Mohon tunggu...
Yehizkiel Lampeuro
Yehizkiel Lampeuro Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng

saya berasal dari Kota Kolonodale, Kabupaten Morowali Utara, Provinsi Sulawesi Tengah dan kini menempuh pendidikam di Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pentingnya Peran Pendidikan Pancasila sebagai Ideologi Bangsa

16 Mei 2019   10:22 Diperbarui: 16 Mei 2019   10:37 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Peranan Pancasila begitu besar bagi perkembangan dan persatuan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu nilai-nilai Pancasila perlu diimplementasikan ke dalam proses pendidikan formal atau informal yang membentuk suatu habitus. Salah satu aspek habitus menurut Pierre Bourdieu adalah habitus bukan hanya merupakan suatu ideologi, sikap atau persepsi, tetapi serangkaian disposisi yang tertanam dalam diri individu yang menjadi orientasi tindakan atau perilaku dalam masyarakat, yang diperoleh melalui proses sosialisasi, sehingga dapat dikatakan bahwa habitus itu menjadi "kodrat kedua" (Pierre Bourdieu dalam M. Sastrapratedja, 2013: 2-3). Dalam hal ini nilai-nilai pancasila perlu tertanam dalam diri individu yang menjadi orientasi tindakan atau perilaku masyarakat. M. Sastrapratedja memahami "mengimplementasikan" Pancasila berarti menjadikan kehidupan masyarakat dan Negara lebih manusiawi (M. Sastrapratedja, 2013: 10). Hal tersebut antara lain mengandung arti: (1) membangung masyarakat lebih mampu menghargai dan lebih toleran terhadap perbedaan kultural dan religious, (2) menjunjung tinggi martabat manusia (human dignity) dengan tidak menjadikan sesama manusia sebagai objek, (3) menghindari konflik antar kelompok dengan membangun dialog dan mengusahakan agar kepentingan bersama terjami. Hal tersebut tentunya dapat terjadi apabila ada sikap solidaritas antar sesama.

Indonesia merdeka dicapai melalui perjuangan melawan kolonialisme di atas dasar dan kekuatan solidaritas kebangsaan. Solidaritas kebangsaan terbangun dalam proses yang panjang, dan menemukan titik kulminasinya pada Sumpah Pemuda 1928, serta terwujudnya dalam kemerdekaan Indonesia 1945 (Mikhael Dua, dkk, 2008: 178-179). Dalam perjuangan bangsa Indonesia, para pejuang bukan hanya berjuang demi kepentingan etnis, agama, suku dan budaya saja melainkan lebih dari pada itu berjuang demi kepentingan bangsa itu sendiri yaitu bangsa Indonesia. Dalam perjuangan itu mereka berjuang demi suatu tujuan yang sama yaitu kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal ini harusnya menjadi suatu ingatan kolektif yang mempersatukan dan bukan memisahkan bangsa itu sendiri. M. Sastrapratedja mengartikan ingatan kolektif sebagai gambaran dan representasi masa lampau yang membantu untuk mengkonstruksikan solidaritas sosial (M. Sastrapratedja, 2013: 95). Melalui ingatan kolektif juga membantu bangsa untuk mengingat kembali masa lampaunya untuk membangun masa kini serta masa depan bangsa.

Tak dapat dipungkiri bahwa Negara Indonesia merupakan Negara yang terdiri dari berbagai etnik, suku, ras dan agama. Tantangan bagi Indonesia ialah bagaimana mengatasi gerakan-gerakan sosial, etnik, religius yang cenderung pada eksklusivitas (M. Sastrapratedja, 2013: 132). Di mana dapat terjadi faham kebangsaan yang didasarkan atas homogenitas etnik, agama, sejarah, bahasa dan aspek budaya lainnya, yang kemudian mengklaim kemerdekaan sebagaimana dialami Indonesia dengan Aceh, Papua Barat dan yang sudah berhasil memisahkan diri adalah Timor Timur. Memang tidak dapat dipungkiri juga bahwa hal ini terjadi karena distribusi ekonomi telah menciptakan kesenjangan antara kelompok dan daerah. Hal ini karena politik pembangunan ekonomi yang berjalan di berbagai daerah di Indonesia lebih menguntungkan kelompok etnis tertentu atau golongan tertentu, sehingga terjadi kesenjangan antara kelompok (M. Sastrapratedja, 2013: 147).

Ada beberapa sebab kebangkitan "religio-politik" termaksud di Indonesia. Pertama, agama kerapkali digunakan sebagai wahana oleh kelompok oposisi, terutama karena kegagalan Negara dalam pembangunan yang membawa kesenjangan dalam masyarakat. Kedua, adanya pengaruh global dari gagasan agama radikal. Ketiga, karena pemerintahan yang cenderung otoriter, sehingga menimbulkan reaksi yang radikal. Keempat, kesadaran etnik dan etnosentrisme (Haynes dalam M. Sastrapratedja, 2013: 149). Selain itu ajaran agama yang militan telah pula mendorong percepatan konflik (Mohtar Mas'oed, 2000: 125).

Pancasila sebagai suatu ideologi berarti Pancasila sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang terorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur (M. Sastrapratedja, 2013: 180). Maka dari itu hendaknya pancasila menjadi suatu landasan yang memperkokoh dan mempersatukan bangsa dari berbagai golongan suku, etnik, ras dan agama. Dengan Pancasila sebagai ideologi, harusnya mampu mengatasi berbagai konflik atau ketegangan sosial yang ada pada saat ini. Dengan demikian keutuhan Negara dengan pancasila sebagai ideologi menjadi kekuatan bangsa untuk terus bersatu sebagai NKRI.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun