Keputusan Presiden Jokwi terkait Kapolri sudah jelas. Komjen Budi Gunawan batal dilantik! Presiden kemudian mengusulkan Komjen Badrodin Haiti ke DPR sebagai pengganti.
Kenyataan ini tak urung membuat kecewa. Sejak awal kisruh kita berusaha menyesuaikan alur berpikir kita dengan alur berpikir Presiden, yaitu: menjadikan hukum sebagai panglima. Kita mendukung pernyataan Presiden agar tidak ada pihak yang sok di atas hukum. Kita setuju pelaku teror terhadap penyidik dan keluarga KPK ditangkap. Kita bahkan menghormati putusan hakim Sarpin Rizaldi yang kita anggap keliru.
Apa lacur, sekalipun menang praperadilan Budi Gunawan harus menghadapi kenyataan pahit. Ia kehilangan haknya sebagai Kapolri. Presiden tidak melantik Budi atas alasan terjadi pertentangan di masyarakat. Padahal Presiden sudah tahu jauh sebelumnya bahwa publik memang menolak Budi Gunawan jadi Kapolri.
Semestinya, dengan alasan yang sama, Presiden dapat menarik pencalonan Budi Gunawan sebelum menjalani fit and proper di Senayan. Jika langkah itu yang diambil kita tidak akan melihat kerusakan yang begitu parah di pihak KPK. Kerusakan yang kita tidak yakin pada suatu saat akan bisa kembali pulih.
Lewat drama kriminalisasi. Nyali penyelidik, penyidik dan pimpinan KPK dalam pemberantasan korupsi berusaha diciutkan. Padahal kita semua tahu, walaupun ada bertumpuk-tumpuk alat bukti, tanpa keberanian mereka, pemberantasan korupsi hanya akan jalan di tempat.
Maka, kita melihat, Presiden memang “menyiapkan waktu” menuju pengambilan keputusan untuk tidak melantik Budi Gunawan.
Megawati khawatir
Harus diakui pada masa KPK jilid-III inilah pemberantasan korupsi terjadi dengan tanpa pandang bulu. Sehingga siapa pun yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, sejauh KPK memiliki alat bukti yang cukup dipastikan akan diseret ke pengadilan.
Salah satu kasus besar yang pelakunya kemungkinan akan diseret ke pengadilan adalah kasus BLBI. Kasus yang terjadi pada masa Presiden Megawati ini merugikan keuangan negara dengan jumlah yang mahabesar, yaitu Rp 138, 4 triliun.
KPK sejak 23 April 2013 melakukan penyelidikan terkait penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada sejumlah bank pada 1997-1998. Juru bicara KPK, Johan Budi S.P., mengatakan KPK menduga terjadi korupsi dalam penerbitan SKL atas Bantuan Likuiditas oleh otoritas keuangan.
Setelah pemeriksaan saksi-saksi, diantaranya buron BLBI Adrian Kiki yang berhasil KPK tangkap dan Menteri Koordinator Perekonomian era pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid, Kwik Kian Gie. KPK berencana memeriksa Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri setelah lebaran. Mengingat sepak terjang KPK yang tak kenal kompromi dan dukungan kuat masyarakat, rencana pemeriksaan ini jelas mengkhawatirkan Megawati dan PDI-P.
Menyerang KPK
Sebenarnya Megawati bisa saja menghadapi rencana KPK memeriksa dirinya dengan cara yang lazim. Yaitu, mengikuti proses pemeriksaan hingga KPK memutuskan apakah dirinya terlibat atau tidak dalam skandal yang merugikan negara triliunan rupiah itu. Dengan mengikuti cara ini berarti Megawati memasrahkan nasibnya kepada alat bukti yang dimiliki KPK. Apabila alat bukti dianggap cukup, logikanya KPK pasti menersangkakan dirinya. Karena sangat tidak menguntungkan, alternatif ini tidak menjadi pilihan.
Alternatif lain adalah menyerang KPK terlebih dahulu. Jika serangan datang hanya dari PDI-P, KPK tidak mungkin dikalahkan. PDI-P butuh dukungan kekuatan lain untuk memenangkan pertarungan mempertahankan eksistensinya. Dengan perhitungan pencalonan Budi Gunawan dijadiin umpan. Budi—yang sebelumnya diberi stabilo merah oleh KPK untuk jabatan menteri—diajukan Presiden untuk jabatan Kapolri.
