Agnes adalah seorang gadis jelita, yang sangat taat beragama dan menjadi martir dalam usia yang sangat muda. Agnes, dalam tradisi Gereja Katolik menjadi santa pelindung anak-anak dan perawan muda. Ia lahir pada abad ke-3 di kota Roma, Italia, di masa pemerintahan Kaisar Diokletianus.
Santa Agnes dijatuhi hukuman mati karena mempertahankan imannya dan menolak untuk menyembah dewa-dewa Romawi. Agnes juga teguh mempertahankan keperawanannya, dengan menolak dinikahkan dengan anak seorang pembesar Romawi.
Orang-orang katolik menyematkan nama santo dan santa ke nama pribadinya, sebagai satu cara imersi keteladanan. Semangat, roh, atau spiritualitas keteladanan yang dimiliki oleh pribadi kudus itulah yang diharapkan "menitis" pada orang yang "mengenakan" namanya.
Bahkan, nama diyakini adalah doa. Masyarakat Jawa, misalnya, mengatakan asma kang kinarya japa, artinya nama sebagai sebuah ungkapan doa dan harapan. Karena itu, para orangtua yang akan memberikan nama pada anaknya, dengan penuh penghayatan menjalani berbagai ritual agar anaknya selalu sehat dan mendapatkan keselamatan.
Dalam tradisi Jawa, upacara pemberian nama biasanya diadakan pada hari kelima (sepasar). Menurut Koetjaraningrat (1984), orang tua akan memilih nama anak mereka, yang dipilih berdasarkan beberapa pertimbangan seperti tanggal lahir, keadaan lingkungan, dan kepercayaan agama atau tradisi keluarga. Sepasar juga dianggap penting sebagai cara pengikatan hubungan sosial antara keluarga dan masyarakat.
Makna pemberian nama pada seseorang bermuara pada doa dan harapan yang dipanjatkan kepada Tuhan, agar nama itu menjadi berkat bagi dirinya, sesama, dan masyarakat.
Seperti halnya seseorang yang bernama Agnes, diharapkan bisa menjadi pribadi yang bening, jernih dalam bertutur kata, berpikir, dan bertindak. Dalam bahasa Yunani, Agnes, berasal dari kata hagn yang berarti "bening, murni, suci".
Nama Agnes, yang disebut-sebut belakangan, juga adalah sosok muda yang tiba-tiba mencuri perhatian khalayak. Barangkali, ada yang terlupa dari arti nama indah yang disandangnya, sehingga peristiwa di Pesanggrahan itu bisa terjadi. Tentu, satu peristiwa dengan peristiwa yang lain, selalu ada hubungan kausalitas, entah kuat atau tidak kuat.
Namun, terkadang pribadi dengan usia yang sangat muda menjadi alasan pembenar terjadinya "kekhilafan". Tidak sepenuhnya benar. Dalam hal ini, orang-orang dewasa berperan penting untuk membantu, mendampingi, mengevaluasi, merefleksi pilihan-pilihan kata, sikap, dan tindakan yang mencerminkan moral dan karakter yang baik. Karena itu, mau tidak mau, orang-orang dewasa (terlebih dahulu) mesti mampu menjadi teladan moral dan karakter. Keluarga, menjadi persemaian terbaik bertumbuhnya pribadi-pribadi berkarakter, tanggung jawab, dan welas asih.
Mungkin, bagi sebagian orang, tidaklah penting berpanjang-panjang memikirkan arti sebuah nama. Apapun namanya jika pada fitrahnya adalah orang baik, maka ia akan menjadi baik. Diwakili oleh Juliet Capulet, William Shakespeare menggugat penyematan nama dalam diri seseorang dalam drama puitik "Romeo & Juliet"; "What's in a name? That which we call a rose. By any other name would smell as sweet." Katanya, apalah arti sebuah nama. Bunga mawar itu kalaupun diberi nama selain "mawar", wanginya akan tetap sama.