*(REPOST) Opini Republika, 8 November 2018
Empat belas tahun sejak pertama kali dilaksanakan, IndoDefence kembali digelar tahun ini. IndoDefence seharusnya menjadi katalis perkembangan tekindhan (teknologi dan industri pertahanan) untuk kemandirian pengadaan alutsista (alat utama sistem senjata).Â
Namun, sepertinya harapan ini tidak akan tercapai dalam waktu dekat. Padahal, dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, Korea Selatan menjalankan strategi yang mampu menjadikannya negara eksportir alutsista, termasuk ke Indonesia.
IndoDefence saja tidak cukup, Indonesia memerlukan strategi tambahan. Saat ini, kita boleh berbangga atas pencapaian pengembangan medium tank, kapal selam, hingga kerjasama pesawat tempur.Â
Namun pencapaian tersebut masih dibayangi masalah kronis yaitu lambatnya penguasaan tekindhan. Jika masalah ini tidak diselesaikan, selamanya kemampuan tekindhan Indonesia akan tertinggal.
PermasalahanÂ
Penyebab pertama lambatnya penguasaan tekindhan adalah lemahnya regulasi sistem akuisisi pertahanan. Hal ini dapat dilihat dari pertentangan antar regulasi, kurangnya sinergi, koordinasi tidak efektif, dan persaingan antarsatuan.Â
Sebagai contoh, KKIP (Komite Kebijakan Industri Pertahanan) yang dibentuk oleh UU Nomor 16 Tahun 2012 dan Perpres Nomor 59 Tahun 2013 untuk mengawal perkembangan tekindhan, justru menjelma menjadi organisasi yang serbatanggung.Â
Dalam melaksanakan fungsinya untuk merumuskan dan mengevaluasi kebijakan industri pertahanan, tugas dan wewenang KKIP hanya terbatas pada perumusan, koordinasi, sinkronisasi, dan evaluasi kebijakan.Â
Sedangkan untuk menjalankan kebijakan tersebut, KKIP tidak memiliki kewenangan untuk memberikan reward and punishment kepada institusi dalam lingkup kerjanya.Â
Di sisi lain, KKIP adalah organisasi lintas kementerian dan lembaga yang gemuk sehingga menjadikannya kompromistis dan sulit merumuskan kebijakan yang fokus dan strategis.Â