Tahun 2013 yang lalu, tanggal 7 November tepatnya, seandainya masih hidup, Albert Camus mencapai usia seratus tahun. Lahir dari keluarga miskin, lagi yatim (ayahnya wafat dalam tugas wajib militer), tumbuh bersama penyakit tuberculosis yang kala itu belum ada obatnya, mengalami sendiri hiruk-pikuk Perang Dunia II, Perang Dingin, dan Perang Kemerdekaan Aljazair, lahirlah dari tangannya sejumlah esai, cerita pendek, dan novel yang membentangkan suatu peziarahan mencari makna hidup. Barangkali itu sebabnya, banyak orang muda menggemari sastrawan Prancis kelahiran Aljazair yang memenangkan Hadiah Nobel Sastra tahun 1957 itu.
Di antara karya-karyanya, Le Mythe de Sisyphe (Mitos Sisyphus, 1947) pantas mendapat tempat khusus. Buku itu bagaikan pintu gerbang: tanpanya, kita tak mungkin memahami Camus. Ditulis pada masa pendudukan Jerman (Nazi) atas Prancis, Mitos Sisyphus sarat dengan renungan-renungan tentang sisi-sisi kehidupan yang tragis. Goresan paragraf-paragraf awalnya tak terlupakan: “Hanya ada satu masalah filosofis yang serius benar-benar, yakni bunuh diri. Menilai apakah hidup layak dijalani atau tidak sama dengan menjawab pertanyaan mendasar filsafat. Sisanya ... belakangan” (Il n’y a qu’un problème philosophique vraiment sérieux: c’est le suicide. Juger que la vie vaut ou ne vaut pas la peine d’être vécue, c’est répondre à la question fondamentale de la philosophie. Le reste ... vient ensuite).
Dari situ terdengar gema hidup yang absurd. Laju hidup sehari-hari terhenti. Manusia diam, tak tahu harus berbuat apa. Tiba-tiba hidup terasa aneh, tak masuk akal. Tanpa pernah meminta atau mengharapkan, tanpa pernah tahu mengapa dan untuk apa, manusia terlempar begitu saja ke dunia dengan segala hiruk-pikuknya. Dan pada suatu saat dan cara yang tak pernah pasti, kematian tiba. Layakkah hidup yang datang dan pergi secara sewenang-wenang itu dijalani? “Apa yang absurd,” tulis Camus, “adalah konfrontasi antara (dunia) yang irasional dan kerinduan hebat akan kejelasan yang panggilannya menggema di kedalaman hati manusia” (Ce qui est absurde, c’est la confrontation de cet irrationnel et de ce désir éperdu de clarté dont l’appel résonne au plus profond de l’homme).
Alasan untuk hidup – itulah kebutuhan dasariah setiap jiwa manusia. Banyak orang bunuh diri karena merasa hidupnya tak lagi punya arah dan arti. Masalahnya, dalam suatu dunia yang bagi Camus tanpa Tuhan (dan segala yang di-tuhan-kan), adakah arah dan arti itu?
Camus tak menjawab ada atau tiada. Ia hanya berkata, “Perang tak dapat disangkal. Orang harus menghayatinya atau mati karenanya. Begitu pula dengan absurditas: ini adalah soal bernafas bersamanya, ... . Dalam arti itu kebahagiaan absurd par excellence adalah kreasi” (On ne nie pas la guerre. Il faut en mourir ou en vivre. Ainsi de l’absurde: il s’agit de respirer avec lui ... . A cet égard, le joie absurde par excellence, c’est la création). Manusia memancarkan keagungannya manakala ia hidup bukan meskipun, melainkan justru karena hidup itu absurd. Absurditas tak melumpuhkan, melainkan justru membangkitkan gairah untuk mencipta. Itu sebabnya, Camus suka menempatkan diri sebagai seniman: mengolah absurditas menjadi karya seni yang kreatif. Dalam arti itulah absurditas justru menggairahkan, sebab “jika dunia ini jelas,” katanya, “tak akan ada seni” (Si le monde était clair, l’art ne serait pas).
