saya. Sekarang akan menginjak 61 tahun, tapi saya harus pergi jauh darinya(Maaf, Bu.....). O ya. Di Jepang, angka bunuh diri mencapai ribuan jumlahnya. Angka tertinggi, bunuh diri dilakukan oleh para manula. Mungkin mereka jenuh hidup. Muda, mati-matian berkarya, tua, tak ada pengguna. Mungkin.

Hampir tiap malam saya merenung. Mengapa Jepang bisa maksmur. Tak punya apa-apa, tapi maju sekali. Orangnya jujur, ramah, sopan, suka menolong, sangat pemalu untuk berbuat tidak baik. Bertatapan mata saja tak berani. Tak ada penipuan.

Belum nyamannya berbelanja disini. Semua serba otomatis. Vending mesin minuman ada dimana-mana. Semua bisa terbeli, dengan beasiswa kita yang setara dengan penghasilan orang miskin disini.

Apalagi orang kaya disini? Bagaimana nikmatnya? Dalam hati saya se lalu bergumam...Indonesia pasti bisa.

 

email dari teman 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun