Mohon tunggu...
Yohanes Budi
Yohanes Budi Mohon Tunggu... Human Resources - Menulis kumpulan cerpen "Menua Bersama Senja" (2024), Meminati bidang humaniora dan pengembangan SDM

https://ebooks.gramedia.com/id/buku/menua-bersama-senja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi Itu Indah

23 Desember 2020   14:02 Diperbarui: 23 Desember 2020   14:04 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jengkel, mangkel. Itulah keluhan yang terlontar setiap kali mengirim barang ke Jakarta. Yang bikin repot bukan saja karena harus bawa barangnya, tetapi jarak tempuh dari rumah ke tempat pengiriman yang jauh membuat ilfil. Kurang lebih 7 kilometer jaraknya, dari desa Kedunglegok ke kota Purbalingga hanya sekadar mengirimkan barang. Demikian sebaliknya, saat ada kiriman paket dari luar kota, saya pun harus kembali ke kota untuk mengambilnya. Begitulah cara JNE hadir di awal-awal tahun 2005. 

Sempat terpikir, mungkin JNE bisa hadir ke pelosok desa 4-5 tahun lagi. Syukurlah hingga akhirnya, salah satu surat yang kukirimkan itu membuahkan hasil. Saya diterima bekerja di Jakarta. Terima kasih, JNE.

Sejak bekerja di Jakarta, sempat terpikir untuk berbagi kebahagiaan ke orangtua. Meski gajiku tidak besar, tapi memberi dari penghasilanku sendiri adalah kebahagiaan tersendiri. Tapi, hal itu urung kulakukan. Kenapa? Iya. Karena justru akan merepotkan orangtuaku, yang harus mengambilnya ke kota, di kantor JNE terdekat. Saya harus kembali bersabar. 

Waktu terus berjalan. Pekerjaan demi pekerjaan aku lalui. Hingga suatu saat, hati menggerakan-ku untuk mengubah haluan. Kurang lebih di pertengahan tahun 2012, saya bertemu (tepatnya menemui) seseorang di Jakarta Timur. Dia adalah tokoh di pemerintahan, sebagai pengawas guru-guru agama Katolik se-Jakarta Utara. Satu minggu sebelumnya, ia berkenan menceritakan sejumlah keprihatinan terkait pola asuh di panti-panti asuhan, dan berniat mendirikan panti asuhan yang berbeda dari yang lainnya. Wow..., hanya itu yang terlontar dari benakku.

Menurutnya, banyak orang salah kaprah dalam menyantuni anak-anak yatim piatu. Dan, pola pikir inilah yang mengubah paradigma saya tentang panti asuhan. Panti asuhan, di satu sisi memang harus dibantu baik material maupun layanan kerohanian. Tetapi, lihatlah dengan saksama, kehidupan anak-anak panti jatuh dalam lingkaran kemiskinan. 

Mengapa? Karena di dalam panti asuhan, anak-anak tidak diberdayakan secara optimal. Mungkin, selama di panti, kebutuhan anak-anak bisa selalu tercukupi baik papan, sandang, dan pangan. Tiga hal mendasar yang memang wajib dipenuhi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk mencari kebutuhan lainnya. Sayangnya, di sinilah awal terciptanya ketergantungan dari anak-anak panti. Di mana jika tidak hati-hati, bisa menjadikan anak-anak itu terlalu nyaman, sehingga alpha dalam kemandirian dan tanggung jawab.

Adalah sah-sah saja menyantuni mereka. Namun, pengelola panti musti kompeten mengatur dan mengelola bantuan-bantuan dari donatur. Termasuk menanamkan nilai kepada anak-anak panti agar menjadi pribadi yang tangguh, mandiri, dan bertanggung jawab. Sebab jika tidak, maka bantuan-bantuan dari donatur akan "meninabobokan" mereka, melemahkan kemandirian menjadi ketergantungan dan ketidakberdayaan.

Maka, ia mencanangkan suatu sekolah berasrama Yayasan Prima Unggul (YPU) yang bermaksud untuk merevolusi paradigma tentang pengelolaan panti asuhan, yang baik dan berdaya. 

Menyimak gagasannya, aku tertarik untuk ikut terlibat. Mungkin aku tidak bisa berdonasi materi, tetapi sejujurnya aku ingin andil dalam arus perubahan paradigma itu. Maka, sejak itulah, aku memberi waktu dan perhatianku kepada anak-anak panti asuhan yang ia dirikan. Aku berbagi peran dengan para pengurus panti yang lain. Salah satu tugasku adalah berupaya menghadirkan guru-guru terbaik untuk memberikan pengajaran (materi belajar) ke anak-anak panti itu. Guru yang terbaik di bidangnya, juga mempunyai kepedulian dan jiwa sosial yang tinggi. 

Yang menarik, anak-anak panti usia SMA yang kudampingi itu berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Melihat antusiasme dan semangat berjuang mereka yang luar biasa, membuat saya ikut gembira. Apalagi saat mendengarkan cerita mereka setelah berjualan keliling. Saya bisa terharu dan menitikkan air mata saat mereka mengaku sedih saat dicaci maki dan disepelekan orang. Tapi di cerita yang lain, saya bisa tertawa terbahak-bahak, saat seorang anak berkisah ketakutannya dikejar anjing. Begitulah rupa-rupa pengalaman mendampingi anak-anak panti dengan segala dinamikanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun