Menteri Keuangan Sri Mulyani masih saja belum lepas dari kontroversi kebijakannya yang selama ini erat ia sandang. Beragam kebijakan yang tak populis dan cenderung tak berkelas kerap dilakukan oleh figur yang katanya merupakan wanita terbaik dan berprestasi di mata internasional dibidang ekonomi.Â
Dan yang terbaru adalah tentang kebijakannya yang sangat tidak populis dan melemahkan para pelaku UMKM, yaitu dengan cara mengintip rekening bank dengan saldo minimal 200 juta rupiah. Kebijakan ini sangatlah meresahkan karena hampir 30 juta pelaku UMKM memiliki omzet rata-rata 50 - 300 juta rupiah pertahun, rekeningnya akan diutak-atik pemerintah demi mengejar target pajak yang tak pernah terpenuhi oleh Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan.
Dengan tameng Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan. Dimana aparat pajak bakal memiliki akses untuk melihat data industri keuangan. Ditambah lagi dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70 Tahun 2017 yang berisi tentang batasan saldo dan berbagai tata cara pengumpulan data. Kedua kebijakan tersebut dikeluarkan dengan dalih untuk menyambut pertukaran informasi pajak dunia (AEoI) yang akan dimulai pada 2018.
Padahal pertukaran data perpajakan internasional (AEoI) pada dasarnya diperuntukan bagi nasabah asing. Lalu kenapa Sri Mulyani begitu ngototnya mengejar para pelaku segmen menengah dan bawah untuk patuh membayar pajak. Dengan menuding bahwa di segmen menengah dan bawah tidak membayar pajak. Adapun yang belum membayar pajak pada segmen ini bisa disebabkan karena faktor keterbatasan sarana dan prasarana otoritas pajak itu sendiri dan bukan niat untuk menghindar membayar pajak, dan bisa ditelusuri pada segmen ini tingkat kepatuhan membayar pajaknya cukup bagus.
Namun seiring waktu berjalan dan derasnya kritikan, kebijakan ini harus ditelan kembali oleh Sri Mulyani. Pada rabu malam (7/6/2017) melalui siaran persnya Nufransa Wira Sakti (Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementrian Keuangan) mengatakan "Pemerintah memutuskan meningkatkan batas minimum nilai saldo rekening keuangan yang wajib dilaporkan secara berkala dari semula Rp 200 juta menjadi Rp 1 miliar." Dengan perubahan batasan minimum tersebut, maka jumlah rekening yang wajib dilaporkan sekitar 496 ribu rekening atau 0,25 persen dari total rekening di perbankan saat ini.
Hal ini tentu sangat menggembirakan bagi pelaku usaha bawah dan menengah dengan direvisinya kebijakan yang pada awalnya berdampak kepada mereka. Dengan hampir 2,3 juta rekening yang bersaldo 200 juta rupiah, ini bisa membuat Direktorat Pajak akan kelimpungan untuk mengolah data yang masuk begitu banyaknya. Sehingga fokus terhadap standar kebijakan AEoI pada saldo 3,3 milyar rupiah menjadi tak tersentuh oleh otoritas pajak itu sendiri. Hal ini sangatlah menguntungkan bagi pelaku usaha besar kelas kakap yang selama ini kerap dimanjakan oleh Sri Mulyani. Dan lagi-lagi kelas menengah dan bawah yang menjadi sapi perah demi menutupi kegagalan Sri Mulyani dalam meningkatkan rasio pajak yang stagnan pada angka 11 persen.
Pembatasan saldo 200 juta rupiah ini juga tidak sesuai dengan standar kebijakan AEoI yang menerapkan ambang batas pada 250 ribu USD atau sekitar 3,3 milyar rupiah. Jelas terlihat begitu jauh batasannya, jelas pula kebijakan ini sangatlah melukai pelaku usaha kecil dan menengah yang terus menerus dikerjai oleh Sri Mulyani selama dia menjadi Menteri Keuangan.Â
Seringnya Sri Mulyani membuat kebijakan yang kontroversial dan kontra produktif selama ia menjabat membuat perekonomian Indonesia semakin tertinggal. Angka pertumbuhan ekonomi tak beranjak pada kisaran 5 persen saja, padahal presiden Jokowi menargetkan pertumbuhan ekonomi pada angka 6 - 7 persen, namun apa daya dengan kualitas tim ekonominya saat ini yang kurang menggigit dan miskin inovasi serta berpaham neolib membuat target pertumbuhan ekonomi 6 - 7 persen tersebut menjadi utopia saja.
Alhasil jika para tim ekonomi presiden Jokowi tidak mampu menggapai target pertumbuhan ekonomi atau minimal menggerakkan roda perekonomian masyarakat lebih dinamis, jangan harap proyek-proyek infrastruktur yang saat ini sedang gencar dikerjakan pemerintah bisa diselesaikan sesuai target. Bisa jadi malah akan mangkrak ditengah jalan dikarenakan kurangnya dana untuk pembiayaan proyek tersebut. Dan ujung-ujungnya adalah meminta hutang lagi. Bisa ditebak kalau bukan kepada Bank Dunia atau IMF, kepada siapa lagi? Dimana Sri Mulyani merupakan "Golden Girl" atau anak kesayangan mereka.Â
Inilah yang harus segera dicermati oleh presiden Jokowi, jika tak ingin bangsa ini terus terpuruk dalam lilitan hutang dan mandeg dalam perekonomian, lebih baik segera evaluasi dan rombak tim ekonominya, agar bisa lekas bangkit mengejar ketertinggalan, daripada mempertahankannya malah membuat rapuhnya pemerintahan sehingga tingkat kepercayaan rakyat terhadap pemerintah terutama presiden Jokowi menjadi hilang. Mumpung masih ada waktu untuk bangkit lagi, bergegaslah.
Wassalam