Banjir menyergap Jakarta. Tentu saja itu bukan sesuatu yang baru. Tanggapan orang-orang pun sama sekali tak baru. Ada yang mengeluh karena kegiatan sehari-hari terganggu. Ada yang menyalahkan pemerintah. Ada yang menyalahkan kebiasaan buruk masyarakat membuang sampah sembarangan. Ada yang menghibur diri, kemudian membuat lelucon-lelucon. Kemudian muncul kaum pengkritik lelucon: orang susah kok dibikin lelucon! Di tengah hiruk-pikuk tanggapan-tanggapan itu, wajib dicatat pula beberapa nyawa yang melayang karena bencana ini.
Luar biasakah itu? Ya, untuk saat ini. Banjir telah menghadirkan apa saja yang tak biasa, segala sesuatu yang berada di luar lingkaran keseharian kita. Tetapi diam-diam kita yakin: nanti setelah Imlek, hujan akan berhenti dan semua ini akan berakhir. Setelah itu, banjir menjadi tak lagi luar biasa. Hidup kita kembali menjadi biasa. Baru nanti setelah musim hujan datang lagi, kita memasuki keadaan luar biasa, lagi dan lagi. Itulah kenyataan. Begitu seterusnya.
Dengan demikian ternyata banjir bukanlah sesuatu yang luar biasa buat kita. Banjir tak lebih dari sekadar business as usual. Kita memang kaget, tetapi diam-diam tetap yakin bahwa segalanya akan berlalu (entah setelah Imlek atau kapan saja). Di balik segala caci-maki, sesungguhnya ada keyakinan bahwa banjir itu biasa. Selama ini toh begitu, dan selama itu pula banjir pergi kalau waktunya sudah tiba. “Bencana merupakan sesuatu yang lumrah,” tulis Albert Camus dalam La peste, “tetapi kita sukar mempercayainya apabila bencana itu menimpa diri kita.”
Barangkali Camus benar. Bencana itu lumrah. Banjir itu lumrah. Bertahun-tahun sudah begitu, bukan? Tetapi mengapa kita selalu kaget ketika ia datang mengetuk pintu rumah atau kost atau kontrakan atau gubuk atau apa saja yang kita tinggali? Semakin mengherankan lagi, setelah kaget dan banjir berlalu, kita kembali tenggelam dalam keseharian dan nyaris tak membuat suatu perubahan apapun.
Menelusuri keheranan itu hanya akan membawa kita berjalan berputar-putar: karena banjir dianggap lumrah, perubahan tidak ada; karena perubahan tidak ada, banjir dianggap lumrah. Tetapi demikianlah sifat manusia. Ia sukar berubah. Ia lebih menyukai segala sesuatu yang tetap dan biasa, apapun itu, bahkan bencana sekalipun. Banjir yang hanya datang sesekali barangkali akan masih memunculkan sikap berontak dan waspada. Tetapi banjir yang datang secara ajeg cenderung membuat manusia menjadi terbiasa. Dalam ke-“biasa”-an itu, sikap berontak dan waspada terbungkam dalam keputus-asaan. Manusia tinggal menerima saja cengkeraman dan nafas panjang malaikat bencana. Perlahan, ia menjadi jinak, terlelap, kemudian tenggelam.
Untunglah, bencana, seperti hidup kita ini, suka datang dan pergi secara sewenang-wenang. Ia bisa begitu saja pergi sebagaimana dulu juga begitu saja datang. Ketika ia pergi, kita seakan-akan terjaga, tersenyum, kemudian bersorak, “Banjir telah pergi!” Tetapi sesungguhnya kita tetap tenggelam: kembali pada keseharian, pada orang-orang tercinta, kendaraan, kemacetan, dan apa saja yang kita anggap biasa.
Ketika semua itu terjadi, saya terkenang Raymond Rambert yang dijemput oleh kekasihnya di pintu gerbang kota Oran setelah wabah sampar berakhir. Mereka saling memeluk erat-erat. Tetapi diam-diam Rambert ragu: inikah yang selama ini kudambakan? Keraguan itu ditinggalkan oleh Camus tanpa jawaban. Ia hanya “kelihatan percaya, bahwa sampar bisa datang dan pergi lagi tanpa mengubah apapun dalam hati manusia.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H