Mohon tunggu...
Y-D. Anugrahbayu
Y-D. Anugrahbayu Mohon Tunggu... wiraswasta -

Halaman ini berisi tulisan-tulisan iseng yang pernah saya buat. :)\r\nDijamin berat :p

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Allah Maha Besar!

16 Juli 2015   22:43 Diperbarui: 16 Juli 2015   22:43 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Takbir sedang berkumandang ketika saya menulis huruf-huruf ini. “Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah!” Saya memejamkan mata, mencoba meresapi dalam-dalam seruan yang dikumandangkan tanpa henti itu. Ada nada kemenangan, nada suka cita. Segeralah terasa ada sesuatu yang membuka selumbar di mata batin saya: seruan itu tidak berasal dari dunia ini.

Sulitlah memungkiri kenyataan bahwa seruan itu memang terlalu bijaksana. Ia mengumandangkan keyakinan yang hanya bisa kita temukan dalam dongeng: pada akhirnya, keadilan dan kebenaran akan menang. Hampir semua dongeng anak-anak mengisahkan kebijaksanaan itu. Mengapa anak-anak? Barangkali karena hanya jiwa-jiwa yang masih terbukalah yang sanggup menerima kebijaksanaan itu. Kita, orang dewasa, cenderung sulit percaya bahwa keadilan dan kebenaran akan menang. Sejarah dan hidup sehari-hari telah memberi kesaksian yang terlalu banyak: alih-alih menang, orang adil dan benar justru diinjak-injak.

Sekitar 2400 tahun yang lalu, Plato dalam karya agungnya, Politeia, telah menyadari kenyataan pahit itu. Orang yang sudah memandang “matahari” (lambang kebenaran), ketika kembali lagi ke dalam gua dan mengajak kawan-kawannya untuk naik, kemungkinan besar akan ditertawakan dan bahkan dibunuh. Terkenanglah saya akan para pejuang kebenaran dan keadilan sepanjang sejarah umat manusia. Kebanyakan dari mereka justru menderita, bahkan dibunuh. Hidup sehari-hari menunjukkan kegelapan yang sama: kalau tak ada polisi, untuk apa berhenti di lampu merah? Alih-alih selamat, kendaraan-kendaraan di belakang justru meneriakkan klakson!

Demikianlah seruan “Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah” segera berbenturan dengan kenyataan yang pahit: di negeri para preman ini, keadilan dan kebenaran terinjak-injak. Kita nyaris tak peduli lagi siapa yang adil dan benar. Keadilan dan kebenaran menjadi tak lebih dari sekadar permainan silat lidah dan kekuasaan. Siapa punya senjata, siapa omong keras, siapa kelihatan logis, siapa yang banyak, dialah yang menang. Itu belum apa-apa. Masih ada yang lebih gawat: mereka yang kita harapkan, melalui hukum, menegakkan keadilan dan kebenaran, justru berkhianat.

Barangkali kita sudah terlalu muak melihat segala kepahitan itu. Mungkin juga kita merasa tak punya urusan dengan keadilan dan kebenaran. Akan tetapi, melihat tontonan sehari-hari seperti itu, menyaksikan bagaimana pejabat busuk di negeri ini tak punya lagi rasa malu, diam-diam hati kecil kita berkata: ya sudah, kalau mereka saja seperti itu, berarti tak apa-apa juga kalau saya korupsi.

“Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah!” Semoga seruan itu bukan hanya ungkapan pesta-pesta, sebab sesungguhnya ia merupakan harapan, jawaban telak atas kegelisahan umat manusia segala zaman: mengapa hidup adil di tengah dunia yang tidak adil? Di tengah keputus-asaan seperti itulah kita pantas berseru, “Allah Maha Besar, tiada tuhan selain Allah!” Namun hendaklah selalu kita ingat, seruan itu tidak berasal dari dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun