Mohon tunggu...
Maulana Humam Daffa
Maulana Humam Daffa Mohon Tunggu... -

Menikmati baca dan tulis sebagai sebuah kegiatan..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kisah Politik "Aulia Pohan"

10 Februari 2011   05:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:44 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tersandungnya Aulia Pohan dalam kasus aliran dana Yayayan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang mengalir ke DPR sebesar Rp 31,5 miliar masih menyisakan tanda tanya besar, apakah ada keterlibatan elit didalamnya???. Seperti dilansir Kompas, Pengacara Aulia Pohan, OC Kaligis menilai dalam kasus aliran dana Yayayan Pengemabangan Perbankan Indonesia (YPPI) salah. Karena dalam kasus tersebut negara tidak dirugikan. Sebab, uang yang digunakan tersebut adalah milik yayasan bukan milik bank Indonesia (BI).

Lebih lanjut OC Kaligis menjelaskan, berdasarkan pasal 41 PP 63 Tahun 2008 menyatakan, yayasan yang dananya berasal dari bantuan negara yang diberikan sebagai hibah, termasuk bantuan luar negeri dan atau sumbangan masyarakat yang diterima sebelum PP ini maka akan menjadi kekayaan yayasan. Dari aturan ini jelas, dana itu milik yayasan bukan BI. Dan jaksa menilai, uang yang dikeluarkan tersebut adalah dana BI. makanya dakwaan itu anggap salah oleh OC Kaligis cs. Kalau yayasan, menurutnya berarti terkait dengan ketua dan bendahara yayasan. Sementara, keempat terdakwa khususnya Aulia Pohan bukan termasuk pengurus yayasan, juga berdasarkan pasal 45 UU nomor 23 Tahun 1999 menyatakan, gubenrur, gubernur senior, Deputy dan atau pejabat BI lainnya tidak bisa dihukum karena kebijakan.

Dalam eksepsinya, Aulia Pohan mengatakan bahwa berdasarkan Pasal 1 Angka 1 dan Pasal 26 UU No 16/2001 jo UU No 28/2004 tentang Yayasan dan Yurisprudensi MARI Nomor 124K/Sip/1973 Tanggal 27 Juni 1973 kasus hukum YPPI adalah badan hukum perdata yang memiliki kekayaan atau keuangan tersendiri termasuk dalam tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangannya. Sedangkan berdasarkan Pasal 4 Ayat 3 UU No 23/1999 jo UU No 3/2004 status hukum BI adalah badan hukum publik yang memiliki hak dan kewajiban serta memiliki kekayaan dan keuangan tersendiri. Status tersebut juga memberikan kebebasan dalam tata cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan.

Laporan BPK Menyatakan Lain

Menurut laporan BPK, kaitannya dengan sumber dana yang dimiliki oleh YPPI, diatur dalam SK Direksi No 23-80/1991 tentang penyisihan 5 persen dari laba untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia perbankan. Pada kenyataannya kewajiban yang telah diatur dalam SK Direksi ternyata tak dilakukan, dalam arti bahwa tidak ada satupun bank yang menyerahkan kelebihan dana untuk pengembangan SDM. Dalam peraturan SK Direksi No 23-80/1991 tersebut secara jelas telah diatur bahwa setiap bank umum melakukan penyisihan sebesar lima persen dari laba bersih untuk digunakan bagi pengembangan SDM perbankan.

Dana tersebut dapat disumbangkan ke lembaga pendidikan yang melakukan pendidikan SDM perbankan atau jika tidak bisa disalurkan maka diserahkan pada Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Kemudian seiring dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, maka SK Direksi No 23-80/1991 tentang penyisihan 5 persen dari laba untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia perbankan diperbarui dengan SK No 31-330 tahun 1999. Dalam peraturan SK No 31-330 tahun 1999 yang mengubah poin kedua yaitu, jika dana hasil penyisihan laba tidak habis, maka dapat disalurkan pada tahun berikutnya.

Kenyataannya, dana YPPI tidak dipergunakan oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia perbankan. Hal ini terungkap pada pemeriksaan BPK pada tahun 2005 atas penggunaan dana YPPI oleh Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 100 miliar yang digunakan untuk diseminasi kepada DPR Rp31,5 miliar, dan Rp68,5 miliar untuk bantuan hukum mantan pimpinan BI. Dalam pemeriksaan, diketahui ada aset BI berupa tanah di Kemang, yang dibangun gedung milik YPPI, maka BPK meminta laporan keuangan YPPI dalam laporan keuangan BI. Dari hasil pemeriksaan diketahui pada awalnya bernama YLPPI, dan berubah nama pada Desember 2003 menjadi YPPI. Sehingga laporan keuangannya pun diubah menjadi YPPI. Dari sana terdapat penurunan aset yang cukup signifikan. Dari Rp 271 miliar menjadi Rp 179 miliar. Kemudian BPK melakukan pemeriksaan lanjutan pada tahun 2005-2006 mengenai penurunan aset.

Ternyata dari hasil pemeriksaan diketahui adanya penggunaan dana oleh BI Rp 100 miliar. Pencairan dana itu dilakukan beberapa kali antara Juni-Desember 2003. Pencairan dana itu tidak dicatat dan dilaporkan dalam laporan keuangan YPPI maupun laporan keuangan BI, karena adanya rekayasa pembukuan. Rekayasa pembukuan pada laporan keuangan YPPI dilakukan pada saat pengalihan bentuk badan hukumnya. Dari temuan tersebut, BPK memberikan waktu yang cukup bagi BI untuk menindaklanjuti penyelesaian dana yang diperoleh dari YPPI. Pemberian waktu tersebut dimaksudkan untuk menyelamatkan keuangan negara. Namun imbauan dan toleransi waktu yang diberikan oleh BPK tidak mendapat tanggapan dari BI. Oleh karena itu, BPK pada 14 November 2006 melaporkannya ke KPK untuk dicari penjelasannya.

Pihak BI menyatakan bahwa biaya untuk diseminasi dan untuk bantuan hukum mantan pimpinan BI semula tidak dianggarkan, karena kegiatannya di pertengahan 2003 dan pada waktu yang sama BI mengalami defisit anggaran. Sehingga melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) disepakati akan memakai dana dari YPPI, akan tetapi BI tidak mencatat pemakaian dana YPPI tersebut di pembukuan BI. Dalam rapat pada RDG tanggal 3 Juni 2003 ada yang mengatakan bahwa uang di YPPI itu milik BI karena sebelum tahun 2003, setiap tahun BI selalu memberikan sumbangan ke YPPI dan pada 1996 ada sumbangan sebesar Rp 20 miliar ke YPPI yang dikelola oleh orang BI dalam bentuk deposito. Pada 1997-1999 bunga deposito semakin tinggi hingga 90 persen, akibatnya, jumlahnya semakin bertambah dan pada tahun 2003 mencapai lebih dari Rp200 miliar. Karena yang mengelolanya orang BI maka dikatakanlah itu uang BI. Ternyata setelah diteliti dalam pembukuan, uang itu bukan milik BI. Namun, karena uangnya sudah terlanjur ke luar, maka pengembaliannya disebut sebagai sumbangan.

Terlepas dari berbagai alasan di atas, BPK menilai bahwa penggunaan dana YPPI oleh BI telah menyimpang dari sebagaimana diatur berdasarkan SK Direksi No 23-80/1991 jo. SK No 31-330 tahun 1999 bahwa 5 persen dari laba yang disisihkan dipergunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia perbankan, namun dalam pelaksanaannya malah dipergunakan untuk diseminasi kepada DPR dan untuk bantuan hukum mantan pimpinan BI. (mhd)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun