Oleh : Yazid Emyu* Judul : WIJI THUKUL : Teka-teki Orang Hilang Penerbit : TEMPO dan KPG ISBN : 9789799105929 Tahun terbit : Juni 2013 (cetakan pertama) Ukuran : 230 x 160 mm Halaman : 172 halaman Peringatan Jika rakyat pergi ketika penguasa pidato kita harus hati-hati barangkali mereka putus asa Kalau rakyat sembunyi dan berbisik-bisik ketika membicarakan masalahnya sendiri penguasa harus waspada dan belajar mendengar Bila rakyat tidak berani mengeluh itu artinya sudah gawat dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah kebenaran pasti terancam Apabila usul ditolak tanpa ditimbang suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan dituduh subversif dan mengganggu keamanan maka hanya ada satu kata: lawan! Satu lagi tokoh yang dikagumi kalangan mahasiswa,Wiji hukul, yang nama aslinya adalah Wiji Widodo, kemudian diganti menjadi Wiji Thukul, yang berarti biji tumbuh. Setelah itu, sempat menambahkan nama Wijaya di belakangnya, menjadi Wiji Thukul Wijaya. Tapi kemudian ia membuangnya karena sering diledek teman-temannya sebagai nama borjuis. Lelaki cadel itu tak pernah bisa melafalkan huruf "r" dengan sempurna. Ia "cacat" wicara tapi dianggap berbahaya. Rambutnya lusuh. Pakaiannya kumal. Celananya seperti tak mengenal sabun dan setrika. Ia bukan burung merak yang mempesona. Namun, bila penyair ini membaca puisi di tengah buruh dan mahasiswa, aparat memberinya cap sebagai agitator, penghasut. Selebaran, poster, stensilan, dan buletin propaganda yang Ia bikin tersebar luas di kalangan buruh dan petani. Kegiatannya mendidik anak-anak kampung dianggap menggerakkan kebencian terhadap Orde Baru. Maka Ia dibungkam. Dilenyapkan. Wiji Thukul mungkin bukan penyair paling cemerlang yang pernah kita miliki. Sejarah Republik menunjukkan Ia juga bukan satu-satunya orang yang menjadi korban penghilangan paksa. Tapi thukul adalah cerita penting dalam sejarah Orde Baru yang tak patut diabaikan: seorang penyair yang sajak-sajaknya menakutkan sebuah rezim dan kematianny hingga kini jadi misteri. Kisah wiji Thukul adalah jilid perdana seri "Prahara-prahara Orde Baru", yang diangkat dari liputan khusus Majalah Berita Mingguan Tempo Mei 2013. Serial ini menyelisik, menyingkap, merekonstruksi, dan mengingat kembali berbagai peristiwa gelap kemanusiaan pada masa Orde Baru yang nyaris terlupakan. Dalam buku ini, terdapat empat bagian; Dari Kota ke Kota, Hilang dalam Prahara, Biji Tumbuh Perlawanan Buruh, dan Kolom. Arif Zulkifli dan Seno Joko Suyoto, Redaktur Eksekutif dan Redaktur Pelaksana Majalah Tempo, dalam kata pengantar buku tersebut mengatakan, "Hilangnya Thukul sesungguhnya terlambat disadari. Setelah Soeharto jatuh dan para aktivis kembali ke permukaan, Thukul tetap raib.". Lebih lanjut disebutkan, "Orang yang secara terbuka mencium ttanda-tanda hilangnya Thukul adalah Jaap Erkelens, peneliti Kononklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV), penerbita Belanda. Erkelens mendokumentasikan buletin-bulettin karya Thukul dan mengenalnya dengan baik. Pada 18 Februari 2010. Erkelens mengirim surat pembaca ke Kompas. Dalam surat itu, Ia meminta pembaca yang mengetahui Thukul menghubunginya. Tapi tak ada tanggapan yang serius. Dikatakan dalam catatan pinggir Goenawan Mohamad, berjudul "Thukul", Wiji Thukul terpaut dengan sejarah perubahan politik Indonesia. menjelang akhir abad ke-20. ketika demokratisasi bergerak lagi melintasi penindasan, kekerasan, bahkan pembunuhan. Dalam arti tertentu, Ia ikut mendapatkan kemenangan. Tapi Ia pemenang yang tak membawa pialanya ke rumah. Keika rezim yang dilawannya runtuh, Ia hilang. Mungkin Ia diculik dan dibunuh, seperti beberapa akivis prodemokrasi lain, tanpa meninggalkan jejak. Lebih lanjut dikatakan oleh Robertus Robet, Dosen sosiologi Universitas Negeri Jakarta, - Siaran pers Kontras nomor 7 tahun 2000 itu berbunyi: "Wiji Thukul hilang pada sekitar Maret 1998 kami duga kuat berkaitan dengan aktivitas yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Saat itu bertepatan dengan peningkatan operasi repfresif yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan aktivitas politik yang berlawanan..." Siaran pers itu membuka lagi status kelam dari masa-masa ujung pergolakan politik menjelang jatuhnya Orde Soeharto sekaligus meresmikan status ironis dari penyair-pejuang Wiji Thukul: sebagai orang hilang. *Resensator adalah Direktur Basa Cerbon Centre Unswagati
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H