Atas pengajuan Presiden Jokowi itu, KPK bereaksi. Beberapa hari kemudian Abraham Samad dan Bambang Widjajanto menersangkakan Budi Gunawan. Reaksi KPK ini membantu PDI-P dalam mendapatkan dukungan secara alamiah atas rencananya menyerang KPK. Dukungan muncul dari pendukung Budi Gunawan di Polri.
Setelah dukungan alamiah dari Polri didapat, PDI-P melalui Plt. Sekjen Hasto Kristiyanto bersafari menjatuhkan Abraham Samad. Dibantu liputan media seakan-akan benar bahwa Samad berupaya membarter status tersangka Emir Muis (politisi PDI-P) dengan posisi calon pendamping Jokowi di Pilpres. Padahal kalau kita mau jujur, apapun status Emir tidak cukup berarti bagi PDI-P. Yang berarti bagi PDI-P adalah sebisa mungkin calon pendamping Jokowi ikut membantu memenangkan Jokowi dalam Pilpres 2014.
Safari Hasto membangun opini bahwa pertemuan Samad dan elite PDI-P adalah sebuah dosa. Tidak cukup sebatas itu, atas bantuan Supriansyah dan Zainal—yang memiliki posisi strategis (karena merupakan sahabat Samad) untuk meyakinkan publik—moralitas Samad diserang dengan meyakinkan. Cerita pertemuan Samad dengan Putri Indonesia di apartemen menjadi luas diperbincangkan. Termasuk foto yang diduga Samad dengan seorang wanita. Kicauan Hasto, Supriansyah dan Zainal memposisikan Samad sebagai pendosa, yang dosa-dosanya melebihi dosa para koruptor.
Kemudian tema besar selamatkan KPK tanpa Samad dan Bambang didengungkan. Publik berusaha diyakinkan bahwa tanpa Samad dan Bambang KPK akan lebih baik. KPK akan terbebas dari ambisi politik komisionernya. Sehingga dalam menjalankan tugasnya dapat bertindak independen.
Saat yang sama, Presiden membiarkan pendukung Budi Gunawan di Polri leluasa bermanuver guna melemahkan KPK. Kabareskrim Budi Waseso pun bersemangat menersangkakan penyelidik, penyidik dan pimpinan KPK. Status tersangka diterima pertama kali oleh Bambang lewat drama penangkapan laksana penangkapan gembong teroris. Selanjutnya, menurut Kabareskrim, akan menyusul 2 pimpinan dan 21 penyidik KPK.
Sedangkan status tersangka Samad ditetapkan oleh Polda Sulselbar dalam kasus pemalsuan dokumen. Atas status tersangkanya, terikat oleh UU tentang KPK, Samad menyusul Bambang yang terlebih dahulu mengusulkan pemberhentian dirinya sebagai komisioner kepada Presiden Jokowi.
Setelah usulan pemberhentian Samad dan Bambang berada di meja Presiden. Presiden menganggap sudah waktunya mengumumkan status Komjen Budi Gunawan. Sedari awal—terlepas Budi Gunawan mengetahui atau tidak—PDI-P dan Presiden dalam mengusulkan Budi Gunawan sebagai calon Kapolri sekadar sebagai umpan untuk menjaring Samad dan Bambang.
Maka, kita menyaksikan Presiden Jokowi mengumumkan pembatalan pelantikan Komjen Budi Gunawan, pengusulan Badrodin Haiti sebagai calon Kapolri baru, pemberhentian Samad dan Bambang sebagai komisioner, serta penunjukan 3 Plt. Komisioner KPK menggantikan Samad, Bambang dan Busyro Muqodas.
Upaya PDI-P menyingkirkan Samad dan Bambang berhasil dengan kerusakan yang tidak parah di kubu PDI-P. Namun kerusakan di pihak KPK dan Polri cukup parah. Semangat pemberantasan korupsi ditubuh KPK terberangus oleh kriminalisasi Polri. Sedangkan Polri menuai kecaman publik yang tiada duanya sepanjang sejarah keberadaan Polri.
Apabila selama 5 tahun kedepan KPK ternyata mandul. Maka publik akan mengaitkannya dengan PDI-P dan Jokowi. Yang telah memperalat Polri untuk membonsai KPK demi melindungi Megawati sang Ketua Umum.
----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H