“Berontak” (la révolté), itulah sikap Camus di hadapan absurditas. Namun harus segera ditambahkan: ia tak hendak menjungkirbalikkan absurditas menjadi kepenuhan makna. Makna hidup mungkin dicapai, namun hanya untuk sementara. Setiap pencapaian makna membuka cakrawala absurditas yang baru. Untuk melukiskannya, saya menawarkan sebuah kata Jawa: laku. Kata itudapat berarti “berjalan”, “bergulir”, tetapi juga dalam konteks tertentu “puasa”, “ziarah”, “mati-raga” atau bahkan “derita”. Dalam laku, manusia memberontak sekaligus menerima dengan sabar apa saja yang menghantam dirinya. Lebih jauh lagi, ia mengolahnya, kemudian menemukan cara pandang baru, mencipta sesuatu yang baru. Berontak adalah laku.
Tokoh Sisyphus, anak Dewa Angin, raja Korintus dalam mitologi Yunani melukiskan laku seperti itu. Di tangan Camus, ia memadukan secara khas perilaku nakal, ngèyèl, mbeling, sekaligus tabah, setia, dan lebih-lebih: bahagia.
Syahdan, karena menyalahgunakan kekuasaan dan melakukan apa saja yang zalim, Sisyphus dihukum masuk neraka. Di neraka pun ia masih mbeling. Dengan lihai ditipunya para dewa, dan ia minta supaya diizinkan pergi sebentar ke bumi, dengan janji akan kembali lagi ke neraka.
“Namun ketika ia melihat kembali wajah dunia ini, menikmati air dan matahari, bebatuan yang hangat dan lautan,” demikian Camus berkisah, “ia tak mau lagi kembali kepada kegelapan neraka” (quand il eut de nouveau revu le visage de ce monde, goûte l’eau et le soleil, les pierres chaudes et la mer, il ne voulut plus retourner dans l’ombre infernale). Di mata para dewa, itulah kejahatan Sisyphus yang paling berat: “hinaannya kepada para dewa, kebenciannya terhadap kematian, dan gairahnya akan kehidupan” (son mépris des dieux, sa haine de la mort et sa passion pour la vie).
Para dewa tak mau tertipu untuk kedua kalinya. Mereka menjatuhkan kepada Sisyphus “siksaan tak terperikan di mana segala yang dikerjakan tak menghasilkan apa-apa” (ce supplice indicible où tout l'être s'emploie à ne rien achever). Sisyphus dihukum tanpa ampun: mendorong sebuah batu karang ke puncak gunung, dan setelah tiba di puncak, batu terguling kembali ke bawah. Begitu seterusnya, dan Sisyphus harus selalu mengulang lagi mendorong batu karangnya. Tiada hukuman yang lebih mengerikan daripada suatu “usaha yang sia-sia dan tanpa harapan” (le travail inutile et sans espoir). Itulah “harga yang harus dibayar demi gairah akan bumi ini” (le prix qu'il faut payer pour les passions de cette terre).
Namun Camus menutup kisah Sisyphus dengan senyum yang barangkali sedikit angkuh. “Perjuangan menuju ke puncak itu sendiri,” tulisnya, “sudah cukup mengisi hati manusia; orang harus membayangkan Sisyphus bahagia” (La lutte elle-même vers les sommets suffit à remplir un cœur d'homme; il faut imaginer Sisyphe heureux). Kita tercengang memandang senyum seperti itu: bahagia untuk apa?
Dari sudut kegunaan, tiada alasan untuk berbahagia. Namun barangkali itulah yang hendak dikatakan oleh Camus. Dalam hidup ini, ada sesuatu yang lebih berarti daripada sekadar kegunaan atau kesuksesan. Kepahlawanan Sisyphus ada di situ.
Di tengah masyarakat yang mengagung-agungkan kegunaan dan kesuksesan, menghalalkan segala cara untuk menggapai kemenangan, bahkan enggan mengakui kekalahan dan kesalahan serta apa saja yang pahit, agaknya kita perlu menengok Sisyphus yang sedang mendorong batu karangnya. Dan kita percaya Camus: ia bahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H