Mohon tunggu...
Y-D. Anugrahbayu
Y-D. Anugrahbayu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Halaman ini berisi tulisan-tulisan iseng yang pernah saya buat. :)\r\nDijamin berat :p

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Syahid vs Martir?

7 Februari 2015   05:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:40 1673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Artikel berjudul “Pahlawan: Syahadah atau Martir” karangan Husein Ja’far Al-Hadar (Majalah Tempo, 2-8 Desember 2013) pantas mendapat perhatian. Dalam artikel tersebut, Husein membedakan kata “syahid” dan “martir”. Telaah beliau memberikan pencerahan yang besar artinya, terutama untuk menjernihkan pemahaman kita tentang “syahid” yang kerap disalahartikan, misalnya untuk menyebut para pelaku bom bunuh diri. Mengikuti Ali Syariati dalam bukunya, Martyrdom: Arise and Bear Witness, Husein menggali kata “syahid” dan “martir” sampai ke bahasa aslinya: “syahid” berasal dari syahadah (Arab), sedangkan “martir” berasal dari martyr yang kemudian dikaitkan dengan mortal (Inggris). Karena itu, menurut beliau, perlulah menarik garis batas, bahkan mempertentangkan kata “syahid” dan “martir”.

Pada titik ini, saya melihat ada ketidakseimbangan. Jika kata “syahid” digali sampai bahasa Arab, mengapa kata “martir” hanya digali sampai bahasa Inggris? Bagaimana mungkin, dalam suatu telaah tentang kata martyr, bahasa Yunani sama sekali tidak muncul? Ketidakseimbangan ini kemudian menjadi titik-tolak untuk membuat pertentangan: pertama-tama antara syahadah dan martyr, kemudian berkembang menjadi “perspektif pahlawan” dan “perspektif korban”. Semakin jauh lagi, karena mendasarkan martyr pada mortal, Husein menyatakan bahwa tepatlah kalau para pelaku bom bunuh diri disebut sebagai martir.

Menurut hemat saya, pertentangan itu sesungguhnya tidak perlu kalau saja kata martyr digali sampai ke bahasa Yunani, yaitu martus-martur (μαρτυς-μαρτυρ).Kamus Yunani-Prancis karya Anatole Bailly mencatat bahwa kata tersebut secara harafiah berarti “saksi”, sehingga kata-kerja marturomai (μαρτυρομαι)dapat berarti “memanggil menjadi saksi” atau “memberi kesaksian”, dan kata-benda marturion (μαρτυριον) berarti “bukti” atau “saksi”. Encyclopedia Britannica juga memberikan uraian bagus tentang konsep kemartiran (martyrdom)dalam agama-agama monoteistik (Yahudi, Kristianitas, Islam). Dalam uraian tentang Islam, kata shahîd muncul sebagai paralel dari martyr dalam tradisi Judeo-Kristiani. Artinya sama, yaitu “saksi”.

Jika kemudian martyr mengacu pada orang yang lebih memilih mati daripada menyangkal keyakinannya, itu karena dalam sejarah Kristianitas awal, memang tak sedikit orang Kristen yang mati karena mempertahankan iman mereka. Meskipun kemartiran dapat ditemukan sejak zaman Perjanjian Baru (lihat misalnya, kemartiran Stefanus dalam Kisah Para Rasul bab 6-7), suatu periode dalam sejarah Kristianitas yang sering disebut zaman kemartiran (the age of martyrdom) mulai secara terstruktur sejak tahun 64 pada zaman pemerintahan Kaisar Nero. Pada masa ini, Kristianitas mengalami penganiayaan oleh Kekaisaran Roma. Pada masa inilah Kristianitas dianugerahi banyak saksi (martir) yang memperlihatkan keteguhan iman mereka, bahkan ketika hidup menjadi taruhannya. Baru pada tahun 313, Edik Milan dari Kaisar Konstantinus mengakhiri masa penganiayaan tersebut, meskipun kemartiran Kristen masih dapat ditemukan sepanjang sejarah.

Melihat latar-belakang sejarah itu, jika ada suatu kelompok orang kudus (saints) yang dalam lingkungan agama Katolik disebut “martir”, itu bukan pertama-tama karena mereka adalah korban tindakan kekerasan. Santo Stefanus, Santo Yakobus, Santo Polikarpus, Santa Perpetua dan Felicitas, Santa Agnes, mereka semua disebut “martir” bukan pertama-tama karena mati sebagai korban, melainkan tampil sebagai saksi kesetiaan kepada Tuhan. Para martir, seperti juga mereka yang mati syahid, rela mempersembahkan hidup mereka kepada Tuhan, dan dengan demikian menjadi teladan dan inspirasi bagi generasi berikutnya. Peribahasa Latin, sanguis martyrum, semen Chistianorum (darah para martir adalah benih orang-orang Kristen) merangkum pokok ini. Akan tetapi, kemartiran bukanlah sesuatu yang harus dicari-cari. Manusia tak berhak menggapai kemartiran, kecuali Tuhan memberi. Kemartiran adalah anugerah. Mereka yang mencari-cari “kemartiran” (seperti para pelaku bom bunuh diri) sesungguhnya justru tidak memperjuangkan kemuliaan Tuhan, melainkan kemuliaan diri sendiri.

Dari sudut ini, jika para pelaku bom bunuh diri tak dapat disebut syahid, seharusnya mereka juga tak dapat disebut martyr. Sebagaimana syahid tidak menyuarakan kematian, demikian pula martyr, dalam makna asalinya, tidak pertama-tama berarti kematian. Karena itu, daripada mempertentangkan syahid dan martyr, saya cenderung mendekatkan keduanya. Jika memang ada perbedaan, tak perlu dibuat berlebihan sehingga menjadi pertentangan. Dengan demikian, dapatlah kita bayangkan syahid dan martyr berangkulan, sama-sama mengajarkan kepada kita tentang semangat rela berkorban, mengajak kita untuk lebih mementingkan Tuhan dan sesama daripada diri sendiri. Dengan cara itulah manusia menghayati hidup sebagai saksi Tuhan, sebagaimana syahadah dan martur menurut makna asalinya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun