Mohon tunggu...
Y. H. Yogaswara
Y. H. Yogaswara Mohon Tunggu... Tentara - Belajar Tambah Ajar

Peneliti dan Lektor Teknologi Pertahanan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

BRIN, Momentum Membangun Akusisi Pertahanan

19 Juli 2022   21:00 Diperbarui: 19 Juli 2022   21:03 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*(REPOST) Opini Media Indonesia, 26 Januari 2022

MELENGKAPI integrasi LIPI, BPPT, Batan, dan Lapan ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), ratusan calon pegawai negeri sipil (CPNS) dan periset yang berasal dari Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kementerian/Lembaga (Litbang K/L) resmi dilantik menjadi PNS BRIN pada awal Januari 2022. 

Balitbang Kementerian Pertahanan (Kemenhan) merupakan satu-satunya Litbang K/L yang tidak diintegrasikan ke dalam BRIN. Fokus riset dan inovasi BRIN untuk kebutuhan sipil, merupakan salah satu alasannya sehingga program pengembangan teknologi pertahanan akan diserahkan sepenuhnya kepada Kemenhan. 

Penegasan fokus BRIN ini berisiko mengancam program pengembangan teknologi pertahanan yang sedang berjalan. Di antaranya program pengembangan roket R-Han 122, serta Pesawat Terbang tanpa Awak kelas Medium Altitude Long Endurance (PTTA MALE), yang melibatkan Lapan dan BPPT. Namun, kondisi ini justru menciptakan momentum yang tepat untuk membangun sistem akuisisi pertahanan.     

Plan Bobcat 

Buku Plan Bobcat yang disusun Kasau, Marsekal TNI Fadjar Prasetyo menyimpulkan TNI Angkatan Udara harus memiliki teknologi dengan pendekatan akuisisi (acquisition) senjata modern, yang berorientasi pada kesisteman. Kata kunci penting dalam buku tersebut ialah akuisisi kesisteman sebagai solusi penguasaan teknologi. Pendekatan akuisisi ini seyogianya berlaku baik untuk Angkatan Darat maupun Angkatan Laut. 

Sayangnya, alih-alih dilaksanakan melalui proses akuisisi, pembangunan kekuatan pertahanan Indonesia masih dilaksanakan melalui proses pengadaan (procurement). Hal ini tergambar baik dari regulasi yang dijalankan maupun organisasi pelaksananya. 

Padahal, proses pengadaan menyebabkan Indonesia semakin tergantung pada produksi luar negeri. Data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 1950 sampai dengan 2020 menunjukkan rasio produk pertahanan impor terus meningkat, hingga sebesar 97,5%. Angka tersebut menunjukkan kondisi kritis bagi negara sebesar Indonesia. 

Pengadaan dan Akuisisi 

Sejatinya, pengadaan merupakan salah satu kegiatan dalam proses akuisisi. Akuisisi adalah proses pembangunan kekuatan pertahanan yang holistis, serta mempertimbangkan seluruh aspek sesuai siklus sistem. Akuisisi, dilaksanakan dengan prinsip rekayasa sistem (system engineering) sehingga seluruh prosesnya rasional, logis, komprehensif, terukur, dan terdokumentasi. 

Proses akuisisi meliputi kegiatan konseptualisasi, inisiasi, riset, desain, pengembangan, tes, evaluasi, kontrak pengadaan, produksi, pengiriman, dukungan logistik, modifi kasi, hingga penghapusan. Kegiatan riset dan inovasi pertahanan yang dilepaskan BRIN, termasuk ke dalam proses akuisisi. 

Sementara itu, proses pengadaan hanya terbatas pada kegiatan pembelian barang/jasa yang menitikberatkan pada kegiatan pengusulan kebutuhan, pemilihan barang, pencarian pemasok, negosiasi, manajemen kontrak, transaksi pembelian, serta penjaminan purnajual yang cenderung terbatas. 

Pembangunan kekuatan pertahanan berbasis pengadaan ini memiliki risiko yang sangat besar. Risiko jangka panjang ialah kesulitan dalam mendukung program ke mandirian teknologi dan industri per tahanan. Hal ini disebabkan oleh ofset dan transfer teknologi yang tidak tuntas sehingga tidak sinkron antara pengadaan, riset, dan kerja sama industri pertahan an. 

Risiko jangka pendek ialah ketidaksesuaian barang/jasa dengan kebutuhan satuan pengguna (user requirement), kesulitan mengukur kebutuhan operasional, pemeliharaan, hingga penghapusan, serta rendah interoperabilitas, dan ketidaksesuaian protokol antara satu sistem dan yang lainnya.     

Akuisisi Pertahanan Korsel 

Korea Selatan dapat dijadikan referensi keberhasilan reformasi sistem akuisisi pertahanan. Awalnya, pembangunan kekuatan pertahanan Korea Selatan tidak transparan, manajemen organisasi tidak terintegrasi, penggunaan anggaran yang tidak rasional, serta kompetisi industri pertahanan yang lemah dan tidak efisien. 

Setelah reformasi dan transisi selama tiga tahun, Defense Acquisition and Program Administration (DAPA) diresmikan 1 Januari 2006. DAPA menganut model centralized government organization. Model ini menjadikan DAPA sebagai lembaga pusat pembangunan kekuatan pertahanan di bawah Kemenhan. 

DAPA melaksanakan pembelian strategis, pengelolaan skema ofset dan transfer teknologi, lokalisasi riset dan pengembangan teknologi, serta promosi teknologi pertahanan ke dunia internasional. 

Melalui strategi ini, Korea Selatan berhasil mencapai kemandirian teknologi pertahanan dalam waktu singkat. Bahkan, hanya dalam waktu sembilan tahun sejak DAPA didirikan, nilai ekspor materiel pertahanannya naik signifikan dari US$253 juta menjadi US$3.541 juta.     

Manfaatkan Momentum BRIN 

Teknologi dan industri pertahanan saat ini memasuki era sistem kompleks yang sudah tidak dapat diselesaikan dengan proses pengadaan. 

Kompleksitas ini tergambarkan dengan peperangan multidomain yang tidak lagi hanya berada di darat, laut, dan udara, tetapi juga berada pada domain antariksa dan siber, yang kelimanya saling beririsan. 

Kompleksitas ini semakin menantang, yakni konfl ik bukan lagi berada pada perang konvensional, melainkan beralih pada perang hibrida, asimetris, dan proksi. 

Momentum pemisahan riset dan inovasi antara BRIN untuk keperluan sipil dan Kemenhan untuk keperluan pertahanan harus dimanfaatkan untuk mereformasi proses pengadaan menjadi sistem akuisisi pertahanan. Optimalisasi sumber daya di tengah keterbatasan yang dimiliki Indonesia harus menjadi pertimbangan utama. 

Salah satunya dengan mengintegrasikan seluruh lembaga serta satuan Kemenhan dan TNI yang telah ada dan terkait dengan fungsi akuisisi menjadi Lembaga Akuisisi Pertahanan (LAP) di bawah Kemenhan. 

Lembaga dan satuan tersebut, di antaranya KKIP, Balitbang Kemenhan, Puslaik Kemenhan, Pusjianstra TNI, Babek TNI, Dislitbang Angkatan, dan lain sebagainya. Diperlukan keinginan politik yang kuat dari pemangku kepentingan, untuk menjalankan reformasi ini. 

Tidak ada jalan lain untuk dapat mencapai kemandirian teknologi dan industri pertahanan, selain melalui akuisisi pertahanan.

Sumber: https://mediaindonesia.com/opini/466934/brin-momentum-membangun-akuisisi-pertahanan  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun