Pemerintah saat ini nampaknya sedang panik tak karuan, semenjak kehadiran Sri Mulyani dalam orbit kekuasaan sebagai Menteri Keuangan, tak ada tanda-tanda bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung membaik. Bahkan dengan segala kebijakan yang ia lakukan jauh dari semangat Nawacita yang Presiden Jokowi canangkan.
Sudah berapa banyak kebijakannya yang gagal dieksekusi dengan baik dalam menyelamatkan keuangan negara, yang ada malah negara digiring oleh Sri Mulyani menuju jurang kehancuran. Utang pemerintah pun terus bertambah. Berbagai kalangan mempertanyakan kredibilitas pemerintah dalam mengelola keuangan negara. Menumpuk dan terus bertambahnya utang itu disebabkan oleh Menteri Keuangaan, Sri Mulyani tidak cerdas dalam mengelola hutang ataupun menyelesaikan hutang yang kerap melilit Pemerintah Indonesia.
Akibat utang yang terus menumpuk dan kian bertambah, Sri Mulyani melakukan pemotongan anggaran kementerian atau lembaga negara lainnya. Akibatnya kebijakan Sri Mulyani ini, sangat menganggu proyek-proyek untuk kepentingan rakyat. Juga menjadi hambatan kepada pertumbuhan ekonomi.
Kiprah Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sejauh ini hanya fokus terhadap bagaimana mengejar penerimaan negara dari pajak sebanyak mungkin. Menurutnya, dengan penerimaan pajak yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Padahal yang utama adalah menggenjot pertumbuhan ekonomi agar lebih tinggi lagi. Sebab, dengan pertumbuhan tinggi dan semua sektor usaha bertumbuh positif, maka dengan sendirinya penerimaan dari pajak juga akan tinggi.
Setelah tahun lalu ada tax amnesty, tahun ini Menkeu mendorong Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 1 tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Serta Peraturan Menteri Keuangan tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Belum lagi kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen bagi petani tebu beberapa waktu lalu.
Setelah segala kebijakannya gagal total dalam mendongkrak perekonomian bangsa, Sri Mulyani yang miskin inovasi dan terobosan, mencoba mengambil langkah baru dengan melakukan 'operasi senyap' kedalam lembaga dewan rakyat. Sri Mulyani dan DPR tengah melakukan pembahasan mengenai RUU PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).
Pembahasan RUU PNBP yang terkesan diam-diam ini adalah upaya dari Sri Mulyani untuk kembali memeras rakyat Indonesia melalui pungutan-pungutan yang dilegitimasi oleh DPR. Dalam rancangan revisi yang menjadi inisiatif pemerintah atau Sri Mulyani, itu melingkupi jasa pelayanan pemerintah yang terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, keamanan dan ketertiban, ekonomi, lingkungan hidup, pariwisata dan budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.
Adapun dalam pasal 3 RUU PNPB soal obyek PNBP yaitu penggunaan dana yang bersumber dari APBN, Misal antara lain soal pencatatan nikah, cerai dan rujuk yang harus berbiaya, soal pelatihan ketenaga kerjaanpun akan kena biaya, pelayanan kesehatan juga akan kena biaya PNBP, jadi hampir semuanya kena biaya PNBP ini. Lalu sektor pendidikan, pemerintah juga akan membebankan PNBP sumbangan pembinaan pendidikan dan uang pendaftaran dalam rangka ujian saringan masuk perguruan tinggi belum lagi uang pangkal pangkal semesteran.
Terlihat begitu kalutnya Sri Mulyani mencari cara dalam menggenjot pendapatan negara yang tidak produktif. Sampai dunia pendidikan dengan teganya ia palak dan membebani rakyat kkecil. Bahkan di negara kapitalis sekalipun seperti Amerika Serikat sangat mengutamakan pendidikan. Dunia pendidikan dibebaskan pajak dan beban. Bahkan kalau ada lembaga pendidikan melakukan kegiatan komersial, pendapatannyapun dibebaskan pajak. Bahkan dahulu ada UU di Amerika, siapapun swasta mendirikan universitas, dikasih tanah ratusan hektar. Mirisnya di Indonesia kebijakan Sri Mulyani malah menjerumuskan dunia pendidikan Indonesia dengan mengenakan berbagai beban biaya tambahan selain pajak.
Bahkan Undang-Undang Dasar kita lebih maju dan mengutamakan sektor pendidikan, dimana dalam UUD 1945 (Amandemen) pasal 31 dan 32 serta dicita - citakan dalam Preambule yakni 'memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa'. Namun Sri Mulyani malah ingin menerbitkan UU yang memberatkan rakyat. Bagaimana daya saing negara ini mau maju kalau Menteri Keuangannya malah mencari pendapatan dari sektor pendidikan. Sudah jelas tugas negara mencerdaskan kehidupan bangsa dan hak rakyat untuk mendapat layanan dari pemerintah.
Selain itu UU PNBP juga akan melakukan pungutan pada sektor keagamaan, khususnya persoalan pernikahan, cerai dan rujuk. Dalam rancangan UU tersebut rakyat yang ingin menikah akan di kenakan charge (pungutan) begitupun dengan proses penceraian tak luput dari pungutan pula apalagi proses rujuk juga akan dikenakan pungutan. Padahal menikah adalah hak setiap individu dan warga negara namun malah rakyanya yang dikenakan beban biaya.