Ada satu pengalaman yang tak akan saya lupakan. Setiap kali bepergian keluar kota, saya terbiasa mengingat tanggal-waktu berangkat dan pulang. Sampai pengalaman itu terjadi, tak pernah saya lupa akan hari-hari “penting” itu, dan selama itu pula saya tak pernah mengalami kejadian menyedihkan seperti ketinggalan kereta atau pesawat atau bus atau travel atau apa saja.
Suatu saat, ketika saya liburan di Yogya, hal menyedihkan itu terjadi. Ketika saya sedang berbincang-bincang di teras rumah dengan keluarga, sebuah pesan singkat masuk di telepon seluler saya. Pesan singkat itu dikirim oleh seorang sahabat. Bunyinya, “Kamu di mana? Aku udah di kereta.” Saya kaget sekali, sekaligus amat sedih. Itu adalah pengalaman pertama kami naik kereta bersama dari Jakarta ke Yogya, dan kemudian, menurut rencana, kembali dari Yogya ke Jakarta. Seingat saya, kereta yang akan membawa kami kembali ke Jakarta akan berangkat besok. Ternyata ingatan saya keliru. Setelah menerima pesan singkat itu, saya tak kuasa menahan tangis. Saya segera masuk ke dalam kamar, kemudian menelepon sahabat saya itu, merengek-rengek minta maaf, menangis, dan lain sebagainya. Saya sedih sekali. Apa yang sudah kami rencanakan jauh-jauh hari, menempuh perjalanan bersama dari Yogya ke Jakarta, bercengkerama di dalam kereta, ini dan itu, segalanya runtuh begitu saja, hanya karena saya terlalu mengandalkan ingatan.
“Penyesalan selalu datang terlambat,” begitu kata orang, dan itu amat tepat. Kata “penyesalan”, bagi orang yang pernah mengalaminya, bisa jadi amat menusuk. Namun penyesalan hanya mungkin menjadi penyesalan kalau ada “keterlambatan”. Kalau tidak “terlambat”, mustahillah kita akan menyesal. Kita hanya mungkin menyesali apa yang sudah berlalu, apa yang terlanjur terjadi, apa yang terlambat.
Terlambat datang ke stasiun, terlambat masuk sekolah, barangkali belum terlalu menusuk. Namun cukuplah kita melihat orang-orang di sekitar kita (atau bahkan diri kita sendiri) untuk melihat bagaimana keterlambatan bisa menjadi suatu pengalaman yang tak tertanggungkan: terlambat membalas cinta orang tua, terlambat pulang kampung sementara seorang anggota keluarga terlanjur wafat, terlambat menyadari bahwa narkoba itu menghancurkan, terlambat menyampaikan sesuatu yang amat penting, dsb.
Dalam keterlambatan, kita berjumpa dengan apa yang berada di luar ingatan, perhitungan, prasangka, perkiraan, dugaan, atau harapan. Kita dihadapkan pada apa yang sama sekali lain. Karena sama sekali lain, kita cenderung kaget ketika menghadapinya. Kita terhenyak, seakan-akan baru saja terjaga dari tidur yang begitu lelap. Tiba-tiba kita sadar bahwa apa yang selama ini kita perkirakan ternyata keliru. Tampaknya itulah pelajaran paling berharga yang dapat dipetik dari keterlambatan: keterlambatan mewahyukan kebenaran.
Barangkali itulah yang ada dalam benak Emmanuel Levinas ketika ia mengatakan bahwa pengakuan akan yang Lain selalu terlambat. Kita terlalu terbiasa menilai orang lain atas dasar suku, agama, status sosial, bentuk fisik, tingkat pendidikan, apa saja. Kita terbiasa menjejalkan orang lain ke dalam kerangka-kerangka, prasangka-prasangka yang kita tetapkan sendiri. Levinas menyebutnya “totalisasi”. Dalam totalisasi, yang Lain (l’Autrui) dijejalkan ke dalam yang Sama (le Même). Bagi Levinas, itulah sumber segala kekerasan.
Pemikir Yahudi itu mengajak kita membuka telinga lebar-lebar terhadap apa yang terdengar ketika kita berjumpa dengan “wajah” (le visage) orang lain. Wajah menyiratkan perintah, “Engkau tak boleh membunuh” (Thou shall not kill). “Membunuh” tak harus dimengerti sebagai “mengakhiri hidup”. Setiap kali kita mengacuhkan orang lain, sesungguhnya kita sudah “membunuh”-nya. Perintah itu datang tiba-tiba, tanpa pernah mampu saya perkirakan sebelumnya. Perintah itu mendahului segala totalisasi, mendahului pikiran saya. Karena itu, pemahaman saya akan yang Lain selalu terlambat.
Mungkinkah mengatasi keterlambatan? Hampir tidak. Segala antisipasi tidak mungkin mengatasi keterlambatan kita mengakui yang Lain. Pada titik inilah Levinas seakan-akan memperoleh wahyu: wajah orang lain adalah “jejak” dari Yang Tak Terbatas. Karena Tak Terbatas, Ia adalah “Yang Lain” (l’Autre). Apakah di sini Levinas berbicara tentang Tuhan? Mungkin. Tetapi perkenankanlah saya kembali menekankan keterlambatan: tidakkah kita selalu terlambat melihat jejak? Tidakkah selalu ada yang luput setiap kali kita melihat jejak? Barangkali Levinas berbicara terlalu tinggi. Alih-alih melihat orang lain sebagai jejak dari Yang Tak Terbatas, kita bahkan tidak melihat bahwa jejak itu ada.
Akan tetapi di tengah masyarakat yang semakin curiga satu sama lain, semakin sibuk dengan gadget masing-masing, semakin fanatik dengan agama masing-masing, dan suasana politik yang saling sikut, jasa Levinas kiranya tidaklah kecil. Kebijaksanaan yang ia ajarkan sederhana sekaligus hakiki: semakin sering kita menganggap sepi orang lain, semakin besarlah keterlambatan kita.
Ketika Levinas menyebut Sang Aku sebagai “tawanan” (hostage) Yang Lain, dan bahwa aku tak hanya bertanggung jawab kepada yang Lain, melainkan juga kepada orang-orang yang tak pernah kutemui, ia seakan-akan mengajarkan kita untuk hidup dalam kewaspadaan yang nyaris paranoid. “Semakin saya adil,” katanya, “semakin saya merasa bersalah.”