Mohon tunggu...
Yediel Lase
Yediel Lase Mohon Tunggu... -

Yediel Lase

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Remisi Koruptor dan Efek Jera

23 September 2011   10:24 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa, 20 September 2011, tayangan Jakarta Lawyers Club yang dipimpin oleh Karni Ilyas membahas tentang remisi bagi para koruptor. Saya sendiri hanya mengikuti separuh pertama tayangan tersebut. Jika anda juga menyaksikan acara tersebut, anda pasti mengetahui bahwa kebanyakan para peserta diskusi tersebut menyetujui pemberian remisi bagi para koruptor. Setidaknya pendapat tersebut muncul dari Menteri Hukum dan Ham, Patrialis Akbar, Mantan Menkunham, Yusril Izha Mahendra, Dirjen Pemasyarkatan dan mantan Dirjen Pemasyarakatan, para lawyer seperti Hotma Sitompul, dan beberapa mantan narapidana.

Alasan yang disampaikan para tokoh di atas yaitu teori yang dianut oleh Indonesia dalam mempidanakan bukanlah teori pembalasan tetapi teori pembinaan. Artinya tujuan pemenjaraan bukanlah untuk melakukan pembalasan atas kejahatan seorang narapidana melainkan untuk membina narapidana sehingga dapat kembali dalam masyarakat. Hal tersebut juga yang menjadikan istilah penjara diganti dengan istilah lembaga pemasyarakatan.

Selain itu alasan lain yang diungkapkan adalah terkait HAM yaitu bahwa pemberian remisi adalah hak narapidana dan negara harus menjamin hak tersebut. Menurut para tokoh tersebut, penghapusan remisi bagi para narapidana koruptor adalah pelanggaran HAM. Mereka berpendapat bahwa para narapidana koruptor harus memperoleh perlakuan yang sama dengan para narapidana lain. Perbedaan perlakuan antara  narapidana tersebut hanyalah pada saat vonis dijatuhkan selanjutnya ketika para narapidana memasuki LP negara harus melakukan perlakuan yang sama kepada setiap narapidana baik narapidana koruptor, narkoba dan narapidana lain.  Dengan kata lain, jika narapidana non koruptor berhak menerima remisi maka narapidana koruptor pun haruslah memiliki hak yang sama juga.

Pandangan diatas melupakan beberapa fakta yaitu:

Pertama, bahwa di Indonesia, kejahatan korupsi telah termasuk dalam kategori extraordinary crime (Kejahatan Luar Biasa).  Korupsi di Indonesia telah mewabah secara luar biasa, telah menjangkiti generasi tua maupun muda, telah menjadi budaya bahkan dianggap hal lumrah. Lihat saja korupsi dalam proyek pengadaan barang/jasa pemerintah, pengusaha sudah tahu sama tahu bahwa jika tidak ada fee maka tidak mungkin memenangkan tender. Atau korupsi dalam penanganan kasus hukum, konon sekalipun pihak yang berpekara dapat memenangkan perkara namun biaya yang dikeluarkan untuk setoran kepada penegak hukum tidak sedikit.

Selain itu korupsi memiliki efek yang masif dan berantai. Korupsi merusak seluruh sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang meliputi bidang ekonomi, sosial, hak asasi manusia, politik dan demokrasi. Korupsi dana pendidikan misalnya, mengakibatkan tingka pengangguran terus bertambah, kemudian menjadi pelaku kriminal pencurian/penjambretan, anak-anak SD yang malu karena tidak membayar uang sekolah melakukan bunuh diri. Ribuan orang menjadi tenaga kerja di luar negeri, ditipu calo dan disiksa majikannya.

Koruptor mengisap hidup rakyat kecil. Koruptor mengambil hak mereka untuk sekolah, hak mereka untuk berdagang, hak merek untuk bekerja, hak mereka untuk mendapatkan layanan, hak mereka untuk kesehatan.

Sebagai extraordinary crime perlakuanterhadap kasus korupsi dan koruptor haruslah dibedakan dengan perlakuan terhadap kasus kriminal lainnya. Pembentukan institusi KPK dan Peradilan Tipikor adalah bukti bahwa pemerintah melakukan perlakuan khusus untuk kejahatan korupsi. Jadi sangatlah dimungkinkan jika berdasarkan pertimbangan keluarbiasaan kasus korupsi tersebut, perlakuan terhadap narapidana koruptor dikhususkan dengan perlakuan narapidana kasus lainnya dengan cara tidak memberikan remisi.

Kedua, bahwa selain untuk tujuan pembinaan, pemidanaan seharusnya juga bertujuan untuk pemberian efek jera. Pemidanaan para koruptor selayaknya menimbulkan dampak yang mengakibatkan seseorang yang berkeinginan melakukan tindak pidana korupsi serupa mengurungkan niatnya setelah mengetahui beratnya sanksi yang dijatuhkan terhadap pelaku tindakan tersebut.

Memang, pemberian efek jera bisa jadi tidak efektif jika penanganan kasus korupsi masih tebang pilih, hanya menyentuh pelaku kecil dan tidak menyentuh pelaku “kakap”. Oleh karena itu syarat agar pemidanaan koruptor dapat menghasilkan efek jera yaitu jika pelaku-pelaku besar yang memiliki kekuasaan dapat tersentuh oleh proses penegakan hukum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun