Beberapa jam yang lalu, pesawat KF-21 Boramae (dulu dikenal sebagai KF-X/IF-X) berhasil terbang perdana [1, 2]. Walaupun ada bendera Indonesia disana, itu bukan berarti pesawat KF-21 tersebut hasil pengembangan bersama (joint development).Â
Media Korea menyebut Indonesia sebagai pengembang mitra (co-developer untuk produksi sebagian suku cadang) serta pasar ekspor (pembeli) potensial [3].Â
Bahkan kabarnya, purwarupa ke-5 yang direncanakan untuk Indonesia tidak akan diserahkan oleh Korea sebelum kewajiban keuangan Indonesia diselesaikan [4].
Beberapa hari yang lalu, mengikuti webinar tentang perkembangan pesawat tanpa awak kelas MALE Elang Hitam. Pembicara mantan "orang dalam" menyebutkan jika konsorsium sudah bubar dan tidak ada kejelasan masa depannya [5].Â
Selama dua tahun, saya ikut terlibat dalam konsorsium, maka kondisi "bubar" ini sudah bisa diprediksi sejak awal. Program MALE ELang Hitam ini tidak jelas siapa yang jadi sponsor, penanggung jawab, integrator, kontraktor, serta mekanisme pengembangannya.Â
Program prioritas nasional yang dinaungi peraturan presiden [6] saja berakhir seperti ini. Bagaimana dengan program yang bukan prioritas?
Ketidakjelasan program KF-21 dan MALE Elang Hitam kembali menegaskan "ada yang salah dengan Indonesia". Sejak tahun 2017, pernyataan tesis saya tidak berubah:
1. Secara makro, Indonesia tidak memiliki sistem akuisisi pertahanan, sehingga teknologi dan industri pertahanan tidak terbangun secara holistis.
2. Secara mikro, pengembangan alutsista belum dilaksanakan berbasis system engineering, sehingga sehingga proses pengembangannya tidak rasional, tidak logis, tidak komprehensif, tidak terukur, dan tidak terdokumentasi.
Silahkan buka catatan sejarah pengembangan alutsista mandiri di Indonesia. Karena tanpa akusisi pertahanan dan system engineering, sangat sedikit yang berhasil. Berhasilpun karena kebetulan saja. Mayoritas menjadi proyek monumental: berujung hanya untuk menjadi "monumen peringatan" saja.