Tahun 2014 masih menyisakan tiga bulan lagi. Namun, banyak peristiwa politik dalam negeri yang terjadi sepanjang tahun ini. Bila dilacak peristiwa-peristiwa itu bermuara pada dan merupakan akibat dari Pemilu dan Pilpres 2014.
Kita saksikan, Pemilu dan Pilpres 2014 melahirkan banyak kejutan. Suara Partai Demokrat merosot hingga 10 % di tingkat nasional. Perolehan kursi parlemen turun hingga lebih dari 50 %, dari 148 kursi menjadi 61 kursi.
10 tahun di luar pemerintahan ternyata tidak menghalangi PDI-P memenangi Pemilu 2014. Bersama PKB, Partai Hanura dan PKPI menghantarkan Jokowi-Jk menjadi Presiden dan Wapres 2014-2019. Tentu saja kejadian ini merupakan peristiwa politik paling besar di tahun ini. Sebab munculnya Jokowi sebagai tokoh nasional begitu fenomenal. Berawal dari Walikota Solo, Jokowi terpilih menjadi Gubenur DKI Jakarta. Kemudian, belum usai masa bakti sebagai Gubenur, Jokowi bersama Jusuf Kalla memenangi Pilpres.
Partai Gerindra yang sejak usainya perhelatan Pemilu dan Pilpres 2009 terus menggadang-gadang Prabowo sebagai Presiden berhasil meningkatkan peringkat di Pemilu 2014: pemenang ketiga. Keberhasilan ini mampu meyakinkan Partai Golkar, PAN, PKS, PPP dan PBB untuk mengusung Prabowo-Hatta di Pilpres 2014. Walau mendapat dukung Partai Demokrat di pertengahan jalan, hanya 46, 85% atau 62. 576. 444 rakyat Indonesia memberikan kepercayaan kepada pasangan ini, kalah dibanding pasangan Jokowi-Jk: 53, 15% atau 70. 997. 833 suara.
Tersesat
Gagal di Pilpres, Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN, PKS dan PPP mendeklarasikan Koalisi Merah Putih (KMP). Terbentuknya KMP tidak saja bermakna tunggal: politik balas dendam. Tapi merupakan upaya KMP untuk mendapatkan insentif politik di luar pemerintahan. Sebab pemerintah yang akan datang telah menutup rapat insentif politik dengan menolak politik transaksional. Jokowi-Jk selalu menyuarakan koalisi tanpa syarat.
Pilihan untuk mendapatkan insentif politik itu tersisa di dua tempat: (1) parlemen dan (2) pemerintahan daerah. Kemudian disusunlah skenario untuk menguasai parlemen dan pemerintahan daerah. Melalui parlemen 2009-2014 skenario itu berupaya diwujudkan. Hasilnya, UU MD3, Tatib DPR dan UU Pilkada. Kemudian, sebagaimana yang kita saksikan seluruh unsur pimpinan parlemen 2014-2019 berasal dari KMP. Begitupun UU Pilkada, tak lama lagi Perppu No 1/2014 ditolak parlemen.
Berdasarkan hasil Pemilu 2014, KMP berkekuatan 297 kursi atau 52. 14% kursi parlemen. Dengan komposisi: Golkar 91 kursi (16, 25%), Gerindra 73 kursi (13, 03%), PAN 49 kursi (8, 75%), PKS 40 kursi (7, 14%) dan PPP 39 kursi (6, 96%).
Keberhasilan (kesolidan) KMP didasari oleh satu asumsi yang keliru. Yakni pilihan politik dapat dibentuk dengan imbalan-imbalan yang bersifat ekonomis. Coba simak fakta berikut. Jokowi terpilih karena kinerja yang meyakinkan dan perilaku politik yang beradab. Ibu Risma karena track record yang baik dan prestasi selama menjadi birokrat. Ridwan Kamil didukung karena gagasan-gagasan brilian bagi kemajuan Kota Bandung. Mereka tampil tidak dengan memberi imbalan yang bersifat ekonomis kepada pemilih.
KMP, dengan demikian, terkesan sudah tersesat di belantara anggapan yang dibangunnya sendiri.
Jalan Benar
Tersesatnya KMP ini, akan sangat menguntungkan kehidupan politik Indonesia. Kalau memperhatikan politik Indonesia akhir-akhir ini, dukungan politik kebanyakan diperoleh tidak berdasarkan kekuatan dana. Tidak heran pada saat Pemilu, banyak pelaku politik yang diberi hukuman. Para pemilih menerima setiap pemberian yang bersifat ekonomis. Tetapi mendasari pilihan pada perilaku politik dan gagasan pelaku politik.
Trend ini akan berlanjut hingga Pemilu dan Pilpres 2019. Karena, (1) proses pembangunan yang akan berjalan membawa semakin banyak masyarakat menuju kemakmuran. Masyarakat yang sedang menuju kemakmuran adalah masyarakat yang belum benar-benar makmur alias masyarakat yang kemakmurannya “tanggung”. Berbagai penelitian menunjukkan masyarakat model ini cenderung untuk bersikap demokratis. Mereka dengan keras menuntut akuntabilitas pelaku politik dan terwujudnya hak-hak dasar setiap warga masyarakat. Kedepan, masyarakat macam inilah yang menjadi roda penggerak proses demokratisasi di Indonesia.
(2) menajamnya rivalitas antara KMP dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi-Jk, selain akan mendewasakan dalam berpolitik, juga memperjelas posisi masing-masing. Setelah sekian kali Pemilu masyarakat digiring untuk memilih partai politik dengan corak yang mirip, rivalitas kali ini memudahkan masyarakat dalam menilai perilaku politik mana yang beradab dan berupaya mewujudkan Indonesia yang lebih maju. Kekuatiran yang berlebihan terhadap rivalitas yang demikian tidaklah mendasar. Bukankah kompetisi politik akan memenangkan yang terbaik? Kecuali masyarakat pemilih menginginkan yang sebaliknya untuk dirinya.
Dengan demikian, jalan menuju terpilihnya Presiden dan Wapres yang didukung parlemen yang kuat terbuka lebar. Lewat jalan ini partai-partai yang merampas hak-hak dasar setiap warga masyarakat akan tereliminasi, tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sah. Inilah jalan yang benar, yang harus ditempuh mulai 2019 ketika Pemilu dan Pilpres dilaksanakan bersamaan. Dan jalan itu secara tidak sengaja ditemukan oleh tersesatnya KMP dalam rimba keberhasilannya pasca kegagalannya di Pilpres 2014.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H